Kamis, 01 Desember 2011

Adab Persahabatan dan Pergaulan


Oleh : Ummu Abdirrohman Najiyah Ibnat Kaswita
Ghoffarollohu ‘anhaa wa waalidaihaa

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاةوالسلام على رسول الله وعلى آله ومن والاه أما بعد:
Segala puji bagi Alloh yang telah memulyakan hamba-hambanya dengan persahabatan dan persatuan di dalam agama. Dan yang telah memberikan taufiq-Nya untuk memulyakan hamba-hamba yang ikhlash dan yang telah menghiasi mereka dengan akhlaq-akhlaq yang mulia dan perangai yang diridho’I, beradab dengan seutama-utama manusia dan pemimpin umat ini.
Ketahuilah wahai saudaraku yang sholih, semoga Alloh memperbaiki keadaan kita. Bahwasannya adab-adab pergaulan dan baiknya pergaulan itu ada beberapa bentuk. Dan saya akan menjelaskan diantara bentuk-bentuk tersebut  yang menunjukkan kepada orang yang berakal tentang akhlaq-akhlaq kaum muslimin  dan adab-adabnya orang-orang yang sholih. Dan dia telah mengetahui bahwasannya Alloh telah menjadikan sebagiannya dengan sebagian yang lain rohmat, kasih sayang dan pertolongan. 

Oleh karena itu Rosululloh _Sholallohu ‘alaihi wa salaam_ bersabda :
 
مثل المئمنين في توادهم وتراحمهم كمثل الجسد, إذااشتكي منه عضوتداعي سائره باالحمي والسهر

“Permisalan kaum mu’minin didalam kasih sayang dan rohmatnya seperti satu jasad, apabila salah satu anggota badannya itu sakit maka seluruh anggota badan tersebut  akan ikut merasakan dengan panas dan bergadang.”(HR. Bukhori, Muslim dan Ahmad)
Dan Rosululloh _Sholallohu ‘alaihi wa salaam_ bersabda :
« إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا » . وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ (البخاري َعن أَبِى مُوسى)

Sesungguhnya seorang mu'min dengan mu'min yang lain seperti suatu bangunan yang kokoh, yang menguatkan satu dengan yang lain…
Dan Rosululloh _Sholallohu ‘alaihi wa salaam_ bersabda :
ا لأرواح جنود مجندة, ما تعارف منهاائتلف, وماتناكَرمنهااختلف

 “Ruh-ruh itu laksana tentara yang berbaris, apa-apa yang mereka sepakati maka akan bersatu, dan apa-apa yang mereka saling mengingkari maka maka akan berselisih.”(HR. Bukhori dan Muslim)
Dan Rosululloh _Sholallohu ‘alaihi wa salaam_ bersabda :
إِنَّ ا لأرواح تلا قي  في الهوي فتشام, فما تعارف منهاائتلف, وماتناكَرمنهااختلف

“Sesungguhnya ruh-ruh itu saling bertemu di udara, maka saling membaui/ saling mempengaruhi , apa-apa yang mereka sepakati maka akan bersatu dan apa-apa yang mereka saling mengingkari maka akan berselisih/tidak bersatu.”(HR. Suyuthi dan Haitsami, hadits ini dhoif)
Apabila Alloh menginginkan kebaikan kepada seorang hamba maka Alloh memberikan taufiq kepadanya untuk bergaul dengan ahlu sunnah, orang-orang yang sholih dan pemilik agama dan membersihkan dari bergaul dengan ahlul ahwa dan ahlul bida’.
Dan Rosululloh _Sholallohu ‘alaihi wa salaam_ bersabda :
المرئ علي دين خليله, فلينظر احدكم من يخالل

“Seseorang itu di atas agama teman karibnya, maka hendaklah salah seorang diantara kalian melihat siapa yang menjadi temannya.”(HR. At Tirmidzi, Abu Daud dan  Ahmad)
Dan sebagian dari mereka mengatakan :
عن المرئ لاتسأل وسل عن قرينه فكل قرين باالمقارن يقتدي

“Janganlah engkau bertanya tentang diri seseorang, dan tanyalah tentang teman dekatnya, karena sesungguhnya setiap teman dan yang ditemani akan saling mencontoh.”
Dari perkataan Ali bin Abi Tholib _Rodhiyallohu ‘anhu_:
ولاتصحب اخا الجهل        و إياك و إياه
فكم من جاهل اردي         حليماحين يلقاه
يقاس المرئ باالمرئ         اذا ماهوماه
وللشئ علي الشئ             مقا ييس وأشباه
وللقلب علي القلب          دليلحين يلقاه

