Selasa, 05 Juni 2012

AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM


Ditulis: Mushlih bin Syahid Abu Sholeh Al-Madiuniy -ro’ahulloh-
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا, من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له, وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا الله الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ الله كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً
أما بعد:
Ini adalah risalah singkat mengenai As-Sunnah yang menjadi sandaran kedua dalam hukum Islam setelah Al-Quran Al-Karim. Kami sarikan dari apa yang telah dituliskan dalam kitab-kitab ulama serta para peneliti Islam dalam bidang As-Sunnah An-Nabawiyyah.
Pada pembahasan ini, akan dipaparkan mengenai pengertian As-Sunnah, kedudukannya dalam syariat Islam, wajibnya berpegang teguh dengannya, peranannya dalam mendampingi Al-Quran, kemudian diakhiri dengan pembagian As-Sunnah menjadi sunnah qouliyyah, fi’liyyah dan taqririyyah disertai dengan contoh-contohnya.
Semoga risalah ini bermanfaat bagi diri penulis sendiri serta para pembaca sekalian, sehingga kita dalam beragama ini berada di atas ilmu dan bashiroh serta terhindar dari jalan setan dan kesesatan.

PENGERTIAN AS-SUNNAH
Istilah As-Sunnah yang sering digunakan dalam pembahasan syariat Islam memiliki beberapa makna, diantaranya:
1.      Seluruh perkara yang datang dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- secara khusus yang tidak terdapat nashnya dalam Al-Quran, baik sebagai penjelasan dari ayat-ayat Al-Quran tersebut maupun tidak. Juga masuk di dalamnya sejarah perjalanan hidup beliau, baik sebelum diutus sebagai Rosul maupun sesudahnya.
2.      Lawan dari bid’ah, seperti perkataan seseorang: “Si Fulan berada di atas sunnah,” yaitu jika ia beramal sesuai dengan tuntunan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Jika tidak demikian, maka dikatakan sebaliknya: “Si Fulan di atas kebid’ahan.”
3.      Apa yang diamalkan oleh para sahabat Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, baik dalam rangka mengamalkan Al-Quran, sunnah Nabi ataupun kesepakatan mereka (ijma’ sahabat).
4.      Dalam istilah fiqih, bermakna mustahab atau mandub (tidak wajib/fardhu), yaitu jika dikerjakan dengan ikhlas dan mengharap ridho Alloh, maka akan diberikan pahala dan jika ditinggalkan, maka tidak berdosa.
Adapun pembahasan kita kali ini adalah tentang As-Sunnah yang bermakna: segala apa yang telah dinukilkan dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, berupa ucapan (qoul), perbuatan (fi’il) atau persetujuan (taqrir) beliau, yang dijadikan sebagai dasar hukum Islam.
(Rujukan: Syarh Mukhtashor Ar-Roudhoh, 1/61-62, karya Ath-Thufiy -rohimahulloh-, As-Sunnah An-Nabawiyyah wa Makanatuha, hal. 7-10, oleh Muhammad bin Abdillah Ba Jam’an)
Contoh As-Sunnah berupa ucapan (sunnah qouliyyah) adalah sabda beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niat-niatnya.”
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي»،«خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
“Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat.” “Ambilah dariku manasik haji kalian.”
Contoh As-Sunnah berupa perbuatan (sunnah fi’liyyah) adalah perbuatan-perbuatan beliau dalan melakukan sholat, haji dan sebagainya seperti: mengangkat tangan ketika takbirotul ihrom, ruku’, i’tidal atau lari-lari kecil (sa’i) antara Shofa dan Marwa ketika berhaji dan sebagainya.
Contoh As-Sunnah berupa persetujuan beliau (sunnah taqririyyah) adalah seperti perkataan sahabat ketika mereka melakukan sholat sunnah dua rokaat selepas adzan Maghrib di masjid, kemudian ditanya: “Apakah Rosululloh dahulu juga melakukan sholat ini?” Mereka menjawab: “Dahulu beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melihat kami melakukannya. Beliau tidaklah memerintahkan dan tidak pula melarangnya.”
Maka secara umum, As-Sunnah An-Nabawiyyah tersebut terdiri dari: qouliyah (ucapan), fi’liyyah (perbuatan) dan taqririyyah (persetujuan) yang –insyaalloh- akan kita bicarakan lebih lanjut pada kesempatan kali ini secara ringkas. Wallohul muwaffiq.
KEDUDUKAN AS-SUNNAH DALAM SYARIAT ISLAM
Diantara perkara yang yang telah disepakati bersama oleh seluruh kaum muslimin terdahulu adalah bahwasanya sunnah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- merupakan sandaran kedua dalam syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, baik dalam perkara aqidah (keyakinan), hukum-hukum agama, politik maupun pendidikan. Demikian juga, tidak diperkenankan untuk menyelisi sunnah tersebut sedikitpun, baik dengan buah pemikiran, ijtihad ataupun qiyas. Hal ini sebagaimana ucapan Imam Asy-Syafi’iy -rohimahulloh- pada akhir kitab beliau Ar-Risalah: “Qiyas itu tidak diperbolehkan selama khobar (sunnah Nabi) masih ada.” Demikian juga yang dikenal oleh para ulama ahli ushul fiqh: “Tidak ada ijtihad ketika datang nash (dalil). Jika datang atsar (hadits), maka batallah pemikiran atau pendapat yang ada.”
DALIL-DALIL TENTANG PERKARA INI
Dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah telah menunjukkan hal tersebut, diantaranya adalah firman Alloh -ta’ala-:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى الله وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dalam ayat ini Alloh -ta’ala- menegaskan bahwa tidaklah patut bagi seorang mukmin dan mukminah, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Siapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 36)
Juga dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ الله وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا الله إِنَّ الله سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Alloh dan Rosulnya (dengan menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Alloh dan Rosul-Nya). Bertakwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh itu Sami’ (maha mendengar) lagi ‘Alim (maha mengetahui).” (QS. Al-Hujurot: 1)
Firman Alloh –ta’ala-:
قُلْ أَطِيعُوا الله وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ الله لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah: “Ta’atilah Alloh dan Rosul-Nya. Jika kalian berpaling, maka sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imron: 32)
Firman Alloh –ta’ala-:
وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا وَكَفَى بِالله شَهِيدًا * مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ الله وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
”Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rosul kepada segenap manusia dan cukuplah Alloh menjadi saksi. Siapa yang mentaati Rosul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Alloh dan siapa yang berpaling dari ketaatan itu, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (yaitu bahwa Rosul tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan tidak menjamin agar mereka tidak berbuat kesalahan).” (QS. An-Nisa’: 79-80)
Firman Alloh:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا الله وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al-Quran) dan Rosul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Alloh berfirman:
وَأَطِيعُوا الله وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ الله مَعَ الصَّابِرِينَ
“Taatlah kepada Alloh dan Rosul-Nya dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian dan bersabarlah. Sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)
Firman-Nya juga:
وَأَطِيعُوا الله وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Taatlah kalian kepada Alloh dan taatlah kepada Rosul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rosul Kami hanyalah menyampaikan amanat Alloh dengan terang.” (QS. Al-Maidah: 92)
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ الله الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Janganlah kalian jadikan panggilan Rosul di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain. Sesungguhnya Alloh telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung kepada kawannya. Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya merasa takut akan ditimpa cobaan atau adzab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)
Firman Alloh:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ الله يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Alloh dan seruan Rosul apabila Rosul tersebut menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian (berupa keimanan, petunjuk jihad dan segala yang ada hubungannya dengan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat). Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allohlah yang menguasai hati manusia dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal: 24)
Firman Alloh –ta’ala-:
وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ * وَمَنْ يَعْصِ الله وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Siapa taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, niscaya Alloh akan memasukkannya ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. Siapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Alloh memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa’: 13-14)
Firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا * وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ الله وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Mereka hendak berhakim kepada thoghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thoghut itu dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kalian tunduk kepada hukum yang Alloh telah turunkan dan kepada hukum Rosul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi manusia dengan sekuat-kuatnya dari mendekatimu.” (QS. An-Nisa’ : 60-61)
Alloh berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ الله وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka diseru kepada Alloh dan Rosul-Nya agar Rosul tersebut menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan Kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Siapa yang taat kepada Alloh dan Rosul-Nya serta takut kepada Alloh disebabkan dosa-dosa yang telah dikerjakannya dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An-Nur: 51-52)
Alloh berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا الله إِنَّ الله شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rosul kepada kalian, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Alloh –ta’ala- berfirman:
﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ الله أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو الله وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ الله كَثِيرًا﴾
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rosululloh itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Alloh dan kedatangan hari kiamat dan ia banyak menyebut Alloh.” (QS. Al-Ahzab: 21)
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى * مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى * وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 1-4)
Firman Alloh:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (berupa perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al-Quran tersebut) dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44)
Ayat-ayat yang diberkahi seperti ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an.
