Sabtu, 03 Maret 2012

Hukum Memakan Makanan Sesajian Ketika Tahlilan


PERTANYAAN DARI LIMBORO tentang PEMBAHASAN TAHLILAN ORANG LIHOKO 

Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory -Semoga Allah menjaganya- 

PERTANYAAN PERTAMA:
بسم الله الرحمن الرحيم
Apa hukumnya memakan makanan “sosolongki” (makanan sesajian) ketika “piha’oa” (tahlilan)? Dari Hisyam bin Abdullah Al-Limbory. (081344xxxx).
Jawaban:
بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، أما بعد:
Sebelum membahas masalah “nima’a sosolongki” (makanan sesajian yang diletakan di ruangan khusus atau kamar pusaka) terlebih dahulu kita mengetahui hukum “piha’oa” (tahlilan). Untuk mengetahui masalah ini perlu kita ketahui sejarah munculnya “piha’oa” (tahlilan)? Dan apakah di dalam Islam ada “piha’oa” (tahlilan)?. 

Sejarah “Piha’oa” (Tahlilan). 

Di dalam sejarah kebudayaan Islam telah dikisahkan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh para pedagang, yang tentu sudah dimaklumi bersama bahwa para pedagang tersebut bukan dari kalangan ulama’ dan bukan pula penuntut ilmu. Telah dijelaskan pula dalam buku-buku SKI (sejarah kebudayaan Islam) bahwa Islam masuk di Indonesia dengan mudah diterima dan Islam cepat berkembang karena sebab utamanya “menyesuaikan dengan adat istiadat yang ada”. Masuknya agama Islam di Indonesia merupakan salah satu sebab runtuhnya kerajaan Majapahit, yang masyarakatnya beragama hindu dan budha, yang keyakinan mereka diantaranya animisme, dinamisme dan yang semisalnya. Kebiasaan mereka bila ada yang meninggal maka mereka membuatkan hari; hari ketiga, ketujuh, keempat puluh atau yang semisalnya, dan mereka membuatkan “sosolongki” (kamar pusaka), bahkan di kamar tersebut diletakan lampu, daun kekiri campur tembakau (rokok zaman dulu), bila masuk acara “pialoa” (acara hari kematian) maka mereka meletakan sesajian yang dimaksudkan supaya “sumanga” (roh) orang yang meninggal datang menikmati hidangannya dan sisanya kemudian diperintahkan untuk dimakan oleh anak kesayangan atau kerabat orang yang meninggal tersebut. Ketika orang-orang sufi mendakwahkan Islam di Jawa maka mereka mulai melakukan adaptasi, mantra-mantra (bacaan-bacaan) ketika mengadakan acara “pialoa” (acara hari kematian), mereka rubah dengan tahlilan dan dzikir, orang hindu-budha mengumumkan waktu sembahyang dengan memukul beduk (gendang), kemudian orang sufi mengumunkan waktu shalat dengan mendahulukan memukul beduk lalu dikumandangkan adzan, dan masih sangat banyak model-model dakwah penyesuaian yang bertolak belakang dengan ajaran Islam. 

Hukum “Piha’oa” (Tahlilan). 

Setelah kita ketahui dari penjelasan singkat tersebut bahwa “Pialoa” (acara hari kematian) dan “Piha’oa” (tahlilan) bukan dari ajaran Islam akan tetapi dari warisan kaum musyrikin (para penyembah berhala, kuburan dan patung atau yang lebih dikenal bersumber dari ajaran hindu-budha) maka hukumnya adalah bid’ah (perkara yang diada-adakan) di dalam Islam, dan setiap perkara yang diada-adakan adalah tertolak, dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah –semoga Allah meridhainya- bahwa Nabi –Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد»
“Barangsiapa melakukan perkara baru (bid’ah) dalam urusan (agama) kami ini yang dia bukan darinya maka tertolak”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
Dan di dalam “Shahih Muslim” Nabi –Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد»
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang amalan tersebut bukan dari urusan (agama) kami maka dia tertolak”.
Setelah kita mengetahui seperti itu hukumnya maka betapa kasihan dan ruginya orang-orang yang mengadakan pialoa (acar hari kematian) dan piha’oa (tahlilan), sudah banyak membuang-buang harta namun tidak dapat pahala bahkan mendapat dosa, Allah Ta’ala berkata:
﴿قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا﴾ [الكهف: 103 ، 104]
“Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? (yaitu) orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat dengan sebaik-baik perbuatan”. (Al-Kahfi: 104). 

