Ditulis
Oleh: Abu Zakaria Irham Al-Jawiy
بِسْمِ
الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
إِنَّ
الحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ
مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهِ
فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَّ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أما بعد:
Permasalahan
thoharoh (bersuci) adalah permasalahan yang sangat penting. Oleh karena itu
pengetahuan tentangnya merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Sebab, pada sah
dan tidaknya thoharoh seseorang, bergantung sah dan tidaknya sholat orang
tersebut. Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- telah bersabda:
لَا
تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُور
“Sholat
itu tidaklah akan diterima tanpa bersuci.” (HR. Muslim)
Keadaan
suci yang dituntut dari seorang hamba sebelum mengerjakan sholat mencakup suci
dari najis dan suci dari hadats baik besar maupun kecil.
Pada
tulisan ini akan kami paparkan secara ringkas –insya Alloh- tuntunan syariat
Islam yang sempurna dalam permasalahan bersuci dari hadats besar, mengingat
banyaknya orang yang lalai seputar permasalahan ini.
SEBAB-SEBAB
DIWAJIBKANNYA MANDI
- Keluarnya mani baik dari laki-laki ataupun perempuan, baik dalam keadaan terjaga maupun tidur. Sebagaimana sabda Rosululloh -Shollallohu’alaihi wa sallam-:
إِنَّمَا
الْمَاءُ مِنْ الْمَاء
“Sesungguhnya
mandi itu (diwajibkan) karena (keluarnya) air (mani).” (HR. Muslim)
Hadits
ini dengan jelas menyatakan bahwa keluarnya mani merupakan sebab wajibnya mandi
tanpa membedakan apakah keluarnya itu dalam keadaan terjaga atau tertidur.
Sebagian
ulama mempersyaratkan adanya syahwat jika mani tersebut keluar dalam keadaan
terjaga. Akan tetapi yang rojih (kuat) tidak adanya syarat tersebut. Kapan saja
didapati mani keluar darinya maka wajib baginya mandi berdasarkan konteks
hadits di atas.[1]
Adapun
jika keluarnya mani ketika tidur maka telah diriwayatkan dari Ummi Salamah
–radhiyallohu ‘anha- berkata; bahwa ummu sulaim bertanya kepada Nabi
–Shollallohu’alaihi wa sallam- :
يَا
رَسُولَ الله، إِنَّ الله لَا يَسْتَحْيِي مِنْ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلَى
الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ؟
“Sesungguhnya
Alloh itu tidak malu dari kebenaran, apakah wajib bagi wanita untuk mandi jika
dia ihtilam (mimpi basah)?”
Beliau
menjawab:
نَعَمْ،
إِذَا رَأَتْ الْمَاء
“Ya,
(wajib baginya mandi) jika melihat adanya air mani.” (Muttafaqun alaih)
Dalam
hadits ini Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- menjelaskan bahwa
kewajiban mandi jatuh pada seseorang yang ihtilam (mimpi basah) dan mendapatkan
adanya air mani setelah terjaga. Tidak dipersyaratkan bahwa dia teringat mimpi
tersebut atau tidak. Cukup dengan didapati mani yang seseorang itu yakin bahwa
mani tersebut berasal darinya, diwajibkan baginya mandi janabah.
Jadi
keadaan seseorang yang bermimpi atau mendapatkan cairan selepas tidur ada tiga
macam:
- Bermimpi dan mendapati mani pada pakaiannya, maka diwajibkan mandi padanya.
- Bermimpi dan ketika bangun tidak mendapati cairan apa-apa, maka tidak wajib mandi baginya.
- Tidak ingat apakah mimpi atau tidak tapi mendapati mani pada pakaiannya, maka wajib baginya mandi.
Kondisi
ketiga inilah yang sering dipertanyakan orang, apakah wajib mandi atau tidak? Kondisi
ini sering terjadi pada seseorang yang tidur kelelahan habis kerja berat atau
pada musim dingin.
Untuk
bisa menghukumi apakah wajib mandi atau tidak seseorang harus mengetahui
ciri-ciri mani itu sendiri.
Imam
Nawawi telah menjelaskan tentang ciri-ciri mani dalam perkataan beliau:
“Mani seorang laki-laki dalam keadaan sehat berwarna putih, kental,
keluar dengan memancar, keluar dengan syahwat, dia merasakan kenikmatan ketika
keluarnya. Kemudian jika telah keluar disusul rasa lemas. Baunya seperti runjung
korma yang mirip dengan bau adonan tepung. Apabila telah kering baunya seperti
telur. Inilah sifat-sifat mani. Terkadang sebagian sifat-sifat tersebut
tidak didapati padahal yang keluar itu adalah mani yang mewajibkan mandi.”
[Al-Majmu’: 2/ 141]
Adapun
mani wanita warnanya kekuningan dan tidak pekat. Keluarnya juga diiringi
dengan syahwat dan disusul denga rasa lemas.
Perlu
ditegaskan bahwa tidak dipersyaratkan terkumpulnya semua ciri-ciri di atas
sehingga seseorang bisa menghukumi bahwa yang keluar itu mani, sebagaimana
dijelaskan imam Nawawi pada akhir perkataan beliau.