 Janganlah engkau berteman dengan orang yang bodoh
Hati-hati kamu darinya
Maka berapa banyak orang yang jahil memberikan pengaruh
Kepada orang yang sabar ketika bertemu
Seseorang itu dibandingkan dengan seseorang
Ketika dia berjalan bersama
Dan antara sesuatu dengan sesuatu
Ada perbandingan dan penyerupaan
Dan antara hati dengan hati
Ada bukti ketika saling bertemu
Dan termasuk akhlaq mulia yang dimiliki oleh seorang hamba adalah dia bergaul dengan saudaranya diatas kecintaan kepada Alloh. Tentang mencintai karena Alloh, telah disebutkan dalam ash shohihain, dari hadits Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘anhu, dari Nabi _ Sholallohu ‘alaihi wa salaam_, beliau bersabda tentang tujuh golongan yang dilindungi Alloh dalam lindungan-Nya, pada hari yang tiada lindungan selain lindungan-Nya, salah satu diantaranya adalah dua orang yang saling mencintai karena Alloh, berkumpul dan berpisah karena Alloh pula. (HR. Bukhori dan Muslim)
Orang yang mencintai karena Alloh, tentu juga membenci karena Alloh. Maka apabila seorang hamba ingin mengambil contoh dari seseorang maka hendaknya dia melihat apakah dia (orang yang hendak kita contoh) termasuk ahli dzikr (orang yang selalu mengingat Alloh) ataukah dia termasuk orang-orang yang lalai. Dan apakah yang menjadi pemutus perkaranya adalah hawanafsu ataukah wahyu? Maka apabila yang menjadi pemutus perkaranya adalah waha nafsu berarti termasuk dari orang-orang yang lalai, dan sungguh perkaranya sia-sia.
Alloh _subhanahu wata’ala_ berfirman :
“… ولا تطع من أغفلنا قلبه عن ذكرنا واتبع هواه وكان أمره فرطا (28”

“… dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”(QS. Al Kahfi “ 28)
Dan maksud dari ayat di atas adalah bahwasanya Alloh telah melarang kita untuk taat kepada orang yang mengumpulkan sifat-sifat ini. Maka sepantasnya bagi seseorang untuk melihat kepada syaikhnya atau panutannya dan yang diikutinya. Maka apabila dia mendapatkannya demikian (mengumpulkan sifat-sifat di atas) maka menjauhlah darinya, dan apabila dia mendapatkannya termasuk dari orang-orang yang banyak mengingat Alloh dan mengikuti sunnah, dan perkaranya tidak sia-sia, bahkan dia kokoh dalam urusannya, maka lazimilah dia dengan kuat.
Ketika seseorang lalai dari mengingat Alloh maka pasti dia akan mengikuti hawa nafsunya, sedangkan hawa nafsu senantiasa nmenunjuki pada kejelekan.
Dan demikianlah seluruh keterkaitan diantara kaum muslimin, baik ketika bergaul, bersahabat/bersaudara diatas mengingat Alloh dan mengikuti sunnah rosul. Bukan diatas kepentingan-kepentingan pribadi dan bukan karena urusan-urusan dunia yang menguntungkan, yang mana manusia itu akan hilang bersama hembusan angin dan Al Haqqlah yang kekal.
Dan bukan perkara yang diragukan lagi bahwasanya agama Alloh akan tegak di atas kedua pokok yang besar, yaitu :
1.  Mengikhlashkan untuk Alloh dalam beribadah
2.  Mengikhlashkan kepada Rosululloh di dalam pengikutan
Maka hilangnya salah satu dari kedua pokok ini, maka tidak diragukan lagi dia dalam kerugian yang besar. Sepantasnya bagi seseorang untuk selalu ada dalam perkaranya adalah ikhlash dan mutaaba’ah, jika tidak ada salah satunya saja maka akan binasa.
Dan hendaknya seseorang itu mencintai seorang muslim karena keislamannya, membenci karena kedurhakaannya, sehingga engkau berdiri pada posisi yang adil antara satu sisi dengan sisi yang lain. Jika dia merasa lalai dan menyesali kedurhakaan yang dilakukannya, maka engkau harus menutupi kedurhakaannya. Namun jika terus menerus durhaka, maka enkau harus menunjukkan tanda ketidak senanganmu terhadap dirinya, dengan cara menjauh dan menghindarinya serta berkata ketus kepadanya, yang keketusannya tergantung pada porsi kedurhakaannya.
Adapun orang yang menyalahi perintah Alloh itu dapat dibedakan menjadi beberapa bagian:
1.  Karena dia orang kafir. Jika dia menunjukkan tanda-tanda permusuhan, maka dia layak diperangi dan darahnya ditumpahkan agar setelah itu tidak ada lagi sikap yang meremehkan. Jika dia ahli dzimmah, maka tidak boleh menyakitinya. Tapi dia perlu diberi pelajaran, seperti diberi hukuman pengucilan. Tidak perlu mengawali ucapan salam kepadanya. Jika dia mengucapkan salam maka kita jawab “wa ‘alaika”
Yang lebih baik ialah tidak bergaul, kumpul-kumpul dan makan-makan bersama orang kafir. Dimakruhkan berbaik hati kepadanya, seperti berbaik hati kepada temannya.
2.  Pelaku bid’ah. Jika dia termasuk orang yang mengajak kepada bid’ah, yang bid’ahnya membawa kepada kekufuran, maka dia harus lebih dikerasi daripada ahli dzimmah. Karena dia tidak menetapi pembayaran jizyah, maka diapun tidak boleh diberi tenggang rasa seperti ahli dzimmah. Jika bid’ahnya tidak membawa kepada kekufuran, maka urusannya diserahkan kepada Alloh, yang tentu saja urusanya lebih ringan daripada orang kafir. Tetapi pengingkaran terhadap dirinya harus lebih keras daripada pengingkaran terhadap orang kafir, karena dampak negative yang dibawa orang kafir tidak bisa menjalar kemana-mana dan tidak ada perhatian terhadap perkataan-perkataannya. Berbeda dengan pelaku bid’ah yang mengajak orang lain kepada kebid’ahanya. Sebab dia yakin bahwa apa yang diserunya adalah benar, sehingga bisa mengecoh manusia dan dampak negatifnya bisa menjalar kemana-mana. Jadi memperlihatkan ketidak sukaan terhadap dia, menjauihinya, memusuhinya, melecehkannya, memburukkan bid’ahnya, dan memperingatkan manusia harus dilakukan dengan cara yang lebih tegas.
Sedangkan pelaku bid’ah dari kalangan orang awwam, yang tidak mampu mengajak orang lain dan tidak dikhawatirkan akan ada yang mengikutinya, maka urusannya lebih ringan. Cara yang paling baik untuk menghadapinya ialah dengan cara menashihatinya secara lemah lembut karena hati orang awwam mudah berbalik. Jika nashihat tidak bermanfaat, maka dia harus dijauhi sekedar untuk menunjukkan pelecehan terhadap bid’ahnya, kalau memang cara ini efektif. Jika cara inipun tidak bermanfaat karena kekerasan tabi’atnya dan keyakinanya yang sudah meresap di dalam hati, maka dia harus dijauhi secara total. Sebab jika bid’ah itu tidak dilecehkan, maka ia akan cepat menjalar ke tengah manusia.
3. Durhaka sebatas pada perbuatan dan bukan pada keyakinan. Jika kedurhakaannya mengganggu orang lain, seperti berbuat dzolim, marah-marah, memberi kesaksian palsu, menggunjing, mengadu domba dan lain-lainnya, maka cara yang paling baik adalah menjauh darinya, tidak berteman dengannya dan mengucilkannya. Begitu pula perlakuan terhadap orang yang mengajak kepada kerusakan, seperti orang yang memberi kesempatan kepada laki-laki dan wanita untuk berkumpul dan menyediakan khomer bagi orang-orang yang rusak.
Jika seseorang melakukan kefasikan sebatas untuk dirinya sendiri, seperti minum khomer, berzina atau meninggalkan yang wajib, maka urusannya lebih ringan. Tapi jika perbuatannya itu tertangkap tangan maka dia harus dicegah dan dinashihati. Jika nashihat tidak mempan, dia bisa diperlakukan lebih keras lagi.

Sifat-sifat yang disyaratkan tentang orang yang dipilih sebagai teman  

Diriwayatkan oleh nabi sholallohu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda:
المرئ علي دين خليله, فلينظر احدكم من يخالل

“Seseorang itu di atas agama teman karibnya, maka hendaklah salah seorang diantara kalian melihat siapa yang menjadi temannya.”(HR. At Tirmidzi, Abu Daud dan  Ahmad)
Ketahuilah bahwa tidak semua orang layak untuk dijadikan teman. Karena itu orang yang dijadikan teman harus memiliki sifat-sifat yang menunjang persahabatan. Masalah ini ada persyaratannya, tergantung dari manfaat yang dituntut dari persahabatan itu, apakah persahabatan itu berorientasi pada keduniaan, seperti pemanfaatan harta dan kedudukan, atau hanya sekedar persahabatan biasa dan berbincang-bincang. Tapi bukan itu tujuan kami, boleh jadi persahabatan itu berorientasi agama, yang di sana berhimpun tujuan yang beragam, diantaranya mencari manfaat lewat ilmu dan amal, mencari manfaat lewat kedudukan, karena hendak berjaga-jaga dari gangguan orang yang bisa mengotori hati dan menghalangi untuk melaksanakan ibadah, mencari dukungan dalam melaksanakan tugas, sehingga kondisinya menjadi kuat. Ada pula tujuan-tujuannya untuk mencari manfaat untuk kepentingan akhirat, sebagaimana yang dikatakan sebagian salaf “perbanyaklah teman, karena setiap orang mu’min itu mempunyai syafa’at”. Inilah diantara beberapa manfaat itu, yang setiap manfaat menuntut syarat-syarat tertentu.
Secara global, orang yang engkau pilih sebagai teman karib harus mempunyai lima sifat sebagai berikut :
1.   Orang yang alim yang berakal. Karena akal (kepandaian) merupakan modal yang utama. Tidak ada kebaikan bergaul dengan orang yang bodoh, karena bisa saja dia hendak memberikan manfaat  kepadamu tetapi justru memberi madhorot. Yang kami maksudkan orang yang berkal di sini ialah yang mengetahui urusan segala sesuatu sesuai dengan proporsinya (yang akalnya digunakan untuk melihat dan membedakan antara yang haq dan yang bathil). Manfaat bisa diambil darinya atau dari pemahaman yang diberikannya. Telah berkata Dzunnuun rohimahullohu :
ماخلع الله علي عبد من عبيد ه خلعة أحسن من العقل, ولا قلد ه قلادة أجمل من العم, ولازينه بزينة أفضل من الحلم , وكمال ذلك التقوي