Membaca Tahlilan Sambil Membakar “Dtuba” (Kemenyan). 

Banyak dari orang-orang tua terkhusus keturunan Lihoko (Lipacu, Holimombo dan Kondowa) dari kecamatan Pasar Wajo-Buton bila disampaikan kepada mereka bahwa “pialoa” (acara hari kematian) adalah bid’ah (perbuatan sesat) maka mereka pun berwasiat kepada anak-cucunya: “Kalau kalian tidak mau melakukan “pialoa” (acara hari kematian) maka cukuplah kalian “polele sumanga” (mengabari roh-roh) dengan mencukupkan membakar “dupa” (kemenyan) supaya tidak mengeluarkan dana untuk “pialoa” (acara hari kematian)”. 
Maka kami katakan: Kebiasaan orang-orang kuno pada zaman kerajaan Majapahit atau zaman Walisongo maka didapati bahwa fungsi membakar kemenyan adalah untuk mendatangkan roh-roh atau makhluk-makhluk halus. Begitu pula di Jawa pada zaman ini, para dukun menggunakan kemenyan untuk mengundang para jin. Ketika orang-orang sufi dikritik masalah ini maka mereka melakukan “piha’oa” (tahlilan) dengan tidak diikutkan kemenyan, adapun orang-orang Lihoko yang bersuku Buton ketika melakukan tahlilan maka mereka sertakan dengan membakar “dupa” (kemenyan) dengan tujuan supaya roh orang yang meninggal atau roh nenek moyang mereka akan datang memenuhi undangan makan makanan “pialoa” (acara hari kematian) atau “piha’oa (tahlilan). Bila ada orang tua sebelum dia meninggal mewasiatkan untuk dilakukan “pialoa” (acara hari kematian) atau “piha’oa” (tahlilan) dan “polele sumanga ompu” (penghabaran kepada roh-roh nenek moyang) maka tidak boleh ditaati dan tidak boleh mengikuti wasiatnya karena Allah Ta’ala berkata:
﴿وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا﴾ [لقمان: 15]
“Dan jika kedua (orang tuamu) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentang itu, maka janganlah kamu mentaati (mengikuti) keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik”. (Luqman: 15).
Orang Yang Sudah Meninggal Tidak Akan Bisa Lagi Untuk Kembali Kedunia, Baik Jasad Maupun Rohnya. Orang yang memeluk agama Islam dan beriman tentu akan berkeyakinan bahwa seseorang yang sudah meninggal dunia tidak memiliki kemampuan lagi untuk kembali ke dunia, bila dia termasuk dari orang-orang yang sesat dan suka berbuat dosa maka ketika kematian menjemputnya dia pun merasakan sakit yang sangat, begitu pula ketika di kubur, jasad dan rohnya akan disiksa dan diazab sampai dia tidak kuasa menahan sangat pedihnya penderitaan, dia pun akhirnya meminta kepada Allah Ta’ala untuk dikembalikan ke dunia supaya beramal shalih, Allah Ta’ala berkata tentang orang seperti itu:
﴿حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ (99) لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (100)﴾ [المؤمنون: 99-101]
 “(Demikianlah keadaan orang-orang sesat itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Robbku kembalikanlah aku (ke dunia), supaya aku melakukan amal kebaikan terhadap yang telah aku tinggalkan!, sekali-kali tidak, sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan”. (Al-Mu’minun: 99– 101).
Dalam ayat tersebut sangat jelas bahwa orang yang sesat maka dirinya dan rohnya tidak bisa lagi kembali ke dunia, bila ada yang mengaku bahwa ketika tahlilan rohnya datang memakan makanan tahlilan maka ketahuilah bahwa itu bukan rohnya akan tetapi jin yang menyerupainya. Sungguh sudah sangat banyak kami mendengar dari para “pbisa” (dukun-dukun muda yang kesurupan jin-jin namun mengaku bahwa yang masuk di dalam tubuhnya adalah roh-roh nenek moyangnya) mengatakan bahwa: “Roh-roh orang yang meninggal dunia datang memenuhi