Selasa, 04 Juni 2013

TAWARAN NIKAH DARI PIHAK WANITA?

ditulis oleh:
Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy Waffaqohulloh
21 Rajab 1434
Darul Hadits – Dammaj – Yaman

بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد
Syaikh Muqbil Rahimahulloh mengatakan: “Engkau, jika mampu menikahkan dirimu dengan lelaki yang sholih maka lakukanlah. Bukan maksudku engkau menikahkan dirimu sendiri langsung, karena Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali” (HR Abu Daud dan selainnya dari Abu Musa Al-Asy’ary, dishohihkan Syaikh Muqbil dan Al-Albany)
Akan tetapi pilihlah lelaki yang sholih dan mukmin, terus katakan kepada ibumu: “Aku mau menikah dengan fulan”. Karena seorang lelaki yang sholih akan bertakwa kepada Alloh dalam mengurusmu dan dia akan mengajarimu”. [Muhadhoroh Nashihaty lin Nisa’ 2]
Mencari pasangan yang sholih adalah perkara yang disyari’atkan dalam agama ini, karena kadar keagamaan teman yang senantiasa menyertai memiliki pengaruh besar terhadap keagamaan seseorang.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِل
“Seseorang berada pada agama orang yang dicintainya maka lihat oleh salah seorang diantara kalian siapa yang mau dicintainya”. (HR Ahmad dan selainnya dengan sanad yang hasan dari Abu Hurairoh Rodhiayallohu ‘Anhu)
Dari hadits ini dipahami bahwa pensyari’atan perkara tersebut (memilih pasangan yang sholih) tidak hanya diperintahkan pada lelaki saja yang memang biasanya berperan sebagai “pembuka jalan”, akan tetapi juga berlaku bagi pihak perempuan karena hal tersebut akan kembali kepada maslahatnya. Tidaklah rasa malu -bisa menjadi alasan yang tepat- menghalangi seorang dari kebaikan. Malu yang terpuji adalah malu untuk terjatuh kepada maksiat dan keharaman sementara untuk mendapatkan kebaikan justru yang mengalahkan rasa malu layak mendapat pujian.
Bahkan Imam Al-Qurthuby Rahimahulloh mengatakan: “Diantara perkara yang terpuji adalah seorang lelaki menawarkan wanita di bawah kewaliannya -dan seorang wanita menawarkan dirinya- kepada lelaki yang sholih dalam rangka meneladani para salafus sholih”. [Tafsir Al-Qurthuby 13/271]

Selasa, 28 Mei 2013

VAKSINASI DAN IMUNISASI DALAM KAJIAN SYAR’I

disertai pengenalan kaidah: Jalbul Masholih wa Dar’ul Mafasid
(Pendatangan maslahat-maslahat dan penolakan mudarat-mudarat)

Ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy Al-Minangkabawy
-Semoga Alloh mengampuni dosa dan kesalahannya-

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد


Sebagaimana dimaklumi bersama, vaksinasi adalah proses penanaman bibit penyakit -yang sudah dilemahkan- ke dalam tubuh manusia atau binatang, agar tubuh bisa beradaptasi dan membentuk antibody yang akhirnya diharapkantubuh orang atau binatang tersebut menjadi kebal terhadapjenis penyakit tersebut. Adapun imunisasi adalah proses pengebalan tubuh dimana vaksinasi adalah salah satu metodenya.

Terkait dengan masalah ini, mungkin diantara kita menemukan sebagian orang yang berpendapat bahwa metode ini merupakan perbuatan terlarang, ada yang beralasan karena meniadakan rasa tawakkal, dan ada yang mengatakan bahwa perbuatan ini bentuk penjerumusan diri kepada kebinasaan melihat dampak-dampak jelek yang disinyalir akibat praktek vaksinasi.

PENCEGAHAN MERUPAKAN LANGKAH PENGOBATAN

Tindakan pencegahan atas penyakit yang dikhawatirkan bisa menimpa termasuk upaya pengobatan yang disyari’atkan. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من تصبح بسبع تمرات عجوة، لم يضره ذلك اليوم سم، ولا سحر

“Barangsiapa yang sarapan dengan tujuh butir kurma ‘ajwah (sejenis kurma Madinah), maka racun tidak akan membahayakannya pada hari itu, tidak juga sihir”. (HR Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqqosh Rodhiyallohu ‘Anhu)

Dengan dalil inilah Syaikh Ibnu Baaz Rahimahulloh menyatakan bolehnya imunisasi. Pendapat ini juga dikuatkan ulama yang lain seperti Syaikh ‘Abdurrozzaq ‘Afifi dan ‘Abdulloh bin Ghudayyan. [Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz 6/21, Fatawa Lajnah Ad-Da-imah, gel 2: 1/280]

Pengobatan maupun pencegahan tidaklah meniadakan tawakkal selama dia tidak bersandar sepenuhnya pada perkara yang ditempuhnya tersebut.[1]

Guru kami, Syaikh Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh mengatakan: “Saya tidak mengingkari orang yang melakukan imunisasi apabila dia bertawakkal kepada Alloh. Perbuatan ini tidak bertentangan dengan bentuk tawakkal yang benar.Al-‘Allamah Ibnu Baaz telah berfatwa bahwasanya perkara ini tidak bertentangan dengan tawakkal. Diantara dalil (bolehnya) perkara tersebut adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

من تصبح بسبع تمرات عجوة، لم يضره ذلك اليوم سم، ولا سحر

“Barangsiapa yang sarapan dengan tujuh butir kurma ‘ajwah (sejenis kurma Madinah), maka racun tidak akan membahayakannya pada hari itu, tidak juga sihir”.

Ini adalah bentuk pencegahan sebelum datangnya penyakit dan merupakan pendalilan yang bagus.Atas dasar ini, maka barangsiapa yang melakukan imunisasi maka tidak mengapa, dan barangsiapa yang tidak melakukannya tidaklah diingkari.

Senin, 06 Mei 2013

Wahai Kawan…, Ayo kita Belajar Lagi


 Oleh : Ummu Abdirrohman Najiyah Ibnat Kaswita
Ghoffarollohu ‘anhaa wa waalidaihaa
 
Wahai kawan…, apa kabarmu hari ini?
Masihkah tekad membaja di pagi ini
Tuk mencari kebenaran illahi
Yang dibangun diatas dalil syar’i?
Ataukah futur telah menguasai diri
Merasuk dalam jiwa dan sanubari
Sibuk dengan urusan duniawi
Mencari uang kesana kemari
Sampai larut malam atau dini hari?
Abaikan kepentingan ukhrowi
Hanya untuk mencari kebahagiaan yang tak hakiki
Kawan…, bukankah kau pernah mendengar ayat ini?[1]
Jika boleh aku menasihati
Bergegaslah untuk berbenah diri
Tumbuhkan semangat tuk tholabul ‘ilmi
Sebagai bekal di dunia dan di akhir nanti
Luangkanlah sedikit waktu untuk bisa menghadiri
Majaalisul ‘ilmi yang diliputi
Ketenangan dan rahmat dari illahi robbi
Agar kebodohan sirna dari dalam diri
Bukankah hati perlu pula kita sirami?
Dengan taushiyah yang dibangun di atas dalil syar’i
Agar keimanan bersemi sepanjang hari?
Untuk itu ayo kita ta’allum lagi!