Sebagai
contoh: seorang yang habis kerja berat dan mendapati setelah tidur cairan pada
celananya biasanya tidak didapati kekentalan ataupun warna putih pada cairan
tersebut. Akan tetapi dia mendapati bau yang khas dan yakin bukan bau kencing,
maka dengan ini dia menghukumi bahwa yang keluar itu mani.
Adapun
jika yang keluar bukan mani,
dengan melihat ciri-ciri yang ada, baik sifat maupun baunya, maka tidak
diwajibkan padanya mandi.
- Jima’ (bersetubuh), walaupun tidak keluar mani ketika terjadi jima’ tersebut. Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- bersabda:
إِذَا
جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ، وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ
وَجَبَ الْغُسْل
“Jika
seorang laki-laki duduk di antara dua tangan dan kaki wanita (maksudnya:
jima’) dan bertemu antara kelamin laki-laki dan perempuan maka telah wajib
baginya untuk mandi.” (HR. Muslim dari Aisyah, datang
juga dari Abu Huroiroh muttafaqun alaih dengan lafadz yang hampir sama)
Pertemuan
dua alat kelamin yang dimaksud dalam hadits adalah masuknya kepala dzakar ke
dalam kelamin perempuan.[ Lihat Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (2/ 133)]
Masuk
di dalam permasalahan ini jika si laki-laki memakai kondom. Tetap diwajibkan
padanya mandi karena tercakup dalam keumuman hadits Abu Huroiroh sebagaimana
dirajihkan oleh Syaikhuna Muhammad Hizam dan merupakan pendapat imam Nawawi.
2. Berhentinya haidh maupun nifas.
Berdasarkan
hadits Aisyah –radhiyallohu ‘anha-: bahwa Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa
sallam- berkata kepada Fatimah bintu Abi Hubaisy:
فَإِذَا
أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي
“Jika
haidh mendatangimu maka tinggalkanlah sholat, dan apabila telah selesai (haidh
tersebut) maka mandilah kemudian sholatlah”(
HR Bukhory-Muslim)[2]
TATA
CARA MANDI JANABAH
Pada
mandi janabah ada dua rukun yang wajib untuk dilakukan, kapan saja kedua rukun
ini tidak terpenuhi maka mandinya tidak sah. Kedua rukun tersebut adalah
1. Niat mandi janabah.
Berdasarkan
hadits:
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
“Seluruh
amalan itu berdasar pada niatnya.”
(HR Bukhory-Muslim)
Oleh
karena itu apabila seseorang junub kemudian mandi tanpa berniat mandi janabah
maka tidak sah mandinya dan hadats besar yang ada padanya belum terangkat.
2. Membasahi seluruh anggota tubuh
dengan air. Apabila ada anggota tubuh
yang tidak terkena air maka mandinya tidak sah. Berdasarkan sabda
Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- kepada seseorang yang tidak ikut
sholat bersama Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- karena junub,
maka beliau memberikan air kepadanya dan berkata:
اذْهَبْ
فَأَفْرِغْهُ عَلَيْك
“Pergilah
dan siramkan air ini ke tubuhmu.”(Muttafaq alaih dan lafadh ini di Bukhory)
Dari
rukun ini kita pahami bahwa dengan cara apa saja seseorang mandi, maka mandinya
sah jika air mencapai seluruh anggota tubuhnya, baik itu dengan mengguyurkan
air ataupun dengan menceburkan diri ke sungai atau laut.
Jika
kedua rukun telah terpenuhi maka mandi seseorang telah sah. Namun sebagai
seorang sunny tentunya menginginkan tata cara yang lebih sempurna daripada yang
telah tersebut di atas. Hal ini tidak lain dengan mencontoh tata cara mandi
Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam-.
Telah
datang dalam permasalahan ini dua hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhory
dan Muslim:
Pertama: hadits Aisyah, dia berkata:
كَانَ
رَسُول الله -صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ
يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ –وفي رواية: كَفَّيْهِ ثلاثا-، ثُمَّ يُفْرِغُ
بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ
لِلصَّلَاةِ، ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ
الشَّعْرِ، حَتَّى إِذَا رَأَى أَنْ قَدْ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ
ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ، ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْه
“Rosululloh
biasanya jika mandi janabah, beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya
–pada riwayat yang lain: kedua telapak tangan tiga kali-, kemudian menyiramkan
air dengan tangan kanannya ke tangan kiri dan mencuci kemaluan dengannya,
kemudian beliau wudhu sebagaimana wudhunya ketika mau sholat, kemudian menciduk
air dan menyisipkan jari-jari tangannya ke poros rambut, sehingga ketika telah
merasa bahwa air sudah mencapai (kulit kepala), beliau mengguyurkan air ke
kepala tiga kali, kemudian mengguyur seluruh badannya, kemudian beliau mencuci kedua
kakinya.” (HR Bukhory-Muslim)
Kedua: hadits Maimunah. Hadits kedua ini pada asalnya hampir sama
dengan hadits yang pertama, kecuali pada beberapa kalimat yang berbeda, yaitu:
disebutkannya bahwa Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- setelah mencuci
kemaluan dengan tangan kirinya, beliau mengusapkan tangan kirinya itu ke tanah
dan menggosokkannya. Juga disebutkan pada hadits ini bahwa Rosululloh
–Shollallohu’alaihi wa sallam- menolak handuk yang diberikan Maimunah.
