Selasa, 05 Juni 2012

BOLEHKAH ORANG YANG JUNUB ATAU WANITA YANG SEDANG HAID DUDUK DI MASJID ?


Ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Sebelum masuk ke permasalahan[1], kita mulai dengan sebuah kaidah yang sering dipergunakan ulama, yang sebenarnya kaidah tersebut berkaitan dengan kaidah Al-Yaqiin Laa Yazuulu Bisy Syakk (yang telah lewat pembahasannya)[2].
Syaikh As-Sa’dy Rahimahulloh[3] menyebutkan salah satu bentuk penerapan kaidah (diatas): “Hukum asal (pada pembebanan syari’at-pent) adalah penafian (ketiadaan) hukum-hukum atas para mukallaf (orang yang baligh dan berakal) sampai datangnya sesuatu yang menjadi dalil atas penyelisihan hukum asal”.
Penjelasan: Pada asalnya aktivitas yang dilakukan manusia boleh-boleh saja, tidak ada tuntutan baginya untuk mengerjakan atau meninggalkan sampai ada dalil yang mengatur perbuatan tersebut.
Kaidah ini dikenal ulama dengan nama Ishtishabul ‘Adamil Ashly atau Al-Baro’atul Ashliyyah. Inilah kaidah yang bersinggungan dengan pembahasan kita, dan kaidah ini disepakati oleh seluruh Ahlus Sunnah.[4]

LATAR BELAKANG PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA:
Pembahasan hukum wanita haid dan orang yang junub, dalam beberapa perkara sering digabungkan oleh para ulama. Diantara penyebabnya karena permasalan tersebut berkaitan dengan faktor yang sama yang ada pada kedua perkara tersebut, misalnya karena pembahasan berhubungan dengan hadats besar, mandi wajib, atau ada dalil yang sama menyebutkan perkara tersebut.
Dalam permasalahan ini terdapat hadits ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha. Kisahnya bahwa rumah-rumah sahabat yang berada di dekat Masjid Nabawy, seluruhnya pintu–pintu langsung ke masjid. Maka –dalam hadits tersebut- Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَجِّهُوا هَذِهِ البُيُوتِ عَنْ المَسْجِدِ فإِنِّي لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُب
“Ubahlah arah rumah-rumah ini dari Masjid. Saya tidak menghalalkan masjid bagi (wanita) haid, tidak pula bagi (orang yang) junub” (HR Abu Daud). Namun hadits ini dho’if. Hadits ini didho’ifkan para imam diantaranya: Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhory, Al-Baihaqy, Ibnu Hazm, Al-Albany dan selain mereka[5] Rahimahumulloh.
Juga ada hadits lain dari Abu S’aid Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwa Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu:
يا علي لا يحل لأحد يجنب في هذا المسجد غير وغيرك
“Wahai ‘Ali, tidak halal bagi seorangpun yang junub di masjid ini kecuali saya dan kamu” (HR Tirmidzi) Namun hadits juga dho’if[6].
Perkara lain yang menyebabkan terjadinya khilaf dalam masalah ini adalah pemahaman ulama tentang firman Alloh Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati sholat sementara kalian dalam keadaan mabuk, dan jangan pula[7] dalam keadaan junub kecuali kalian dalam keadaan safar, sebelum kamu mandi. Adapun jika kalian sakit, sedang dalam perjalanan, sehabis buang air, setelah buang air atau setelah menjima’i perempuan, sementara kalian tidak mendapatkan air maka bertayamumlah” (QS An-Nisa’ 43)
Terjadi perbedaan pemahaman dalam tafsir ayat ini:
  • Tentang makna لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ
Sekelompok ulama berpendapat maksud sholat disini adalah makna sholat yang dipahami dalam syari’at (yaitu ibadah sholat sebagaimana dimaklumi kaum muslimin). Sehingga maknanya: Jangan kalian mengerjakan sholat.
Sementara kelompok yang lain, ada yang memahami bahwa maksud sholat disini adalah sholat dan tempatnya (masjid). Sehingga: Jangan kalian mengerjakan sholat dan jangan mendekati mesjid. Dalil mereka:
وَلَوْلَا دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللهِ كَثِيرًا
“Kalaulah Alloh tidak menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, tempat-tempat ibadah Yahudi dan masjid-masjid yang didalamnya banyak di sebut nama Alloh” (QS Al-Hajj 40)
﴿صَلَوَاتٌ﴾adalah jamak (bentuk plural) dari sholat. Sementara jelas makna yang dinginkan disini adalah tempat, yaitu tempat ibadah Yahudi[8].