Adapun hadits-hadits Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tentang seruan untuk mengikuti beliau dalam segala aspek kehidupan, diantaranya sebagai berikut:
Sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى، قالوا: ومن يأبى؟ قال: من أطاعني دخل الجنة، ومن عصاني فقد أبى
“Seluruh umatku akan memasuki jannah, kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang enggan itu?” Beliau menjawab: “Siapa yang menaatiku, maka akan masuk jannah dan siapa yang menentangku, maka telah enggan.” (HR. Bukhori dari Abu Huroiroh –rodhiyallohu ‘anhu-)
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
فمن أطاع محمداً – صلى الله عليه وآله وسلم – فقد أطاع الله، ومن عصى محمداً – صلى الله عليه وآله وسلم – فقد عصى الله، ومحمد – صلى الله عليه وآله وسلم – فرق بين الناس
“Siapa yang mentaati Muhammad –shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka ia telah mentaati Alloh dan siapa yang menentangnya, maka ia telah menentang Alloh. Muhammad –shollallohu ‘alaihi wa sallam- itu telah memisahkan manusia (antara yang mukmin dengan yang kafir).” (HR. Bukhori dari Jabir bin Abdillah –rodhiyallohu ‘anhu-)
Sabda beliau juga:
إنما مثلي ومثل ما بعثني الله به كمثل رجل أتى قوماً فقال: يا قوم إني رأيت الجيش بعيني، وإني أنا النذير العريان، فالنجاء النجاء، فأطاعه طائفة من قومه فأدلجوا، فأنطلقوا على مهلهم فنجوا، وكذبت طائفة منهم فأصبحوا مكانهم فصبحهم الجيش فأهلكهم واجتاحهم، فذلك مثل من أطاعني فاتبع ما جئت به، ومثل من عصاني وكذب بما جئت به من الحق
“Sesungguhnya permisalanku dengan apa yang aku diutus oleh Alloh untuk membawanya adalah seperti seseorang yang mendatangi suatu kaum, kemudian ia berseru: “Wahai kaum, sungguh aku telah melihat sepasukan datang. Sungguh aku ini seorang pemberi peringatan kepada kalian, maka carilah tempat keselamatan. Lalu sebagian kelompok dari kaumnya itu mentaatinya, sehingga mereka bertolak pada malam harinya. Sedangkan sebagian yang lain mendustakannya, sehingga mereka tetap di tempat itu dan datanglah pasukan itu membinasakan mereka. Itulah permisalan orang yang mentaatiku, sehingga ia mengikuti petunjukku dan permisalan orang yang menentang dan mendustakan kebenaran yang aku diutus dengannya.” (HR. Bukhori dan Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari –rodhiyallohu ‘anhu-)
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لا ألفين أحدكم متكئاً على أريكته، يأتيه الأمر من أمري، مما أمرت به أو نهيت عنه، فيقول: لا أدري، ما وجدنا في كتاب الله اتبعناه
“Tidaklah aku menemui salah seorang di antara kalian sedang bertelekan di atas ranjangnya. Akan datang kepadanya perkaraku, baik perintah maupun larangan, kemudian dia berkata: “Aku tidak tahu hal itu, apa yang kami temukan dalam kitab Alloh, maka kami ikuti. (Jika tidak, maka tidak kami ikuti).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan selain mereka dengan sanad shohih dari Abu Rofi’ -rodhiyallohu ‘anhu-)
Beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menegaskan:
ألا إني أوتيت القرآن ومثله معه، ألا يوشك رجل شبعان على أريكته يقول: عليكم بهذا القرآن، فما وجدتم فيه من حرام فحرموه، وإن ما حرم رسول الله كما حرم الله
“Ketahuilah, sungguh aku diberi Al-Quran dan yang semisalnya bersamanya. Ketahuilah hampir-hampir seseorang yang telah kenyang di atas ranjang mengatakan: “Ambillah Al-Quran itu. Apa yang kau temukan di dalamnya berupa pengharaman, maka haramkanlah hal itu. (Jika tidak kau temui, maka jangan kau haramkan).” Sungguh, apa yang diharamkan oleh Rosululloh itu sama dengan apa yang diharamkan oleh Alloh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan selainnya dengan sanad shohih, dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib -rodhiyallohu ‘anhu-)
Sabda beliau:
تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهم: كتاب الله وسنتي، ولن يتفرقا حتى يردا على الحوض
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, tidaklah kalian akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: Kitabulloh dan sunnahku. Keduanya tidak akan terpisah sampai kembali ke telaga (di akhirat)” (HR. Hakim dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu-)
Dalil-dalil tersebut menunjukkan kepada kita beberapa perkara yang sangat penting, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Tidaklah berbeda antara keputusan Alloh dengan Nabi-Nya. Semuanya tidaklah ada pilihan bagi seorang  mukmin untuk menyelisihinya. Penentangan (bermaksiat) terhadap Rosul sama dengan bermaksiat kepada Alloh dan semuanya itu merupakan kesesatan yang nyata.
2.      Dilarang untuk mendahului Rosul –shollallohu ‘alaihi wa sallam- (dengan menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Rosul) sebagaimana tidak diperkenankannya mendahului Alloh –ta’ala-. Ini menunjukkan tidak bolehnya menyelisihi sunnah beliau  –shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
Imam Ibnul Qoyyim -rohimahulloh- mengatakan dalam I’lamul Muwaqqi’in (1/58): “Yaitu janganlah kalian mendahului untuk mengatakan sampai beliau mengatakannya. Janganlah memerintahkan sampai beliau memerintahkannya. Janganlah berfatwa sampai beliau berfatwa dan janganlah memutuskan suatu perkara sebelum beliau memutuskan dan memberlakukan hukumnya.”
3.      Lari dari mentaati Rosul –shollallohu ‘alaihi wa sallam- hanyalah perbuatan orang-orang kafir.
4.      Orang yang mentaati Rosul –shollallohu ‘alaihi wa sallam- berarti mentaati Alloh –ta’ala-.
5.      Wajibnya mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan dari perkara agama kepada Alloh dan Rosul-Nya.
Imam Ibnul Qoyyim -rohimahulloh- berkata (1/54): “Alloh –ta’ala- memerintahkan untuk taat kepada-Nya dan Rosul-Nya dan ketaatan terhadap Rosul tersebut merupakan perintah tersendiri tanpa melihat kepada perintah yang ada dalam Al-Qur’an. Akan tetapi jika beliau –shollallohu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan, maka wajib untuk ditaati secara mutlak, baik perintah itu terdapat dalam Al-Qur’an ataupun tidak. Hal itu karena beliau telah diberikan Al-Kitab dan yang semisalnya (As-Sunnah) dan Alloh tidak memerintahkan untuk mentaati pemerintah (penguasa) secara tersendiri, tetapi menjadikan ketaatan terhadapnya berada di bawah ketaatan terhadap Rosul. Merupakan sesuatu yang telah disepakati oleh para ulama, bahwasanya mengembalikan suatu perkara kepada kitab Alloh dan Rosul-Nya itu berarti mengembalikan urusannya kepada diri beliau ketika masih hidup dan kepada As-Sunnah sepeninggal beliau. Hal itu termasuk syarat sah keimanan.”
6.      Sikap menerima perselisihan dan meninggalkan untuk kembali kepada As-Sunnah guna menyelesaikan perselisihan itu merupakan sebab asasi di mata syariat untuk menggagalkan jerih payah kaum muslimin dan menghilangkan kekuatan mereka.
7.      Peringatan kepada umat dari penyelisihan terhadap Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, karena hal itu berakibat buruk baik di dunia maupun akhirat.
8.      Orang-orang yang menyelisihi perintah Rosul pantas untuk terjatuh dalam kesesatan di dunia dan mendapatkan adzab yang pedih di akhirat.
9.      Wajibnya memenuhi seruan Rosul dan mentaati perintahnya. Hal itu merupkan sebab mendapatkan kehidupan yang baik dan kebahagiaan, baik di dunia maupun akhirat.
10.  Ketaatan terhadap Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam- merupakan sebab seseorang memasuki jannah dan mendapatkan kemenangan yang besar. Sebaliknya, bermaksiat terhadap beliau dan melanggar batasan beliau merupakan sebab seseorang masuk neraka dan mendapatkan adzab yang menghinakan.
11.  Termasuk sifat orang-orang munafik yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekufuran adalah merasa enggan jika mereka diseru untuk berhukum kepada Rosul dan sunnah beliau. Bahkan mereka berusaha menghalang-halangi manusia dari hal itu.
12.  Sebaliknya keadaan orang-orang mukmin, jika mereka diseru untuk berhukum kepada Rosul, mereka bersegera menyambutnya, dengan mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” Dengan itulah mereka menjadi orang-orang yang mendapat kemenangan dan keberhasilan dengan memperoleh jannah yang penuh kenikmatan.
13.  Segala apa yang diperintahkan oleh Rosul, maka wajib atas kita untuk mengikutinya, sebagaimana wajibnya kita untuk meninggalkan setiap perkara yang dilarang.
14.  Beliau –shollallohu ‘alaihi wa sallam- adalah teladan kita pada setiap perkara agama, jika kita termasuk orang yang mengharapkan wajah Alloh dan hari akhir.
15.  Setiap perkataan Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang tidak berhubungan dengan perkara agama dan perkara-perkara ghoib yang tidak diketahui oleh akal dan percobaan (eksperimen) merupakan wahyu dari Alloh, tidak mengandung kebatilan sama sekali.
16.  Sunnah-sunnah beliau merupakan penjelasan dari apa yang telah diturunkan Alloh kepada beliau berupa Al-Quran.
17.  Tidak cukup semata-mata dengan Al-Quran tanpa As-Sunnah, karena keduanya sama saja dalam wajibnya mentaati dan mengikutinya. Siapa yang mencukupkan dengan Al-Quran tanpa As-Sunnah, maka ia telah menyelisihi Rosul –‘alaihis sholatu wa sallam- dan tidak mentaati beliau, sehingga dengannya ia telah menyelisihi ayat-ayat tersebut di atas.