panggilan asap “dupa” (kemenyan) lalu memakan makanan sesajian (tahlilan), dan roh-roh tersebut mengotori makanan-makanan tahlilan, baik dikotori dengan kotoran orang yang meninggal tersebut atau dikotori dengan kotoran-kotoran yang menjijikan lainnya”, dari keyakinan tersebut banyak dari mereka kemudian jijik untuk memakan makanan “piha’oa” (tahlilan) atau “pialoa” (hari raya kematian). Sekilas Penjelasan Tentang “pbitsa” atau “ana kamohane” (anak muda yang mengaku kesurupan roh-roh nenek moyang). Suatu keanehan dari sebagian keturunan suku Buton yang berasal dari Lihoko (Lipacu, Holimombo dan Kondowa) ketika ada dari sebagian anak-anak mereka yang aneh; berbicara sendiri, bangun di tengah-tengah malam lalu duduk dan berbicara sendiri dan tampak seperti orang yang tidak waras maka orang tuanya langsung membuatkannya “kolungku” (kamar khusus) atau yang biasa dikenal dengan “kamar pusaka”, dengan keanehan pada anaknya tersebut mereka yakini bahwa itu adalah tanda bahwa roh-roh nenek moyangnya sedang masuk ke tubuh anaknya dan dia akan menjadi anak yang “pintar” atau istilah lain “pendekar”. Mereka tidak sadari padahal yang sebenarnya masuk dalam tubuh anaknya adalah para jin yang mengaku sebagai roh-roh nenek moyangnya, karena roh-roh nenek moyang tidak lagi bisa kembali ke dunia sebagaimana telah lewat penjelasannya. Pembuktian bahwa yang masuk ke  Suka diberikanüdalam tubuh anak-anak mereka itu adalah para jin:  sesajian yang dilengkapi dengan daun kikiri, tembakau (kalau di zaman ini kesukaannya dengan rokok gudang garam merah) dan menyalakan lampu, di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak dikenal perkara semisal ini, dan ini bersumber dari kebiasaan para biksu, saolin,  Para jin  pendeta dan para penyembah api yang beragama majusi.  –dengan izin Allah- mampu merubah bentuk, mereka bisa merubah bentuk menjadi binatang semisal ular (sebagaimana dalam kitab “Shahih Muslim” dari hadits Jabir bin Abdillah), dan mereka bisa pula merubah bentuk menjadi manusia (sebagaimana pada kisah perang Badr, ada syaithan dari kalangan jin berubah bentuk menjadi pembesar kafir Quraisy yang mengomando pasukan kafir Quraisy untuk menyerang kaum Muslimin namun ketika dia melihat para malaikat turun dari langit untuk membantu kaum Muslimin dia pun lari dengan sangat kencang lalu mencemplungkan dirinya ke dalam sumur untuk bersembunyi karena ketakutan). Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa roh-roh yang datang untuk menyantap hidangan “piha’oa” (makanan tahlilan) adalah para jin yang merubah bentuk seperti roh-roh orang yang meninggal dunia, begitu pula dengan orang yang kesurupan, yang datang dan masuk ke dalam tubuhnya adalah para jin yang mengaku-ngaku sebagai “ompu” (nenek moyang)nya anak yang kesurupan  Paling “parlente” (dusta) dalam berbicara, tidak diragukan lagi bahwa para jin adalah paling pendusta dalam berbicara (sebagaimana dalam “Shahih Al-Bukhary” dan “Shahih Muslim” dari hadits Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- datang dengan merubah bentuk seperti manusia kemudian mencuri makanan maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  menyebutkan bahwa dia adalah pendusta).
Tidak shalat, kebanyakan dari mereka yang mengaku kesurupan roh-roh “ompu” (nenek moyang) meninggalkan shalat, sedangkan meninggalkan shalat termasuk dari salah satu penyebab seseorang jadi kafir, dari Jabir semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ».