  • Tentang makna عَابِرِي سَبِيلٍ
Sekelompok ulama berpendapat maksudnya adalah musafir yang junub. Terdapat atsar shohih[9] dari ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu bahwa ayat ini turun pada musafir yang junub. Juga shohih[10] dari Ibnu ‘Abbas. Demikian pula atsar shohih[11] dari Sa’id  bin Jubair (tabi’iy) bahwa beliau menafsirkannya dengan musafir.
Sementara kelompok yang lain, memahami bahwa maksudnya adalah orang yang junub yang sekedar lewat dalam mesjid tanpa bermasuk duduk. Diantara dalil yang mereka bawakan:
  1. Riwayat Yazid bin Abi ‘Ubaid Rahimahulloh, dimana beliau menyebutkan bahwa ayat ini turun pada sekelompok shohabat Anshor yang junub. Mereka tidak bisa mengambil air kecuali harus melewati masjid karena pintu-pintu rumah mereka langsung ke masjid. Namun kisah Asbabun Nuzul (sebab turun ayat) ini sanadnya dho’if[12].
  2. Atsar Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu bahwa beliau memberi keringanan bagi orang yang junub untuk sekedar lewat dalam masjid, kemudian beliau berdalil dengan ayat. Atsar ini sanadnya dho’if[13].
  3. Tafsir Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu tentang ayat tersebut: “Sekedar melintas tidak duduk”. Atsar ini sanadnya dho’if[14].
  4. Tafsir Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu tentang ayat tersebut: “Sekedar melintas tidak duduk”. Atsar ini sanadnya dho’if[15].
KESIMPULAN PERSELISIHAN MAKNA AYAT:
Dari dalil-dalil dan kaidah yang telah disebutkan, nampak bagi kita bahwa yang rajih adalah pendapat yang mengatakan bahwa pada firman Alloh
لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاة
yang dimaksud adalah sholat sebagaimana yang kita kenal (yaitu ibadah yang diawali dengan Takbiratul Ihrom dan diakhiri dengan salam). Karena pada hukum asalnya kita memahami makna sholat sesuai dengan istilah yang diinginkan syari’at, dan kita tidak berpaling dari makna itu sampai ada dalil yang jelas dan tegas yang mengharuskan kita untuk berpindah ke makna yang lain.
Adapun masalah makna musafir, maka dalil-dalilnya jelas. Wallohu A’lam
MASALAH DAN JAWABANNYA:
  • Jika ada mengatakan: “Dipahami dari ayat (dengan pendapat yang dirajihkan ini): “Janganlah kalian sholat sementara kalian dalam keadaan junub sampai kalian mandi, kecuali jika kalian dalam keadaan safar tidak punya air maka tayamumlah untuk sholat”. Mengisyaratkan bahwa tidak boleh bagi orang yang mukim untuk tayammum, kalau tidak maka pengecualian musafir disini tidak ada manfaatnya. Dan pembedaan hukum tayammum bagi musafir dan orang yang menetap jelas keliru, karena ‘illah (hikmah bolehnya) tayammum adalah ketiadaan air atau ketidak mampuan penggunaan air.” Maka dijawab: “Pengkhususan penyebutan musafir dalam pengecualian karena pada safar terdapat dugaan kuat untuk tidak memiliki air[16], yakni penyebutan musafir adalah karena seringnya begitu, bukan untuk meniadakan hukum tayamum bagi orang yang menetap”.[17]
  • Bagi yang berpendapat bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah larangan untuk masuk masjid kecuali bagi yang sekedar lewat di dalam masjid atau musafir.
Maka jika dicermati dalil-dalil lain dalam masalah ini, sesungguhnya larangan tersebut tidaklah sampai kepada tingkat pengharaman. Diantara dalil-dalil yang bisa kami datangkan:
  1. Duduknya orang musyrik di dalam masjid. Dimaklumi bahwa orang kafir thoharoh dari hadats besar tidak diterima. Seperti kisah Jubair bin Muth’im Ridhiyallahu ‘Anhu ketika masih musyrik (dia merupakan tawanan perang Badar). Beliau mendengar Rosululloh membaca surat Thur di dalam masjid sehingga masuklah keimanan di hatinya. (HR Bukhory-Muslim)
  2. Kisah Tsumamah bin Utsal Rodhiyallohu ‘Anhu (sebelum masuk Islam), dia diikat di masjid selama dua hari. (HR Bukhory-Muslim dari Abu Hurairoh).
  3. Banyaknya shohabat yang tinggal dan tidur di masjid, sementara tidur adalah kondisi dugaan terjadinya junub (karena mimpi basah). Bersamaan dengan banyaknya jumlah mereka tidak dinukilkan jika mereka mimpi basah langsung keluar. Diantaranya Ashabush Shuffah (sekitar tujuh puluh orang) yang masyhur disebabkan mereka muhajirin tidak memiliki rumah (HR Bukhory dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)[18].