18.  Apa yang diharamkan oleh Rosul, seperti apa yang telah diharamkan oleh Alloh. Demikian juga segala perkara yang datang dari Rosul dan tidak terdapat dalam Al-Quran, maka itu sama hukumnya dengan apa yang datang dari Al-Quran. Hal ini berdasarkan keumuman sabda beliau: “Sungguh aku telah diberi Al-Quran dan yang semisalnya (As-Sunnah).”
19.  Sesungguhnya keselamatan dari penyimpangan dan kesesatan hanyalah diperoleh dengan berpegang teduh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Hal itu berlaku sampai datangnya hari kiamat. Tidak boleh membedakan antara kitab Alloh dan sunnah Rosul-Nya –shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
(Rujukan: Al-Hadits Hujjah Binafsihi, hal. 25-34 karya Imam Al-Albani –rohimahulloh- sebagaimana tersebut dalam Mausu’ah Al-Albani fil Aqidah, jilid 1 hal. 273-280)
WAJIBNYA MENGIKUTI AS-SUNNAH DALAM AQIDAH DAN HUKUM
Dalil-dalil yang telah termaktub di atas, baik dari Al-Kitab maupun As-Sunnah, sebagaimana telah menunjukkan secara pasti tentang wajibnya mengikuti As-Sunnah secara mutlak pada setiap apa yang datang dari Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan siapa yang tidak ridho (menerima) untuk berhukum dan tunduk kepadanya, maka bukanlah seorang mukmin, demikian juga yang perlu dicermati oleh para pembaca bahwa As-Sunnah tersebut secara umum dan mutlak juga menunjukkan dua perkara yang penting, sebagai berikut:
Pertama: bahwasanya dalil-dalil tersebut mencakup semua orang yang telah sampai kepadanya dakwah, baik ketika itu sampai hari kiamat. Hal ini jelas pada firman-Nya:
لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
“…supaya dengannya (Al-Quran) aku (Rosul) memberi peringatan kepada kalian dan orang-orang yang sampai Al-Quran kepada mereka.” (QS. Al-An’am: 19)
Juga firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
“Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.” (QS. Saba’: 28)
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menafsirkan ayat ini dengan sabda beliau:
… وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة، وبعثت إلى الناس كافة
“Dahulu Nabi diutus khusus kepada umatnya saja, sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Juga sabda beliau:
والذي نفسي بيده لا يسمع بي رجل من هذه الأمة ولا يهودي ولا نصراني ثم لا يؤمن بي إلا كان من أهل النار
“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang mendengar perihalku, baik dari umat ini, Yahudi ataupun Nasrani, kemudian tidak beriman kepadaku, melainkan termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Kedua: bahwasanya dalil-dalil tersebut mengandung seluruh perkara dari perkara-perkara agama tanpa terkecuali, baik itu berupa perkara ilmu aqidah ataupun hukum amali dan sebagainya. Sebagaimana wajib atas para sahabat untuk mengimani hal tersebut setelah datangnya berita Rosul, demikian juga para tabi’in dan orang-orang setelah mereka diwajibkan pula untuk mengimaninya dan tidak diperbolehkan untuk menolaknya selama berita (hadits) itu shohih, dibawa oleh orang yang terpercaya. Demikianlah hendaknya hal tersebut terus berlangsung sampai Alloh mewarisi dunia dan seisinya ini.
(Rujukan: Al-Hadits Hujjah Binafsihi, karya Imam Al-Albaniy -rohimahulloh-, hal. 34-35 sebagaimana dalam Mausu’ah Al-Albaniy: 1/280-281)
PERANAN AS-SUNNAH BERKAITAN DENGAN AL-QURAN
Sesungguhnya Alloh –tabaroka wa ta’ala- telah memilih Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sebagai Nabi-Nya dan mengkhususkan beliau untuk mengemban risalah. Alloh juga menurunkan kepada beliau kitab-Nya yang mulia dan memerintahkan beliau untuk menerangkannya kepada manusia. Alloh –ta’ala- berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
“Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al-Quran tersebut).” (QS. An-Nahl: 44)
Ayat yang mulia ini mengandung dua macam keterangan yang dituntut untuk disampaikan kepada manusia:
Pertama: keterangan tentang lafadz dan susunan kalimat dalam Al-Quran. Yaitu penyampaian Al-Quran secara lengkap tanpa menyembunyikannya sedikitpun serta membacakannya kepada umat sebagaimana diturunkan. Inilah maksud dari firman Alloh –ta’ala-:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ
“Wahai rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Robb-mu.” (QS. Al-Maidah: 67)
‘Aisyah –rodhiyallohu ‘anha- mengatakan:
ومن حدثكم أن محمدا كتم شيئا أمر بتبليغه فقد أعظم على الله الفرية
“Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad telah menyembunyikan suatu perkara yang diperintahkan untuk disampaikan, maka dia telah melakukan kebohongan yang besar terhadap Alloh.” Kemudian beliau -rodhiyallohu ‘anha- membaca ayat tersebut di atas. (HR. Bukhori dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim beliau –rodhiyallohu ‘anha- mengatakan:
لو كان رسول الله – صلى الله عليه وآله وسلم – كاتما شيئا أمر بتبليغه لكتم قوله تعالى: ﴿وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ الله عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ الله وَتُخْفِي في نَفْسِكَ مَا الله مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَالله أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ
“Sekiranya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah menyembunyikan suatu perkara yang diperintahkan untuk disampaikannya, niscaya beliau akan menyembunyikan ayat ini (karena berisi teguran Alloh kepada beliau):
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ الله عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ الله وَتُخْفِي في نَفْسِكَ مَا الله مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَالله أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ
“Ingatlah, ketika kamu berkata kepada orang yang Alloh telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu juga telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Alloh”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Alloh akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia, sedang Alloh-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (QS. Al-Ahzab: 37)
Kedua: keterangan tentang makna lafadz, kalimat ataupun ayat yang dibutuhkan oleh umat. Hal itu pada ayat-ayat yang sifatnya global, umum ataupun mutlak yang kemudian datanglah sabda-sabda Rosul, perbuatan-perbuatan serta persetujuan beliau (As-Sunnah) sebagai penjelas maksud sebenarnya yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut.
(Rujukan: Manzilatus Sunnah Fil Islam, karya Imam Al-Albaniy -rohimahulloh- , hal. 6-8 sebagaimana dalam Mausu’ah Al-Albaniy: 1/281-282)
CONTOH-CONTOH PENERAPAN AS-SUNNAH DALAM MEMAHAMI AL-QURAN
Pertama: firman Alloh -ta’ala- dalam ayat tayammum merupakan contoh yang tepat guna menunjukkan fungsi As-Sunnah di samping Al-Quran:
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
“…kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik lagi suci; usaplah muka dan tangan kalian.” (QS. An-Nisa’: 43)
Maka As-Sunnah menjelaskan tentang tangan yang diusap dalam ayat, bahwasanya yang dimaksud hanyalah dua telapak tangan. Hal ini berdasarkan sabda beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
التيمم ضربة للوجه والكفين
“Tayammum itu dengan sekali tepukan (ke tanah) untuk wajah dan dua telapak tangan.” (HR. Bukhori dan Muslim dari hadits ‘Ammar bin Yasir –rodhiyallohu ‘anhuma-)
Jikalau tidak datang penjelasan dari As-Sunnah, niscaya kita akan beranggapan bahwa yang diusap adalah seluruh bagian tangan semata-mata berdasarkan ayat tersebut.
Contoh lain yang menunjukkan bahwa tidaklah mungkin memahami maksud Al-Quran kalamulloh dengan benar, kecuali dengan jalan As-Sunnah adalah sebagai berikut:
Kedua: firman Alloh –ta’ala-:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُون
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kedzoliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)
Para sahabat dahulu memahami makna kedzoliman pada ayat ini secara umum, mencakup segala bentuk kedzoliman meskipun sekecil apapun. Oleh karena itu, mereka mempermasalahkan ayat tersebut dan mengatakan: “Wahai Rosululloh, siapa di antara kami yang tidak mencampur keimanannya dengan kadzoliman?!” Maka beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
ليس بذلك إنما هو الشرك ألا تسمعوا إلى قول لقمان: إن الشرك لظلم عظيم؟
“Bukan itu maksudnya. Yang dimaksud (dalam ayat ini) hanyalah kesyirikan. Bukankah kalian telah mendengar perkataan Luqman (QS. Luqman: 13): “Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedzoliman yang besar.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Pada contoh ini dapat kita lihat, bahwa para sahabat -rodhiyallohu ‘anhum- yang keadaan mereka itu sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud -rodhiyallohu ‘anhu-: “Mereka adalah seutama-utama umat ini, baik dalam kebaikan hati, kedalaman ilmu dan paling tidak memberatkan diri,” telah salah memahami ayat tersebut. Kalaulah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak memperbaiki kesalahan dan membimbing mereka kepada makna kedzoliman yang benar yaitu kesyirikan, niscaya kita juga akan mengikuti kesalahan mereka. Akan tetapi Alloh –tabaroka wa ta’ala- telah menghindarkan kita dari kesalahan tersebut dengan bimbingan dan sunnah Rosul-Nya -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
Ketiga: firman Alloh –ta’ala-:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ في الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ
“Apabila kalian bepergian di muka bumi (safar), maka tidaklah mengapa kalian men-qoshor sholat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. An-Nisa’: 101)
Yang nampak dari ayat ini, bahwa meng-qoshor sholat dalam safar (bepergian jauh) itu disyaratkan ketika merasa takut diserang orang-orang kafir. Oleh karena itulah, para sahabat bertanya kepada Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam-: “Untuk apa kita sekarang meng-qoshor sholat, padahal kita sudah merasa aman?” Maka beliau bersabda:
صدقة تصدق الله بها عليكم فاقبلوا صدقته
“Itu adalah shodaqoh dari Alloh kepada kalian, maka terimalah shodaqoh itu dari-Nya.” (HR. Muslim)
Kalulah bukan karena hadits ini dan amalan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- meng-qoshor sholat dalam safar ketika aman, maka kita akan terus merasa ragu tentang disyariatkannya meng-qoshor sholat dalam safar pada keadaan aman, sebagaimana yang dipertanyakan oleh para sahabat tersebut.