“(Perjanjian) antara seorang hamba dan antara kekufuran adalah meninggalkan shalat”. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzy, beliau berkata: Hadits ini hasan shahih).
Di dalam “Sunan At-Tirmidzi” dengan lafadz:
«بين العبد وبين الشرك أو الكفر ترك الصلاة»
“(Pemisah) antara seorang hamba dan antara kekufuran adalah meninggalkan shalat”. Pada riwayat yang lain di dalam “Sunan Ibnu Majah” dari Anas bin Malik dengan lafadz:
«ليس بين العبد والشرك إلا ترك الصلاة، فإذا تركها فقد أشرك»
 “Tidaklah (pemisah) antara seorang hamba dan syirik melainkan meninggalkan shalat, jika dia ümeninggalkan shalat maka sungguh dia telah berbuat syirik”.  
Menisbatkan berkah kepada “ompu” (nenek moyang), bila mereka membaca “ngaji-ngaji” (mantra-mantra) maka diakhir bacaannya mereka tutupi dengan “kaberkah ompu La Ode...” (atas berkah kakek La Ode....) atau mereka nisbatkan berkah kepada “ompu” (nenek moyang) atau yang selainnya, maka jelas ini adalah kesyirikan yang terbesar, karena berkah datangnya hanya dari Allah Ta’ala, dan Dia-lah Yang Maha Berkah sebagaimana Allah Ta’ala jelaskan dalam Al-Qur’anul Karim:
﴿تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴾ [الملك: 1]
“Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Al-Mulk (Maha Kuasa) atas segala sesuatu”. (Al-Mulk: 1). Allah Ta’ala jelaskan pula:
﴿إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (54) ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (55)﴾ [الأعراف: 54، 55]
 “Sesungguhnya Robb kamu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari, lalu Dia beristiwa’ di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, yang menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Robb semesta alam. Berdoalah kepada Robbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. §(Al-A’raf: 54، 55).
Dari ayat tersebut Allah Ta’ala nyatakan bahwa:  
Dia yang menciptakan langit dan apa saja yang ada di dalamnya.  Menetapkan bahwa Allah Ta’ala yang memberi berkah sebagaimana dalam “Shahih Al-Bukhary” dari Jabir bin Abdillah semoga Allah merahmatinya:  Pada ayat tersebut
§«البركة من الله» “Berkah (datangnya) dari Allah”.  Allah Ta’ala perintahkan untuk berdoa kepada-Nya, adapun orang yang berdoa kepada selain-Nya maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan yang besar, dan dia telah terjatuh ke dalam kesesatan yang nyata, Allah Ta’ala berkata:
﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا﴾ [النساء: 116]
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik (mempersekutukan sesuatu) dengan-Nya, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya”. (An-Nisa’: 116). S
ekilas Penjelasan Tentang Para Jin: Para jin berbeda-beda, ada jin yang shalih (yang beragama Islam) dan ada pula jin yang sesat. Adapun jin yang shalih maka mereka rajin beribadah, mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan mengikuti pengajian, mereka memakan makanan yang halal, mereka jujur, mereka tidak menipu dan tidak pula mengganggu manusia (sebagaimana yang Allah Ta’ala jelaskan dalam Al-Qur’anul Karim pada surat “Al-Jin” dan surat yang lainnya). Sedangkan jin yang sesat maka mereka suka memakan makanan yang haram, memakan tulang, memakan bangkai, rajin menghadiri kemaksiatan, menghadiri acara-acara bid’ah dan kesyirikan semisal “polele sumanga ompu” (pengabaran kepada roh-roh nenek moyang), suka berdusta, suka menyusup ke tubuh manusia, menipu dan membisik-bisikan kejelakan kepada manusia; dan banyak dari kalangan manusia tertipu dengan para jin sampai dibuatkan sesajian dan dibakarkan “dupa” (kemenyan). 