Dari
kedua hadits di atas dapat kita perinci tentang tata cara mandi yang sesuai
sunnah sebagai berikut:
- Mencuci tangan tiga kali.
- Mencuci kemaluan dengan dengan tangan kiri dan tangan kanan yang mengguyurkan air.
- Berwudhu seperti wudhu untuk sholat.
- Mengambil air dan menyela-nyelai rambut dengannya sampai terasa bahwa air mencapai kulit kepala dan merata.
Apabila
dia memiliki jenggot, maka diwajibkan pula untuk menyela-nyelainya sehingga air
sampai pada kulit.
- Mengguyur kepala tiga kali.
- Mengguyur seluruh badan.
Para
ulama juga menyebutkan bahwa menggosok badan juga termasuk yang disunnahkan
karena hal tersebut menambah bersih dan sempurnanya mandi seseorang.
- Mencuci kedua kaki. Hal ini bisa dilakukan ketika wudhu sebagaimana hadits Aisyah, atau setelah selesai semua baru mencuci kaki sebagaimana hadits Maimunah. [Lihat: Fathul bari, hadits no. 249]
Adapun
menyeka air dengan handuk, maka ini adalah perkara yang boleh. Sebab penolakan
Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- terhadap kain yang diberikan Maimunah
tidaklah berarti bahwa menyeka air selepas mandi terlarang. Bahkan Rosululloh
sendiri telah melakukannya, walaupun tidak dengan handuk, sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits Maimunah.
Inilah
secara ringkas tata cara mandi yang dicontohkan oleh Rosululloh
–Shollallohu’alaihi wa sallam- yang sepantasnya bagi setiap muslim untuk
mengamalkannya.
Mungkin
seseorang akan bertanya: “Apakah tata cara ini berlaku juga bagi wanita?”
Kita
jawab: Bahwa syariat ini pada dasarnya berlaku bagi laki-laki dan perempuan
kecuali bila ada dalil yang menunjukkan adanya kekhususan pada salah satu dari
keduanya.
Pada
permasalahan kita ini, telah datang hadits dari Ummi Salamah bahwa dia bertanya
kepada Rosululloh: “ Wahai Rosululloh, saya seorang wanita yang mengepang
rambut kepalaku, apakah aku urai (kepangan itu) untuk mandi janabah?”
Rosululloh
menjawab:
لَا.
إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ
تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ
”Tidak,
akan tetapi cukup bagimu untuk menyiramkan air di kepalamu tiga kali siraman
kemudian mengguyurkan air ke badanmu, maka (dengan ini) engkau telah suci .” [HR. Muslim: 330]
Hadits
di atas menunjukkan bahwa apabila seseorang memiliki rambut yang dikepang maka
tidak wajib baginya untuk melepasnya ketika mandi janabah. Dengan syarat bahwa
kepangan tersebut tidak mencegah sampainya air ke kulit kepala. Apabila
kepangan itu menghalangi maka wajib untuk diurai sehingga air bisa mencapai
kulit kepala. Inilah yang dipilih oleh jumhur (mayoritas) ulama dan dirajihkan
oleh: Syaikh bin Baz dan Muhamad bin Ibrohim. [Fatawa lajnah: 5/ 320, Fathul Allam:
1/ 324]
Dari
hadits di atas juga dipetik hukum bahwa rambut wanita yang panjang tidaklah
wajib untuk dibasahi ketika mandi. Sebab Rosululloh tidaklah memerintahkan
dalam hadits tersebut untuk mengurai kepangan, padahal jika keadaannya seperti
ini kebanyakannya air tidak bisa mencapai bagian dalam kepangan tersebut.
Seandainya membasahi seluruh rambut itu wajib bagi wanita maka tentu Rosululloh
akan memerintahkan Ummu Salamah untuk mengurai rambutnya yang dikepang.
[Al-Mugniy: 1/ 301-302, Fathul Bari-Ibnu Rojab: 256]
Wallohu
A’lam, inilah yang bisa kami sajikan pada kesempatan ini, semoga bisa
bermanfaat dan diamalkan.
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ
إِلَيْكَ.
Darul
Hadits, Sabtu 6 Rojab 1433
Semoga
Alloh Menjaganya
[1] Ini adalah pendapat ibnu Hazm (Al-Muhalla:
173) dan dirajihkan oleh Syikhuna Muhammad Hizam.
[2] Para ulama juga menyebutkan sebab- sebab lain
yang dengannya seseorang diwajibkan mandi, yaitu: ketika seseorang masuk islam
dan ketika seseorang ingin menghadiri sholat jum’at. Sengaja Penulis tidak
cantumkan karena diluar pokok pembahasan