Keempat: firman Alloh –ta’ala-:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ
“Diharamkan bagi kalian memakan bangkai, darah…” (QS. Al-Maidah: 3)
Maka As-Sunnah menerangkan bahwa bangkai belalang dan ikan serta hati dan limpa termasuk yang halal. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda dari hadits Ibnu Umar -rodhiyallohu ‘anhuma-:
أحلت لنا ميتتان ودمان: الجراد والحوت والكبد والطحال
“Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah: belalang dan ikan serta hati dan limpa.” (HR. Baihaqiy dan yang shohih adalah dari perkataan Ibnu Umar (mauquf), tetapi mengandung hukum marfu’ (dari Nabi), karena hal itu tidaklah dikatakan semata-mata dari akal pikiran)
Kalaulah bukan karena hadits tersebut, niscaya kita akan mengharamkan apa yang halal dan baik bagi kita, yaitu: bangkai belalang dan ikan serta hati dan limpa.
Kelima: firman Alloh -ta’ala-:
قُل لاَّ أَجِدُ في مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya itu najis- atau binatang yang disembelih atas nama selain Alloh.” (QS. Al-An’am: 145)
Kemudian datanglah As-Sunnah mengharamkan apa yang belum disebutkan dalam ayat ini, seperti sabda Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
كل ذي ناب من السباع وكل ذي مخلب من الطير حرام
“Diharamkan setiap hewan buas bertaring (untuk memangsa) dan setiap burung yang bercakar (untuk mencengkeram mangsanya).”
Juga sabda beliau pada perang Khoibar:
إن الله ورسوله ينهيانكم عن الحمر الإنسية فإنها رجس
“Sesungguhnya Alloh dan Rosul-Nya melarang kalian untuk memakan keledai jinak, karena itu adalah najis.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Demikian juga pada contoh ini, kalaulah bukan karena hadits tersebut, maka kita akan tetap memakan apa yang telah diharamkan oleh syariat: hewan buas yang bertaring dan burung yang bercakar tajam untuk memangsa buruannya.
Keenam: firman Alloh –ta’ala-:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللهِ الَّتِيَ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالْطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Alloh yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan siapa pulakah yang mengharamkan rezki yang baik?” (QS. Al-An’am: 32)
Maka As-Sunnah menerangkan juga bahwasanya diantara macam perhiasan tersebut ada yang diharamkan, sebagaimana yang telah shohih dari beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bahwa suatu hari beliau keluar menemui para sahabat sambil memegang kain sutra dan emas. Maka beliau bersabda:
هذان حرام على ذكور أمتي حل لإناثهم
“Dua perhiasan ini haram bagi laki-laki umatku, halal bagi perempuan mereka.” (HR. Hakim dan beliau menshohihkannya)
Demikian juga pada contoh ini, jikalau tidak datang kepada kita keterangan dari As-Sunnah, maka kita akan menghalalkan apa yang sebenarnya haram bagi kita.
Inilah diantara contoh yang menggambarkan tentang pentingnya As-Sunnah dalam syariat Islam tersebut dan masih banyak lagi contoh-contoh semisal yang telah diterangkan oleh para ulama hadits dan fiqih dalam kitab-kitab dan fatawa mereka.
Dari apa yang telah lalu, maka jelaslah bagi kita akan pentingnya As-Sunnah dalam syariat Islam. Maka tidak ada jalan lain untuk memahami Al-Quran Al-Karim dengan sebenarnya, kecuali diiringi dengan As-Sunnah yang shohih.
Sungguh sangat disayangkan, telah ditemui beberapa orang yang menafsiri Al-Quran dan para penulis masa kini yang berpendapat akan halalnya memakan binatang buas tersebut, memakai emas dan kain sutra bagi laki-laki dengan berpegang kepada Al-Quran saja! Bahkan ada kelompok yang menamakan dirinya Al-Qur’aniyun, mereka menafsirkan Al-Quran dengan hawa nafsu dan akal-akal mereka tanpa merujuk kepada As-Sunnah yang shohih. As-Sunnah tersebut menurut mereka hanyalah dijadikan sebagai pemuas hawa hafsu; yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka diterima dan sebaliknya jika tidak sesuai, maka dilemparkan ke belakang punggung-punggung mereka!
Sepertinya Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah mengisyaratkan akan adanya kelompok ini dalam sabdanya yang shohih:
لا ألفين أحدكم متكئا على أريكته يأتيه الأمر من أمري مما أمرت به أو نهيت عنه فيقول: لا أدري ما وجدنا في كتاب الله اتبعناه
“Tidaklah aku temui salah seorang di antara kalian sedang bertelekan di atas ranjangnya. Ketika datang kepadanya perkaraku dari apa yang kuperintahkan dan larang, maka dia mengatakan: “Aku tidak tahu, apa yang kutemukan pada kitab Alloh, maka aku ikuti!” (HR. Tirmidzi)
Dalam riwayat lainnya ia mengatakan:
ما وجدنا فيه حراماً حرمناه ألا وإني أتيت القرآن ومثله معه.
“Apa yang kutemui di dalamnya (Al-Quran) bahwa hukumnya haram, maka aku haramkan!” Lalu beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menegaskan: “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Quran dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya.”
Dalam riwayat lain beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لا إن مأا حرم رسول الله مثل ما حرم الله
“Ketahuilah, sungguh apa yang diharamkan oleh Rosululloh itu seperti apa yang telah Alloh haramkan.”
Juga termasuk perkara yang disayangkan adalah ada sebagian penulis tentang syariat dan aqidah Islam menyebutkan pada mukaddimah kitabnya, bahwa tidaklah dia menggunakan rujukan dalam tulisannya, kecuali Al-Quran saja!
Maka hadits yang shohih mengandung dalil yang pasti bahwa syariat Islam itu bukan Al-Quran saja, tetapi Al-Quran dan As-Sunnah. Siapa yang hanya berpegang pada salah satunya, berarti sama sekali dia belum berpegang dengan salah satunya. Hal itu karena keduanya telah memerintahkan kita untuk berpegang dengan Al-Quran dan As-Sunnah, sebagaimana firman Alloh –ta’ala-:
مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ
“Siapa yang mentaati Rosul itu, maka sesungguhnya ia telah mentaati Alloh.” (QS. An-Nisa: 80)
Firman Alloh:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ في أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
“Maka demi Robbmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Rosul) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)
Firman Alloh:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى الله وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا
“Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Siapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Firman Alloh –ta’ala-:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Apa yang diberikan Rosul kepada kalian, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Berkaitan dengan ayat ini, telah shohih dari Ibnu Mas’ud -rodhiyallohu ‘anhu- bahwasanya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ، وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ، وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ
“Alloh melaknat perempuan-perempuan pembuat tatto dan perempuan yang minta ditatto, perempuan-perempuan yang mencabut bulu di wajahnya dan yang minta dicabut bulu di wajahnya, perempuan-perempuan yang merenggangkan gigi-giginya supaya kelihatan bagus dan perempuan-perempuan yang merubah ciptaan Alloh.”
Setelah mendengar hal itu, maka seorang perempuan datang kepadanya seraya mengatakan: “Kamukah yang mengatakan: “Alloh melaknat perempuan yang membuat tatto dan yang meminta untuk ditatto…” Maka Ibnu Mas’ud menjawab: “Benar.” Perempuan itu berkata: “Sungguh aku sudah membaca kitab Alloh dari awal sampai akhir, tidaklah kutemukan apa yang kau katakana itu.” Maka Ibnu Mas’ud menjawab: “Jika engkau telah membacanya, maka pasti telah kau temukan hal itu. Bukankah engkau telah membaca ayat:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rosul kepada kalian, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah?”
Maka perempuan itu berkata: “Benar.” Kemudian Ibnu Mas’ud mengabarkan: “Sungguh aku telah mendengar Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda demikian. (HR. Bukhori dan Muslim)
(Rujukan: Manzilatus Sunnah Fil Islam, karya Imam Al-Albaniy, hal. 7-12, Mausu’ah Al-Albaniy Fil Aqidah: 1/282-287)
PEMBAGIAN AS-SUNNAH AN-NABAWIYAH (SUNNAH NABI)
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwasanya As-Sunnah itu adalah: apa yang telah shohih dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, baik berupa perkataan (sabda), perbuatan, persetujuan beliau, maka akan diperjelas lebih lanjut mengenai tiga macam sunnah tersebut:
SUNNAH QOULIYYAH
Adapun ucapan atau perkataan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka telah banyak kita temukan, yang hal itu mencakup seluruh berita-berita kenabian, baik yang berkaitan dengan nama-nama dan sifat Alloh –ta’ala-, tentang malaikat, nabi-nabi, kejadian-kejadian yang telah lalu maupun yang akan datang, perkara-perkara hari kiamat, berita-berita ghoib dan perkara-perkara keimanan lainnya yang semua itu wajib kita benarkan dan imani. Juga ucapan beliau tersebut mencakup perintah-perintah untuk ditaati dan larangan-larangan untuk ditinggalkan dan dijauhi, baik yang bersifat umum maupun khusus, global maupun terperinci.