Menanggapi Keyakinan Sesat. 

Telah tersebar di kalangan orang-orang Lihoko (Lipacu, Holimombo dan Kondowa) bahwa bila seseorang tidak mengadakan “piha’oa” (tahlilan), “pialoa” (acara hari kematian) dan “polele sumanga” (pemberitaan kepada para roh) maka akan mendapatkan bala’ dan malapetaka. Kami katakan: Bahwa itu adalah keyakinan yang salah, orang yang bertawakal kepada Robbnya dan berimana kepada-Nya dengan sebenar-benar keimanan maka tentu tidak akan terkena ancaman itu, karena ancaman seperti itu tidak lain hanya tipu daya syaithan dari kalangan jin, tujuannya supaya anak keturunan Nabi Adam ‘Alahis Salam tunduk dan patuh serta takut kepada mereka yang mengaku sebagi “sumanga” (roh-roh) itu, orang yang beriman tentu tidak tertipu dan tidak takut dengan makar dan tipu daya syaithan, baik itu syaithan dari kalangan jin maupun syaithan dari kalangan manusia, karena Allah Ta’ala berkata:
﴿إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ﴾ [آل عمران: 175]
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaithan yang menakut-nakuti (kalian) dengan kawan-kawannya (orang-orang yang berbuat syirik), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku, jika kalian benar-benar orang yang beriman”. (Ali Imron: 175).
Ayat tersebut meminta pembuktian kepada orang-orang yang mengaku sebagai seorang muslim apakah dia hanya takut kepada Allah Ta’ala ataukah masih punya rasa takut kepada selain-Nya?. Jika masih ada yang merasa takut kepada ancaman bala’ dan malapetaka karena tidak melakukan “piha’oa” (tahlilan), “pialoa” (acara hari kematian) dan “polele sumanga” (pemberitaan kepada para roh) maka kami katakan: Kami dan saudara-saudara kami seiman tidak melakukan perbuatan sesat ini, Alhmadulillah kami tidak terkena bala’ dan malapetaka sampai saat ini?!!! Jika masih menginginkan bukti lagi maka ketahuilah bahwa di pulau Bali masih terus ramai kegiatan-kegiatan seperti itu dilakukan, mereka meyakini bahwa memberikan sesajian kepada patung-patung dan membakar kemenyan untuk mengundang roh-roh adalah kegiatan dan amalan mereka, barang siapa tidak melakukan amalan tersebut maka akan mendapatkan bala’ dan malapetaka, mereka meyakini pula bahwa barang siapa bersengaja menginjak sesajian yang mereka sajikan kepada patung dan roh-roh atau bersengaja menghinakannya maka akan mendapatkan bala’ dan malapetaka, ketika kami PKL (praktek kerja lapangan) di RS Sanglah-Bali kami bersengaja menginjak dan menghina sesajian dan tempat kemenyan yang mereka letakan di pinggir-pinggir jalan atau di letakan di depan pintu-pintu RS Sanglah, dari perbuatan kami tersebut, kami Alhamdulillah tidak terkena bala’ atau malapetaka sampai kami selesai PKL dan kembali ke Surabaya. 

Meluruskan Pemahaman Yang Salah. 

Sebagian dari orang-orang Lihoko (Lipacu, Holimombo dan Kondowa) berpemahaman bahwa mengadakan “piha’oa” (tahlilan), “pialoa” (acara hari kematian) dan “polele sumanga” (pemberitaan kepada para roh) itu termasuk salah satu dari bersedekah. Kami katakan: Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah mengajarkan tata cara bersedekah yang sangat mudah yaitu mengambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang-orang yang miskin, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata tentang sedekah:
«تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ»
“Diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Abdullah bin ‘Abbas). Adapun “piha’oa” (tahlilan), “pialoa” (acara hari kematian) dan “polele sumanga” (pemberitaan kepada para roh) kebalikannya, orang yang sudah menderita karena kematian anggota keluarganya malah diberi beban untuk mengadakan perkara tersebut, yang diundang untuk menghadirinya pun tokoh-tokoh masyarakat dan ketika mereka keluar dari majelis tersebut, mereka membawa “tamela” (bungkusan) dan diberi uang saku, padahal dari kalangan mereka itu adalah orang-orang yang berkecukupan, ada dari mereka sebagai kepala desa, pegawai negri dan yang semisalnya. Dari penjelasan tersebut maka semakin kita ketahui dengan sejelas-jelasnya bahwa “piha’oa” (tahlilan), “pialoa” (acara hari kematian) dan “polele sumanga” (pemberitaan kepada para roh) merupakan tipu daya syaithan dari kalangan jin, yang dia menginginkan supaya manusia sibuk dengan acara-acara sesat dan semakin menjauh dari syari’at Islam. 

PERTANYAAN KEDUA:

