Minggu, 16 Oktober 2011

Fenomena Pernikahan Dini

Oleh : Ummu Abdirrohman Najiyah Ibnat Kaswita
Ghoffarollohu 'anhaa wa waalidihaa

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاةوالسلام على رسول الله وعلى آله ومن والاه أما بعد:
Zaman memang tlah kembali seperti dahulu. Sering kita dengar cerita dari mbah-mbah kita bahwa mereka dulu menikah di usia yang masih sangat dini, ada yang menikah pada usia 9 tahun, 12 tahun dsb. Maka fenomena pernikahan dini kini mulai populer  kembali  bahkan menjadi trend terutama dikalangan salafiyyin. Ada banyak factor yang melatar belakanginya, mulai dari alasan ekonomi keluarga, sampai alasan yang sifatnya syar’I yaitu untuk menundukkan mata dan hati dari yang harom, ada juga yang Cuma sekedar ikut-ikutan teman “Teman-temanku dah nikah semua-e….”. 

Pernikahan dini kini tak lagi dijalani oleh remaja berusia 17 tahun keatas, anak-anak yang dibawah  umur pun sudah berani mengambil keputusan untuk memulai hidup baru dengan pasangan yang dikaguminya, diantara mereka ada yang baru berusia 12 tahun, 13, 14 atau 15 tahun. (Penulis hanya bisa mengulum senyum, ingat masa –masa ketika masih berusia belasan tahun, jangankan terbetik dalam hati untuk menikah, memahami tentang hakikat pernikahan saja belum sampai akalnya kesana). Tidak ada yang salah memang pada fenomena pernikahan dini, sah-sah saja. Bahkan secara syari’atpun sudah ada contohnya dimana Rosulullah menikahi ‘Aisyah putri  Abu Bakar  Ash Shidiq diusia yang masih sangat belia yaitu 6 tahun, dan Rosulullah mulai dukhul saat ‘Aisyah berusia 9 tahun. Akan tetapi yang patut  disayangkan adalah munculnya fenomena-fenomena baru fasca pernikahan yang mengindikasikan adanya ketidak siapan mental, kurang memahami hakikat pernikahan dan konsekuensi yang harus dijalani masing-masing pihak dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak fenomena yang penulis dengar atau saksikan sendiri yang mengindikasikan bahwa sebagian dari mereka sebenarnya belum siap untuk menanggung konsekuensi  yang harus mereka pikul dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Ada kisah seorang ikhwan yang menikah dengan anak usia belasan tahun, selain harus mencari nafkah ia juga harus repot mengurus urusan rumah tangga yang seyogyanya menjadi tugas sang istri, adapun urusan anak diserahkan kepada neneknya (Allahul musta’an). Ada juga seorang ibu muda yang setiap kali melihat anaknya pipis atau BAB harus teriak manggil umminya, jangankan untuk menceboki anaknya menggendongnya saja tak berani “Geli”  katanya. Ada juga seorang suami yang harus bersabar nahan lapar karena setiap kali sang istri akan menghidangkan makanan untuk suaminya ia harus lama telp umminya nanya resep masakan, belum lagi proses memasak yang luuuuuuuaaaammaaaa buaaanget. Itupun kalau kebetulan pisah rumah, jangan ditanya kalau serumah dengan orang tuanya,  tak banyak yang bisa dia kerjakan karena semua urusan sudah ditanggung sang ummi tercinta, termasuk urusan suami dan anaknya. Ada pula mertua yang mengeluhkan menantu “kecilnya”. Banyak diantara para suami yang bisa bersabar dengan kelakuan sang istri yang masih belum dewasa dalam banyak halnya, akan tetapi tak sedikit pula yang mengeluh pada rekannya tentang istrinya “Istriku terlalu manja, susah diatur”(menyesalkah?).

Seandainya msing-masing pihak baik calon istri maupun suami menyadari  dan siap dengan segala konsekuensi yang akan mereka tanggung setelah menjalani pernikahan, tentu hal-hal tersebut diatas tak perlu terjadi. Seandainya mereka sadar ada hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh masing-masing pasangan tentu penyesalan itu tak perlu terlontar. Seorang calon istri misalnya, jauh-jauh hari sebelum ia mengambil keputusan untuk siap menikah, ia harus faham bahwa salah satu kewajiban seorang istri adalah berkhidmat kepada suami, mengurus rumah tangga termasuk juga mengurus dan mendidik anak-anaknya. Jika ia belum mahir dalam menjalankan aktivitas kerumah tanggaan maka yang harus ia lakukan adalah belajar, belajar dan terus belajar. Karena tidak ada seorang manusiapun yang lahir dalam keadaan “bisa”, semuanya berjalan melalui proses belajar, ibarat pepatah mengatakan “Bisa ala biasa”. Demikian juga dengan calon suami, ketika ia mengambil keputusan untuk lebih memilih calon istri yang masih belia, maka ia pun harus menyadari bahwa di sana ia akan banyak mendapati kekurangan pada istrinya (sampaipun wanita dewasa yang ia nikahi, ia akan menemukan  banyak kekurangan padanya, maka bagaimana jika yang ia nikahi adalah anak yang masih belia?). Ketidak dewasaan dan sifat kekanak-kanakan yang masih ada pada istrinya harus disikapi dengan penuh bijaksana dan kesabaran yang super ekstra. Jangan kaget kalau sang istri tidak bisa menyajikan makanan kesukaannya, atau jangan kecewa pula jika ia senantiasa mendapati rumah dalam keadaan tidak nyaman akibat sang istri kurang bisa berkhidmat dalam mengatur urusan rumah tangga, jangan pula ada keluh jika sang istri tak bisa mengatasi masalah-masalah kerumah tanggaan dengan bijak, bukankah ini sebuah konsekuensi??? sudahkan ini diprediksikan dan dipersiapkan sebelum engkau melangkah ke kenjang pernikahan bersamanya???. Maka yang harus dilakukan oleh suami adalah menutupi kekurangan-kekurangan sang istri, ia harus memiliki kesabaran doble ekstra untuk membimbing sang istri menjadi seorang istri sesuai dengan yang ia harapkan. Sabar dalam menyikapi pasangan, saling instrospeksi diri dan tidak saling mengedepankan ego merupakan suatu keniscayaan.  Intinya keputusan apapun yang kita ambil dalam hidup ini akan ada konsekuensi yang menyertainya. Siapkah kita dengan konsekuensi tersebut????. Dan jangan sampai hanya gara-gara hal sepele menjadi sebab terjadinya perceraian karena dampaknya akan sangat besar bagi kelangsungan hidup anak-anaknya. Al muhim, masing-masing pihak harus tahu bagaimana ia menempatkan dirinya, berjalan diatas koridor yang telah di tetapkan Asy Syaari'.

Wollohu ta'ala a'lam bish showwaab.

Oleh : Al Fakiiroh ilaa Maghfiroti Robbihaa  Ummu Abdirrohman Najiyah Ibnat Kaswita