Pada asalnya perintah beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tersebut hukumnya adalah wajib untuk dikerjakan selama tidak ada dalil lain yang memalingkan kewajiban tersebut kepada hukum lainnya. Adapun larangan beliau pada asalnya adalah haram untuk dikerjakan, kecuali ada dalil lain yang memalingkan dari hukum asal tersebut. Alloh –ta’ala- berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)
Firman Alloh:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhori dan Muslim:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ، فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang telah kularang, maka jauhilah dan apa yang telah kuperintahkan kepada kalian, maka lakukanlah semampu kalian.”
Contoh perintah beliau yang wajib untuk dikerjakan: mandi ketika masuk Islam, sebagaimana sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu- pada kisah masuk Islamnya Tsumamah bin Utsal, maka Nabi memerintahkannya untuk mandi. (HR. Abdurrozzaq dengan sanad shohih)
Contoh perintah beliau yang mustahab (tidak wajib): bersiwak setiap kali berwudhu, sebagaimana sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Ahmad (shohih):
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ
“Kalaulah tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu’.”
Contoh larangan beliau yang haram dikerjakan: berangan-angan untuk bertemu musuh. Sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits Abdulloh bin Abi Aufa -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhori dan Muslim:
لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ العَدُوِّ، وَسَلُوا الله العَافِيَةَ
“Janganlah kalian berangan-angan untuk bertemu musuh, mintalah kepada Alloh keselamatan.”
Contoh larangan beliau yang makruh untuk dikerjakan: menyentuh mushhaf Al-Quran tanpa berwudhu’, sebagaimana sabda beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam surat beliau kepada ‘Amr bin Hazm -rodhiyallohu ‘anhu- (riwayat Malik dan selainnya, hadits hasan):
أَنْ لاَ يَمَسَّ الْقُرَآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
“Tidak boleh menyentuh Al-Quran, kecuali dalam keadaan suci.”
Larangan ini hukumnya makruh, karena Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam hadits Ibnu ‘Abbas -rodhiyallohu ‘anhuma- riwayat Ahmad (shohih):
إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلاةِ
“Aku hanyalah diperintahkan untuk berwudhu, jika aku akan mendirikan sholat.”
SUNNAH FI’LIYYAH
Adapun perbuatan-perbuatan Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka termasuk bagian dari As-Sunnah An-Nabawiyah yang merupakan sumber hukum syariat Islam. Perbuatan-perbuatan beliau tersebut terbagi menjadi beberapa bagian dan setiap bagian mempunyai hukum tersendiri:
Pertama: apa yang dinamakan dengan sunnah jibilliyah (apa yang biasa dilakukan oleh manusia sesuai dengan tabiatnya), seperti: makan, minum, tidur dan sebagainya. Maka hal ini tidak mempunyai hukum secara dzatnya, karena tidak berhubungan dengan perintah dan larangan. Akan tetapi terkadang dituntut untuk melakukannya dengan tata cara tertentu, sehingga termasuk perkara yang dianjurkan atau diperintahkan dan sebaliknya terkadang terdapat perkara tertentu dari hal itu yang terlarang dan tidak sepantasnya dilakukan.
Sebagai contoh: tidur. Pada asalnya merupakan perkara tabiat yang tidak mengandung hukum, baik itu wajib maupun mustahab (sunnah). Akan tetapi dianjurkan (disunnahkan) untuk miring ke kanan dan didahului dengan membaca dzikir-dzikir sebelum tidur, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Al-Baro’ bin ‘Azib -rodhiyallohu ‘anhu- dalam Shohih Bukhori dan Muslim.
Contoh kedua: makan dan minum, termasuk kebutuhan semua manusia secara tabiatnya. Akan tetapi diwajibkan dalam makan ini dengan menggunakan tangan kanan dan membaca bismillah sebelumnya dan dilarang dengan tangan kiri, sebagaimana sabda beliau dalam hadits Umar bin Abi Salamah -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhori dan Muslim:
يَا غُلاَمُ، سَمِّ الله، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“Wahai bocah, sebutlah nama Alloh (bismillah), makanlah dengan tangan kananmu dan mulailah dengan makanan yang dekat denganmu!”
Juga hadits Salamah bin Akwa’ -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Muslim, dia mengatakan: “Ada seseorang yang makan dengan tangan kirinya di depan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mengatakan:
كُلْ بِيَمِينِكَ، قَالَ: لَا أَسْتَطِيعُ، قَالَ: لَا اسْتَطَعْتَ، مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ، قَالَ: فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ
“Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang itu berkata: “Aku tidak bisa.” Lalu beliau mengatakan: “Kamu tidak akan bisa!” Tidaklah ada yang menghalanginya untuk makan dengan tangan kanan, melainkan kesombongannya. Maka setelah itu orang itu tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya lagi.”
Demikian juga dianjurkan untuk membaca hamdalah selesai makan dan minum serta tidak bernafas atau meniup dalam gelas atau tempat makanan dan minuman tersebut, sebagaimana dalam hadits-hadits yang shohih. Ini semua merupakan perkara yang dituntut di dalamnya. Terkadang beberapa macam makanan dan minuman yang asalnya halal, terlarang dikonsumsi oleh sebagian manusia, karena hal itu bisa membahayakan jiwanya, contohnya: gula-gula atau makanan yang manis-manis bagi penderita penyakit gula. Maka secara syariat makanan tersebut haram baginya. Oleh karena itu, Syaikhul Islam -rohimahulloh- mengatakan: “Makanan yang asalnya mubah (boleh) menjadi haram jika membahayakan diri seseorang.” (Lihat Ikhtiyarot Fiqhiyyah, oleh Al-Ba’liy, hal. 351). Sebaliknya makan atau minuman tersebut diwajibkan atau dianjurkan bagi seseorang jika menunjang kesehatannya atau jika ditinggalkan menimbulkan penyakit dan sebagainya, seperti makan sahur bagi orang yang akan berpuasa untuk menjaga kesehatannya selama bepuasa.
Kedua: perbuatan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang dilakukan menurut adat-istiadat setempat. Maka ini hukumnya mubah (boleh dilakukan) secara dzatnya. Akan tetapi hukum asal ini bisa berubah menjadi sesuatu yang diperintahkan dan sebaliknya menjadi terlarang karena sebab-sebab tertentu.
Sebagai contoh: pakaian, pada asalnya hukumnya mubah, tetapi diwajibkan untuk menutup aurotnya dan dianjurkan yang berwarna putih (bagi laki-laki) sebagaimana dalam hadits shohih dari Ibnu Abbas -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Ahmad. Sebaliknya, dilarang berpakaian yang menyerupai adat orang-orang kafir (seperti celana pantalon, dasi dan sebagainya) atau terlalu panjang sampai menutup atau melebihi mata kaki (bagi laki-laki) sebagaimana dalam hadits shohih dari Abu Sa’id Al-Khudri -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Ahmad:
إِزْرَةُ الْمُؤْمَنِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، فَمَا كَانَ إِلَى الْكَعْبِ فَلَا بَأْسَ، وَمَا كَانَ تَحْتَ الْكَعْبِ فَفِي النَّارِ
“Pakaian mukmin itu sampai setengah betis. Tidak apa-apa jika sampai kedua mata kaki. Adapun di bawah mata kaki (menutupi keduanya), maka di neraka.”
Merupakan suatu perkara yang harus diperhatikan mengenai hal ini: bahwa adat yang haram, maka hukumnya haram pula dilakukan, meskipun telah tersebar dan sudah biasa dilakukan oleh manusia. Sesuatu yang haram tidak boleh dilakukan meskipun dengan alasan bahwa ini sudah merupakan adat atau kebiasaan manusia. Memang benar, bahwa agama Islam ini merupakan agama yang menyeluruh di setiap tempat dan sesuai dengan perkembangan zaman. Akan tetapi bukan berarti bahwa agama ini harus tunduk, diatur dan disesuaikan dengan tempat dan zaman tertentu. Ini adalah pemahaman yang keliru. Akan tetapi sebaliknya, agama ini mengatur kehidupan manusia di setiap waktu dan tempat yang itu merupakan kemaslahatan umat. Jika ada orang yang mengatakan: “Kaum muslimin sekarang sudah terbiasa dengan pakaian model ini (pakaian orang kafir), maka jadilah ia termasuk pakaian muslim, karena agama itu cocok untuk setiap waktu dan tempat!” Subhanalloh…!!! Ucapan ini bagaikan sebuah kampak yang menghancurkan agama ini!! Bahkan mereka jadikan yang seperti ini sebagai ilmu dan tujuan agama!!! Ini jelas tidak benar. Hendaknya seorang muslim itu menjauhi perkara yang dilarang oleh syariat dan merasa cukup dengan apa yang sesuai dengan syariat. Wabillahi-taufiq.
Masalah: apakah seseorang diberi pahala, jika meniru adat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, baik dalam berpakaian dan selainnya?