“Tidaklah Alloh menganugerahkan kepada seorang hamba dari hamba-hambanya suatu anugerah yang lebih baik dari akal (karena dengan akal tersebut dia bisa memahami mana yang haq dan mana yang bathil), dan tidaklah suatu ikatan yang mengikat akal tersebut yang lebih indah daripada ilmu, dan tidak ada hiasan yang menghiasinya yang lebih utama daripada sifat lemah lembut dan penyempurna semua itu adalah taqwa.
2.   Baik akhlaqnya. Ini merupakan keharusan. Sebab berapa banyak orang yang berakal yang dirinya lebih banyak dikuasai oleh amarah dan nafsu, lalu dia tunduk kepada nafsunya, sehingga tidak ada manfaat bergaul dengannya.
3.  Bukan orang fasik. Sebab orang fasik tidak pernah merasa takut kepada Alloh. orang yang tidak takut kepada Alloh, tentu sulit dipercaya dan sewaktu-waktu orang lain tidak aman dari tipu dayanya.
4. Bukan ahli bid’ah. Persahabatan dengannya harus dihindari karena bid’ah yang dilakukannya akan membahayakan agamamu dan merusak akhiratmu.
‘Umar bin Al Khothob Rodhiyallohu ‘anhu pernah berkata:
”Hendaklah engkau mencari rekan-rekan yang jujur, niscaya engkau akan hidup aman dalam lindungannya. Mereka merupakan hiasan pada saat gembira dan hiburan pada saat berduka. Letakkan urusan saudaramu pada tempat yang paling baik, hingga dia datang kepadamu untuk mengambil apa yang dititipkan kepadamu. Hindarilah musuhmu dan waspadailah temanmu kecuali orang yang bisa dipercaya. Tidak ada orang yang bisa dipercaya kecuali orang yang takut kepada Alloh. Jangan engkau berteman dengan orang keji, karena engkau bisa belajar dari kefasikannya. Jangan engkau bocorkan rahasiamu kepadanya dan mintalah pendapat dalam menghadapi masalahmu kepada orang yang takut kepada Alloh.”
5.   Tidak rakus terhadap dunia.
Perumpamaan dunia adalah seperti jembatan yang menghantarkan ke akhirat. Ayunan pada masa bayi merupakan pancangan pertama dari jembatan ini, dan liang lahat merupakan tiang pancangan yang terakhir dari jembatan ini. Di antara manusia ada yang memotong separoh jembatan itu, sebagian yang lain ada yang memotong sepertiganya,  sebagian yang lain ada yang tinggal selangkah lagi menyelesaikan penyebrangannya, tetapi dial lalai. Apapun yang terjadi setiap orang harus menyebrangi jembatan ini. Siapa yang hanya berhenti di jembatan ini, membangun dan memasanginya dengan berbagai macam perhiasan, padahal dia sudah di perintahkan untuk menyebranginya, berarti dia adalah orang yang bodoh.
Maka berteman dengan orang yang  rakus terhadap dunia berarti dia telah berteman dengan orang yang akan merusak akhiratnya.

Wallohu ta’ala a’lam bishshowaab. Wallohul muwafiq.

Selesai disusun di Walahar, 5 Muharrom 1433 H Pukul 08.58 WIB
Oleh: Ummu Abdirrohman Najiyah Ibnat Kaswita Ghofarollohu ‘anhaa wa waalidaihaa

Majoji’ :
1.    Aadabul Isyroh, Abul Barkaat Badruddiin Muhammad Al Ghozzi rohimahullohu ta’ala.
2.    Turjumah Minhajul Qoshidin, Asy Syaikh Ahmad bin Abdurrohman bin Qudamah al Maqdisi