بسم الله الرحمن الرحيم
Apa hukum memakan makanan “pialoa” (acara hari kematian), karena kami ketahui bahwa hukum asalnya pada makanan itu adalah boleh tapi kami mengingkari perbuatan tersebut? Dari Abu Jarir Ibnu Alimu Al-Limbory (08539xxxxxx).
Jawaban:
بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله رب العالمين، وبعد:
Telah lewat pembahasan tentang makanan “pialoa” (acara hari kematian) bahwa makanan yang disajikan di majelis “piha’oa” (tahlilan) di kotori oleh syaithan dari kalangan jin yang mengaku sebagai “honicu” (roh-roh orang yang meninggal), dan telah diketahui bahwa syaithan dari kalangan jin tempat tinggalnya adalah di tempat-tempat kotor seperti WC dan yang semisalnya, dengan sebab itu syari’at Islam memerintahkan kepada pemeluk agama Islam untuk berdoa sebelum masuk WC:
«اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ».
“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari syaithan prempuan dan syaithan laki-laki”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Anas bin Malik). Karena mereka dari tempat yang najis, kotor dan jijik maka ketika datang memenuhi panggilan orang-orang “piha’oa” (tahlilan) yang menggunakan “dtupa” (kemenyan) mereka pun datang melewati hidangan (makanan) yang disajikan di majelis “piha’oa” (tahlilan), terkadang mereka membuang kotoran-kotoran pada hidangan atau sajian tersebut, manusia yang ikut menghadiri “piha’oa” tidak mampu melihat mereka dan tidak pula mampu melihat apa yang mereka lakukan, akan tetapi mereka yang mampu melihat para hadirin di majelis tersebut, sebagaimana yang Allah Ta’ala katakan tentang mereka
: ﴿إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ﴾ [الأعراف: 27]
 “Sesungguhnya dia (syaithan dari kalangan jin) dan pengikut-pengikutnya melihat kalian dari suatu tempat yang kalian tidak bisa melihat mereka”. (Al-A’raf: 27). 
Setelah kita mengetahui perbuatan jin yang jijik tersebut maka hendaklah bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam untuk menjauhi makanan “pialoa” (acara hari kematian), makanan “sosolongki” (sesajian untuk kamar pusaka) dan makanan “piha’oa” (tahlilan), walaupun hukum asal pada makanan adalah boleh namun bila makanan tersebut terkotori oleh kesyirikan atau tercemari dengan “honicu” (jin-jin yang mengaku sebagai roh-roh) maka hendaklah dia tidak memakan makanannya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«إنَّ الْحَلالَ بَيِّنٌ، وَالْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ، لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ، فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ: اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ: وَقَعَ فِي الْحَرَامِ»
“Sesungguhnya yang halal adalah jelas, yang harom juga jelas dan diantara keduanya terdapat kerancuan-kerancuan (ketidak jelasan), yang kerancuan-kerancuan tersebut tidak diketahui oleh kebanyakan dari manusia. Barang siapa yang meninggalkan kerancuan-kerancuan maka dia telah menjaga agama dan kehormatannya, dan barang siapa yang cemplung (mengikuti) kerancuan-kerancuan) tersebut maka dia terjatuh dalam keharoman”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari An-Nu’man bin Basyir). 
Yang mengerti tentang masalah fiqih tentu mengakui bahwa hukum asal segala sesuatu adalah boleh termasuk makanan, kecuali ada dalil yang memalingkan hukumnya menjadi harom, sebagaimana makanan yang diperoleh dengan cara mencuri, minta-minta atau diperoleh dari gaji kerja di tempat riba semisal BANK, atau makanan diperoleh dengan sebab gaji dari menjadi pelacur atau menjual anjing, maka hukum makanannya harom, Al-Imam Al-Bukhary –semoga Allah merahmatinya- berkata: Telah menceritakan kepada kami Adam, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Aun bin Abi Juhaifah dari Bapaknya, beliau berkata:
((لعن النبي صلى الله عليه و سلم الواشمة والمستوشمة وآكل الربا وموكله ونهى عن ثمن الكلب وكسب البغي ولعن المصورين))
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat orang yang mentato dan ditato, orang yang memakan riba dan memberi makan dengan riba, dan beliau melarang dari harga (menjual) anjing, dan gaji pelacur, dan beliau melaknat para tukang gambar (foto)”. Begitu pula makanan yang halal kemudian terkena cairan yang najis seperti terkena lemak babi, atau terkena air kencing manusia maka makanan tersebut berubah menjadi harom begitu sebaliknya makanan sesajian yang disajikan kepada “sumanga” (para roh), asal makanannya halal namun karena sudah terkotori dengan kesyirikan dan yang semisalnya (sebagaimana telah lewat pembahasannya) maka harom pula untuk dimakan. Wallahu A’la wa Ahkam. Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat untuk kami, kedua orang tua kami, saudara-saudara kami serta siapa saja yang mendapatkan jawaban ini.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ، وَآَخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