Jawaban: hendaknya kita ketahui, bahwa apa yang dilakukan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam- secara adat, maka disunnahkan bagi kita untuk melakukannya sesuai dengan adat setempat kita -baik dalam berpakaian atau selainnya-, selama adat setempat kita tersebut tidak bertentangan dengan syariat. Bukanlah yang dimaksud dengan sunnah tersebut adalah bentuk atau model pakaian itu sendiri misalnya, akan tetapi yang disunnahkan adalah jenis perbuatan yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Adapun jika berniat ingin meniru adat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam model pakaian dan sebagainya, karena kecintaan kita kepada beliau, maka diharapkan akan mendapat pahala karena niat baik tersebut. Contohnya seperti memakai sarung, ‘imamah, gamis, rida’ dan sebagainya yang pernah dipakai oleh beliau. Hal ini perlu diamalkan, terutama di negeri yang pakaian adat masyarakat setempat bertentangan dengan syariat Islam, misalnya pakaian yang menyerupai penampilan orang kafir, kurang menutup aurot atau telah datang dalil yang melarang untuk memakai pakaian tersebut, maka kita tidak diperbolehkan memakainya. Akan tetapi, yang dituntut adalah kita tetap memakai pakaian muslim untuk menampakkan syiar Islam serta sunnah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
Ketiga: perbuatan yang khusus dilakukan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, tidak diperbolehkan bagi kita untuk melakukannya. Untuk menentukan jenis perbuatan ini, diperlukan adanya dalil yang jelas dan shohih menunjukkan kalau hal itu merupakan kekhususan beliau. Hal itu karena asal dari perbuatan beliau adalah untuk ditiru dan diteladani, sebagaimana firman Alloh –ta’ala-:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ الله أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو الله وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ الله كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rosululloh itu suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Alloh dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Berdasarkan ayat ini, maka berlakulah suatu kaedah: bahwa asal dari perbuatan Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- itu adalah dalam rangka ibadah selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa hal itu sekedar adat-istiadat, tabiat manusia atau kekhususan beliau. Maka ketika ada dalil tentang kekhususan beliau tersebut, maka tidak diperkenankan bagi kita untuk melakukannya, walaupun dengan alasan ittiba’ Rosul.
Contohnya: puasa wishol, yaitu menjamak puasa dua hari atau lebih tanpa berbuka sama sekali. Puasa ini merupakan kekhususan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan melarang para sahabat untuk melakukannya, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- dan selainnya dalam Shohih Bukhori dan Muslim:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَهَى عَنِ الْوِصَالِ، قَالُوا: إِنَّكَ تُوَاصِلُ، قَالَ: إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي أُطْعَمُ وَأُسْقَى
“Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melarang untuk berpuasa wishol. Para sahabat berkata: “Sesungguhnya engkau melakukannya?” Rosululloh menjawab: “Sesungguhnya aku ini tidak seperti kalian. Aku diberi makan dan minum (oleh Alloh).”
Contoh lain yang merupakan kekhususan beliau: nikah dengan hibah, yaitu seorang perempuan mendatangi beliau dan mengatakan: “Aku hibahkan diriku kepadamu.” Jika beliau menerima, maka secara langsung menjadi istri beliau tanpa mahar, wali, akad nikah dan saksi-saksi. Dalilnya adalah firman Alloh –ta’ala- ketika menyebutkan perkara-perkara yang dihalalkan Alloh untuk beliau, diantaranya:
وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“…dan perempuan mukmin yang menyerahkan (menghibahkan) dirinya kepada Nabi, jikalau Nabi mau menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 50)
Jadi apa yang dikhususkan untuk Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak berlaku bagi kita, tetapi hal itu menunjukkan kepada kita akan keutamaan dan kemuliaan yang dikaruniakan oleh Alloh kepada beliau dan menunjukkan kedudukan beliau yang tinggi di sisi Alloh –subhanahu wa ta’ala-.
Keempat: perbuatan beliau yang dilakukan dalam rangka ibadah. Maka hal ini hukumnya wajib bagi beliau pada awalnya, karena kewajiban atas beliau untuk menyampaikan syariat, sebagaimana firman Alloh:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
“Wahai rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu. Jika tidak kamu kerjakan apa yang diperintahkan itu, berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah: 67)
Setelah itu hukumnya menjadi mustahab (sunnah) bagi beliau dan umatnya, karena hal itu merupakan bentuk peribadatan.
Sebagai contoh: bersiwak (menggosok gigi) ketika masuk rumah, sebagaimana dalam hadits Aisyah -rodhiyallohu ‘anha- dalam Shohih Muslim:
كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ
“Ketika memasuki rumah, beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- memulai dengan bersiwak.”
Maka bersiwak hukumnya mustahab (sunnah), karena beliau lakukan sebagai bentuk ibadah, sebagaimana sabda beliau dalam hadits Aisyah -rodhiyallohu ‘anha- riwayat Ahmad dan An-Nasa’i (hadits shohih):
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Siwak itu membersihkan mulut dan mendatang keridhoan Alloh.”
Kelima: apa yang dilakukan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam rangka melaksanakan perintah Alloh –ta’ala-. Maka hukumnya adalah sesuai dengan hukum perintah Alloh tersebut, bisa wajib atau sunnah (mustahab).
Jika perbuatan tersebut dilakukan dalam rangka menjelaskan perintah Alloh yang sifatnya umum atau global, maka hukumnya adalah wajib atas beliau, karena suatu perintah tersebut tidak bisa diamalkan dengan baik dan benar kecuali dengan praktek beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Setelah itu, amalan tersebut bagi umatnya bisa menjadi wajib, jika hukum perintahnya wajib atau sunnah, jika hukumnya sunnah (mustahab).
Sebagai contoh adalah: perintah sholat dan zakat yang wajib secara global, sebagaimana dalam firman Alloh –ta’ala-:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqoroh: 43)
Kita tidak mengetahui bagaimana perincian tata cara mendirikan sholat dan menunaikan zakat tersebut, kecuali setelah datang perinciannya dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, baik berupa ucapan ataupun perbuatan beliau.
Contoh lain: firman Alloh –ta’ala-:
وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
“Jadikanlah sebagian maqom Ibrohim (yaitu tempat berdiri Nabi Ibrohim ketika mendirikan Ka’bah) sebagai tempat sholat.” (QS. Al-Baqoroh: 125)
Kita tidaklah mengetahui bagaimana cara mengamalkan ayat ini; apakah yang dimaksud mendirikan sholat lima waktu, atau yang lainnya? Berapa jumlah rakaatnya; apakah dua, tiga rakaat atau lebih? Kita tidak mengetahuinya. Akan tetapi Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- ketika menyelesaikan thowaf (tujuh putaran), langsung menuju maqom Ibrohim dengan membaca ayat tersebut, kemudian melakukan sholat sunnah dua rakaat ringan. Pada rakaat pertama membaca surat Al-Kafirun dan rakaat kedua membaca surat Al-Ikhlash, sebagaimana dalam hadits Jabir -rodhiyallohu ‘anhu- yang panjang riwayat Muslim yang berisi tentang manasik haji.
(Rujukan: Syarh Ushul Min ‘Ilmil Ushul, bab Al-Akhbar dan Syarh Mandzumah Ushul Fiqh, bab Aqsam Fi’il Nabi, keduanya karya Al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin –rohimahulloh-)
SUNNAH TARKIYYAH
Termasuk As-Sunnah (sunnah Nabi) adalah apa yang diistilahkan dengan sunnah tarkiyyah, yaitu perkara-perkara yang ditinggalkan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan tidak dilakukannya. Sunnah ini terbagi menjadi dua macam:
Pertama: perkara-perkara yang ditinggalkan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dikarenakan tidak adanya hal-hal yang mendorong untuk dilakukannya hal tersebut pada zaman beliau. Maka meninggalkan yang seperti ini tidak termasuk sunnah dan jika dilakukan tidaklah dikatakan sebagai bid’ah.
Contohnya: pembukuan Al-Quran menjadi sebuah mushaf seperti sekarang ini, penulisan kitab-kitab ilmu agama.
(Rujukan: Al-Muwafaqot: 2/409, karya Imam Asy-Syathibiy -rohimahulloh-)
Kedua: perbuatan-perbuatan yang ditinggalkan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersamaan dengan adanya faktor pendorong untuk melakukannya. Meskipun demikian, beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tetap tidak melakukannya. Maka hal ini menunjukkan bahwa secara syariat perbuatan tersebut hendaknya ditinggalkan dan tidak dilakukan.
Contohnya: adzan pada sholat ‘ied dan ketika menguburkan jenazah, melafadzkan niat dan sebagainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- telah menerangkan tentang masalah ini, bahwa adzan pada sholat ied tersebut termasuk perkara yang diada-adakan oleh beberapa penguasa dan telah diingkari oleh kaum muslimin, karena itu merupakan kebid’ahan. Kalaulah bukan karena itu, maka dikatakan bahwa hal ini termasuk berdzikir kepada Alloh dan anjuran kepada manusia untuk beribadah kepada Alloh, sehingga masuk dalam keumuman dalil-dalil seperti firman Alloh:
اذْكُرُوا الله ذِكْرًا كَثِيرًا
“Berdzikirlah kepada Alloh dengan dzikir yang banyak.” (QS. Al-Ahzab: 41)
Juga masuk dalam firman-Nya:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى الله
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Alloh…?” (QS. Fushilat: 33)
Atau hal itu diqiyaskan dengan adzan sholat Jum’at (karena Jum’at termasuk hari ied pekanan). Akan tetapi yang benar adalah dikatakan bahwa sikap Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dengan meninggalkannya bersamaan dengan adanya faktor pendorong dan tidak adanya suatu penghalang untuk dilakukannya hal itu, merupakan sunnah (tarkiyyah) untuk ditinggalkan, sebagaimana apa-apa yang beliau lakukan juga merupakan sunnah (fi’liyyah) untuk dikerjakan. Sunnah tarkiyyah ini merupakan sunnah tersendiri yang lebih dikedepankan daripada keumuman dalil-dalil atau qiyas.
Ketika beliau memerintahkan adzan dan iqomah pada sholat Jum’at dan bukan pada sholat ied, maka hal itu adalah sunnah beliau. Kita tidak berhak untuk menambahinya. Bahkan penambahan dalam hal itu seperti menambah jumlah sholat atau rakaat sholat dan itu bukanlah amalan sholeh. Demikian juga tidak bisa dikatakan bahwa hal itu merupakan bid’ah hasanah. Akan tetapi dikatakan bahwa seluruh kebid’ahan itu adalah sesat, sebagaimana dalam keumuman hadits shohih dari Jabir -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Ahmad:
وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama) dan setiap kebid’ahan itu sesat.”
Kita mengetahui hal itu sebelum datangnya larangan khusus akan hal tersebut atau ditemukannya mafsadah (kerusakan) di dalamnya.
Contoh lain, yaitu munculnya kebid’ahan disebabkan oleh keteledoran manusia, seperti dikedepankannya khutbah ied sebelum sholatnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian penguasa dan telah diingkari oleh kaum muslimin. Mereka beralasan bahwa banyak manusia tidak mau mendengarkan khutbah ied, sehingga khutbah dikedepankan. Maka dikatakan kepadanya bahwa sebab keengganan manusia mendengarkan khutbah adalah keteledoran atau kesalahan penguasa (khotib) itu sendiri, karena Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dahulu berkhutbah untuk kemanfaatan dan bimbingan kepada manusia. Adapun si khotib tersebut berkhutbah dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaannya saja. Maka ini adalah kesalahan sendiri, tidak bisa dijadikan alasan untuk memunculkan kesalahan yang lain berupa kebid’ahan. Akan tetapi hendaknya ia bertaubat kepada Alloh dari kesalahannya dan mengikuti sunnah Nabi. Jika dengan hal itu belum juga menjadikan keadaan membaik, maka Alloh tidak akan menuntut pertanggungan jawab selain atas amalanmu sendiri, bukan atas amalan mereka.
Jika hal ini telah dipahami, maka akan hilanglah banyak syubhat seputar kebid’ahan yang ada. Wabillahit-taufiq.
Maka hendaknya kita juga meninggalkan perkara tersebut sebagaimana beliau meninggalkannya, meskipun dalam pandangan kita bahwa di dalamnya terdapat suatu kemaslahatan yang jelas atau termasuk dalam keumuman dalil-dalil yang ada (seperti yang telah dicontohkan di atas), karena hal itu tidak disyariatkan selama Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- meninggalkannya.
(Rujukan: Iqtidho’ Shirothol Mustaqim, hal. 279-281, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh-;  Irsyadul Fuhul, hal. 42, karya Imam Asy-Syaukaniy -rohimahulloh-)
Dari sini berlaku sebuah kaedah: bahwa diamnya pembuat syariat (Alloh dan Rosul-Nya) pada hukum tertentu atau meninggalkan suatu perkara bersamaan dengan adanya faktor pendorong dilakukannya hal tersebut pada waktu itu tanpa adanya tambahan syariat baru, jika hal tersebut dilakukan, maka ia termasuk perkara bid’ah dalam agama yang tercela, bertentangan dengan maksud Alloh dan Rosul-Nya yaitu menuruti apa yang telah digariskan oleh keduanya tanpa menambahi atau mengurangi sedikitpun.
(Rujukan: Al-I’tishom: 1/361, karya Imam Asy-Syathibiy -rohimahulloh-)
Imam Al-Albaniy -rohimahulloh- mengatakan: “Termasuk ketetapan dari para ulama ahli tahqiq (mujtahid), bahwasanya setiap bentuk peribadatan yang tidak disyariatkan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan tidak pernah beliau lakukan dalam rangka ibadah, maka hal itu termasuk penyelisihan terhadap sunnah beliau. Hal itu karena sunnah beliau terbagi menjadi: sunnah fi’liyyah (perbuatan yang dilakukan) dan sunnah tarkiyah (sesuatu yang ditinggalkan). Apa yang ditinggalkan oleh beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berupa perkara ibadah, maka disunnahkan atau disyariatkan bagi kita untuk meninggalkannya pula… Hal ini telah dipahami oleh para sahabat, sehingga banyak muncul peringatan terhadap kebid’ahan dari mereka, baik secara umum maupun khusus, sampai-sampai Hudzaifah bin Yaman -rodhiyallohu ‘anhu- berkata: “Setiap ibadah yang tidak diamalkan oleh para sahabat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka janganlah kalian mengamalkannya!” Ibnu Mas’ud -rodhiyallohu ‘anhu- berkata: “Ikutilah (sunnah Rosul) dan jangan berbuat kebid’ahan, maka hal itu cukuplah bagi kalian. Pegangilah perkara yang telah terdahulu!”
(Rujukan: Hujjatun Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, hal. 100-101, karya Imam Al-Albaniy -rohimahulloh-)
Imam Ibnul Qoyyim -rohimahulloh- berkata dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/389-391): “Pasal: Penukilan Sahabat Terhadap Perkara Yang Ditinggalkan Oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
Adapun penukilan mereka tentang perkara yang ditinggalkan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, ada dua macam dan kedua-duanya disebut sebagai sunnah:
Pertama: pernyataan mereka secara jelas bahwa hal tersebut telah beliau tinggalkan dan tidak dilakukannya, seperti pada perang Uhud bahwasanya beliau tidak memandikan dan mensholati para syuhada’ Uhud. Demikian juga pada sholat ied: tidak ada adzan dan iqomah serta panggilan apapun. Juga ketika menjama’ dua sholat: beliau tidak melakukan sholat sunnah di antara keduanya dan tidak pula pada salah satu dari keduanya…
Kedua: tidak dinukilkan sama sekali perkara tersebut. Jikalau hal tersebut telah dilakukan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka tentunya akan mereka nukilkan dan akan samapai kepada kita (meskipun hanya dengan satu riwayat). Maka dengan tidak adanya penukilan mereka tersebut, menunjukkan bahwa hal itu belumlah terjadi.
Hal ini seperti melafadzkan niat ketika akan mendirikan sholat, do’a secara berjama’ah yang dilakukan oleh imam dengan menghadapkan dirinya ke makmum dan mereka mengamininya setiap selesai sholat Shubuh, Ashar atau sholat lima waktu lainnya. Demikian juga mengangkat kedua tangan setiap selesai ruku’ pada rakaat kedua sholat shubuh dengan mengatakan: “Allohumahdina fiiman hadait…dst.,” dengan mengeraskannya dan diamini oleh makmum (qunut shubuh).
Maka merupakan sesuatu yang mustahil bahwa beliau melakukannya dan tidak dinukilkan kepada kita sama sekali, padahal dilakukannya secara rutin setiap hari. Demikian juga mandi sebelum menginap di Muzdalifah, ketika hendak melempar jumroh, ketika thowaf ziaroh (bagi jama’ah haji) serta sebelum sholat istisqo’ (minta hujan) dan kusuf (gerhana).
Dari sinilah, diketahui bahwa pendapat yang menganjurkan hal-hal tersebut telah menyelisihi As-Sunnah, karena perbuatan Rosululloh meninggalkan hal tersebut merupakan sunnah (tarkiyyah) sebagaimana perbuatan yang dilakukan oleh beliau adalah sunnah (fi’liyyah). Jika kita menganjurkan (mensunnahkan) untuk melakukan perkara yang ditinggalkan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka ini sama seperti kita menganjurkan untuk meninggalkan sesuatu yang telah dilakukan oleh beliau, tidak ada bedanya sama sekali.
Jika ada yang mengatakan: “Darimana kalian mengetahui bahwa beliau tidak melakukannya. Tidak adanya penukilan tentang hal tersebut bukan berarti hal itu tidak ada?”
Ini adalah pertanyaan yang terlontar dari seseorang yang jauh sekali dari pengetahuan tentang petunjuk dan sunnah beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Jika pertanyaan ini dibenarkan dan diterima, maka disunnahkan pula bagi kita untuk melakukan adzan sebelum sholat tarawih, lalu dikatakan: “Darimana kalian tahu kalau hal ini tidak dinukilkan?!” Demikian juga akan disunnahkan bagi kita untuk mandi pada setiap melakukan sholat, lalu dia mengatakan hal yang serupa: “Darimana kalian tahu kalau hal ini tidak dinukil?” Demikian juga seseorang yang lain akan menganjurkan kita untuk berseru setelah adzan: “Yarhamukumulloh..!” Kemudian ia mengatakan: “Darimana kalian tahu kalau hal ini tidak ada?” Demikianlah seterusnya…., sehingga terbukalah pintu kebid’ahan dan setiap yang menyerukan kepada kebid’ahan mengatakan: “Darimana kalian tahu kalau ini tidak dinukil…?!”
Maka termasuk kebid’ahan adalah:
  • melakukan apa yang belum diizinkan oleh Alloh dan Rosul-Nya (dalam peribadatan) untuk mengamalkannya, seperti: sujud syukur di depan penguasa, do’a secara berjama’ah setiap selesai sholat dan sebagainya; atau:
  • meninggalkan apa yang telah diizinkan untuk diamalkan dalam rangka ibadah, seperti: tidak mau berbicara ketika berpuasa, meninggalkan makanan tertentu dan sebagainya;  atau:
  • perkara yang keluar dari itu semua, seperti mewajibkan berpuasa dua bulan berturut-turut bagi orang yang mampu memerdekakan budak dan sebagainya. Yang terakhir ini telah jelas penyelisihannya terhadap dalil syar’i dan jelas merupakan bi’dah yang buruk.
(Rujukan: Al-Muwafaqot: 2/410, karya Imam Asy-Syathibiy -rohimahulloh-)
DAMPAK BURUK DARI JAHILNYA MANUSIA TERHADAP PERKARA INI
Sesungguhnya kejahilan manusia terhadap perkara pokok dan penting ini dapat menjatuhkan mereka ke dalam kebid’ahan. Lihatlah kepada kebid’ahan yang dilakukan oleh manusia sekarang, maka tampaklah bahwa hal itu termasuk perkara yang telah ditinggalkan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersamaan dengan adanya kebutuhan untuk melakukannya di waktu itu.
Lihatlah ketika orang-orang suka melafadzkan niat ketika memulai sholat dengan mengucapkan: “Nawaitu an usholli …dst.,” padahal tidak pernah diketemukan hal itu satu riwayat pun dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat beliau. Yang ada hanyalah perintah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana dalam hadits yang berisi kisah seseorang yang tidak baik sholatnya (hadits shohih dari Rifa’ah -rodhiyallohu ‘anhu- dan selainnya, riwayat ashhabus-sunan):
«إذا قمت إلى الصلاة فكبر .. الخ»
“Jika engkau berdiri memulai sholat, maka bertakbirlah (takbirotul ihrom) …dst.”
Beliau tidaklah mengajarkan: “Katakanlah: “Nawaitu an usholli…dst.” Jikalau hal itu disyariatkan, niscaya akan diajarkan pula oleh beliau kepada orang itu, karena beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidaklah menunda penjelasan ketika dibutuhkan.
Demikian juga membaca Al-Quran Al-Karim di pekuburan sebagai bentuk rohmat kepada si mayit. Hal itu tidak dilakukan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sama sekali, bersamaan dengan adanya pendorong untuk itu dan tidak ada penghalang. Maka meninggalkannya termasuk As-Sunnah dan sebaliknya; mengerjakannya adalah bid’ah tercela.
Apakah masuk akal jika Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- meninggalkan sesuatu yang bermanfaat serta mendatangkan rahmat bagi umatnya, padahal beliau bersifat amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin?! Demikian juga, apakah masuk akal kalau hal itu merupakan pintu dari pintu-pintu rahmat, kemudian ditinggalkan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sepanjang hidup beliau?!
Demikian juga, peringatan maulid Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh beliau dan juga para sahabat beliau yang mulia, bersamaan dengan adanya faktor pendorong untuk melakukannya. Hari itu telah berulang-ulang tiap tahun, tetapi tidak sekalipun beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- memperingatinya dan tidak pernah memerintahkan seorangpun dari para sahabat untuk memperingatinya, sebagaimana mereka telah diperintahlan untuk membaca sholawat Nabi. Maka hal ini menunjukkan bahwa acara peringatan tersebut tidak disyariatkan.
Kalaulah acara peringatan tersebut disyariatkan, maka para generasi teladan umat ini tentu telah mendahului kita untuk mengamalkannya, karena merekalah orang-orang yang lebih mencintai Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan lebih beradab terhadap beliau daripada orang-orang yang mengadakan peringatan maulid Nabi.
Tidaklah bid’ah peringatan maulid Nabi ini muncul, kecuali setelah ratusan tahun belakangan (sekitar tahun 630 hijriyah). Pertanyaannya adalah: dimanakah generasi teladan umat ini dan para ulama kaum muslimin sebelumnya?! Mengapa mereka tidak memperingatinya?!
Al-Hafidz Ibnu Rojab -rohimahulloh- berkata: “Adapun perkara yang para salaf (generasi pendahulu yang sholeh) telah bersepakat untuk meninggalkannya, maka tidak diperkenankan bagi kita untuk mengamalkannya, karena tidaklah mereka meninggalkannya, kecuali telah mengetahui bahwa perkara itu memang tidak untuk dikerjakan.”
(Rujukan: Fadhlu ‘Ilmis-Salaf ‘Alal-Kholaf, karya Imam Ibnu Rojab -rohimahulloh-, hal. 31)
Kesimpulannya, tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk melakukan peribadatan yang tidak dilakukan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat beliau, sebagaimana ucapan Hudzaifah -rodhiyallohu ‘anhu- di atas yang maknanya adalah: janganlah mendekatkan diri kepada Alloh –‘azza wa jalla- dengan hal itu, karena bukan ibadah yang dituntunkan sebagaimana yang disangkakan. Jikalau hal itu merupakan ibadah yang disyariatkan, niscaya beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- akan datang dengannya.
(Rujukan: Fatawa Al-Albaniy, hal. 188 dan risalah Ittiba’ Laa Ibtida’, Qowaid wa Asas fii As-Sunnah wal-Bid’ah, hal. 64-72, oleh Hisamuddin ‘Afanah)
SUNNAH TAQRIRIYYAH
Yang dimaksud dengan taqrir (persetujuan) Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- di sini adalah diamnya atau tidak adanya pengingkaran dan sebagainya yang menunjukkan persetujuan beliau ketika melihat atau mendengar para sahabat -rodhiyallohu ‘anhum- melakukan suatu perbuatan atau mengatakan sesuatu di hadapan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
Adapun taqrir (persetujuan beliau terhadap sesuatu tersebut) merupakan dalil akan bolehnya hal tersebut sesuai dengan sisi persetujuannya, baik berupa perbuatan atau ucapan, baik itu perkara yang wajib, mustahab ataupun mubah.
Contoh taqrir beliau terhadap suatu ucapan adalah taqrir beliau terhadap ucapan seorang budak perempuan yang beliau tanyai: “Dimanakah Alloh?” dia menjawab: “Di atas langit.” Hal ini sebagaimana dalam hadits Mu’awiyah bin Hakam As-Sullamiy -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Muslim, bahwasanya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menanyai seorang budak perempuan milik Mu’awiyah:
أَيْنَ الله؟ فَقَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ، قَالَ: أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Dimanakah Alloh?” Dia menjawab: “Di atas langit.” Beliau bertanya lagi: “Siapa aku ini?” Dia menjawab: “Engkau adalah Rosululloh.” Maka beliau berkata kepada Mu’awiyyah: “Merdekakan dia, sesungguhnya ia seorang mukminah.”
Ini adalah dalil akan keyakinan bahwa Alloh itu di atas langit dan itu merupakan aqidah yang benar, tidak diingkari.
Contoh taqrir beliau terhadap suatu perbuatan adalah ketika seseorang utusan beliau dalam berperang mengimami pasukannya dan selalu mengakhiri bacaannya dengan surat Al-Ikhlash. Hal ini sebagaimana dalam hadits Aisyah -rodhiyallohu ‘anha- riwayat Bukhori dan Muslim, bahwa ketika beliau mendengar hal tersebut, lalu berkata kepada para sahabat:
سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ؟، فَسَأَلُوهُ، فَقَالَ: لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ، وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَخْبِرُوهُ أَنَّ الله يُحِبُّهُ
“Katakan kepadanya, mengapa ia lakukan itu?” Maka mereka bertanya kepadanya, lalu ia menjawab: “Karena dalam surat itu terdapat sifat Ar-Rohman dan aku suka membacanya.” Maka Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Kabarkanlah kepadanya bahwa Alloh mencintainya.”
Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut diperbolehkan baginya, karena jika tidak demikian, maka tentu beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- akan melarangnya dan tidak menyetujuinya.
Faedah: Adapun perkara-perkara yang terjadi di zaman Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- (zaman turunnya wahyu) tanpa sepengetahuan beliau, maka tidaklah dikatakan sebagai sunnah beliau, karena hal itu tidak diucapkan, dikerjakan dan tidak pula ditaqrir oleh beliau. Akan tetapi hal itu merupakan hujjah (bisa dijadikan dalil), karena telah mendapatkan taqrir dari Alloh –subhanahu wa ta’ala- yang Dia itu adalah Al-’Aliim, maha mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini.
Contohnya adalah: pendalilan para sahabat akan bolehnya melakukan ‘azl, yaitu: bahwasanya jika seseorang berjima’ (berhubungan intim) dengan istrinya dan hampir keluar air maninya, maka ia mencabut zakarnya supaya air mani tersebut tidak masuk dan keluar dari tempatnya yang semestinya, dengan ridho istrinya, agar tidak terjadi kehamilan. Hal ini sebagaimana dalam Shohih Bukhori dan Muslim dari Jabir -rodhiyallohu ‘anhu-, dia berkata:
كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالقُرْآنُ يَنْزِلُ
“Kami dahulu melakukan ‘azl pada zaman Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan Al-Quran masih diturunkan (yaitu pada zaman turunnya wahyu).”
Hal ini menunjukkan bolehnya hal tersebut, karena jika diperbolehkan, niscaya akan turun wahyu untuk melarangnya. Alloh –ta’ala- tidak mungkin akan mendiamkan sesuatu yang tidak diridhoi-Nya dilakukan oleh hamba-Nya, karena Alloh adalah Al-Qodiir, maha berkuasa atas segala sesuatu termasuk pengingkaran terhadap perkara yang mungkar.
(Rujukan: Syarh Ushul Min ‘Ilmil Ushul, hal. 350-358, oleh Al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin -rohimahulloh-)
Demikianlah sekilas tentang pembahasan As-Sunnah sebagai pedoman hukum Islam kedua setelah Al-Quran. Jika ada benarnya, maka itu dari Alloh –tabaroka wa ta’ala- dan jika ada kekeliruan, maka itu dari diri seorang hamba yang lemah dan bisikan setan yang terkutuk. Kami bertaubat kepada Alloh atas segala kesalahan yang terjadi.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ألا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
والحمد لله بنعمته تتم الصالحات