  4. Tidurnya Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu di masjid (HR Bukhory), karena dia bujang, tidak punya tempat berlindung sampai dia menikah.
  5. Tidurnya ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu di masjid (HR Bukhory-Muslim), karena ada masalah di rumah dengan Fathimah.
  6. Tinggalnya seorang shohabiyyah yang miskin (dulunya seorang hamba) di masjid (HR Bukhory). Terlebih lagi seorang wanita mengalami siklus haid, tidak didapatkan dalil bahwa Rosululloh melarangnya tinggal di masjid[19] atau menyuruhya keluar dari masjid dalam masa haidnya itu.
  7. Duduknya para shohabat di masjid dalam keadaan junub tanpa pengingkaran. Diantaranya atsar shohih[20] dari ‘Atho’ bin Yasar (ulama Tabi’i) Rahimahulloh mengatakan: Saya melihat para laki-laki dari shahabat Rosululloh duduk di mesjid dalam keadaan junub, apabila mereka berwudhu’ sebagaimana wudhu’untuk sholat[21]
  8. Demikian juga atsar dari Zaid bin Aslam
Sehingga menurut pendapat ini (yang menetapkan larangan) maka larangan tersebut jatuhnya kederajat makruh, dan makruh hukumnya mubah (boleh) jika adah hajah (keperluan) Wallohu A’lam.
KESIMPULAN YANG TERPILIH:
Tidak mengapa bagi wanita yang haid atau orang yang junub untuk duduk di mesjid, terlebih jika dia memiliki keperluan untuk itu. Dikarenakan belum didapatkannya dalil yang jelas dan tegas akan keharamannya, sehingga mesti tetap berada pada hukum asal (mubah), sebagaimana kaidah terdahulu: Al-Baro’atul Ashliyyah[22].
Diantara ulama terdahulu yang berpendapat dengan pendapat ini: Al-Muzany, Daud Azh-Zhohiry, Ibnul Mundzir, Abu Hamid Asy-Syafi’i menyebutkan bahwa ini adalah pendapat Zaid bin Aslam Rahimahumullloh.
Diantara ulama sekarang yang berpendapat dengan pendapat ini: Syaikh Al-Albany, Syaikh Muqbil Rahimahumalloh serta beberapa Masyayikh kami (diantaranya: Syaikh Yahya, Muhammad bin Hizam dan ‘Abdulloh Iryani Hafizhohumulloh) juga merojihkan pendapat ini.
Inilah yang saya pahami dalam masalah ini. Wallohu A’lam bishshowwab
(29 Jumadil Ula 1433)

[1] Untuk melihat dalil-dalil yang lengkap masing-masing mazhab, lihat Al-Faidh karya Syaikh ‘Abdulloh Al-Iryany Hafizhohulloh.Adapun yang disebutkan di si ni adalah dalil-dalil yang langsung mengarah ke inti permasalahan.
[2] Pada artikel: “RAGU-RAGU DALAM IBADAH DAN SOLUSINYA”
[3] Manzhumah Qowa’idil Fiqhiyyah
[4] Dinukilkan Imam Al ‘Ala’iy di Al-Majmu’ul Madzhab (1/305-306)
[5] Termasuk  Syaikhuna Yahya Al-Hajuri dan Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Hafizhohumalloh. Karena yang meriwayatkan lafazh ini –dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha- adalah Jasroh binti Dajajah dia majhulatul hal (termasuk jenis dho’if yang ringan). Dan dia telah menyelisihi ‘Urwah bin Az-Zubair, dan ‘Abbad bin ‘Abdulloh Rahimahumalloh. Keduanya tsiqoh meriwayatkan kisah tersebut dari ‘Aisyah tanpa menyebutkan lafazh yang disebutkan Jarsoh. Keduanya meriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Tutuplah pintu-pintu ini kecuali pintu Abu Bakr” (lihat Dho’if Abi Daud-Al-Umm 1/187 karya Syaikh Al-Albany, Fathul ‘Allaam 1/326 karya Syaikhuna Muhammad bin ‘Ali bin Hizam)
[6] Pada rantai periwayatannya (sanad) terdapat Salim bin Abi Hafshoh dan ‘Athiyyah Al-’Aufy. Keduanya dho’if jiddan (termasuk tingkatan dho’if yang paling parah). Keduanya juga syi’ah, sehingga mereka tertuduh dalam kekeliruan hadits ini (sebagaimana disebutkan Imam An-Nawawy di Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 2/165). Hadits ini juga diriwayatkan Al-Bazzar dari jalur Khorijah bin sa’ad, sementara Khorijah majhul (termasuk tingkatan dho’if).
[7] Di sebagian terjemahan Al-Qur’an: ” … jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja sebelum kamu mandi …”
[8] Lihat Ni’matul Mannan karya Syaikhuna Abu ‘Amr Al-Hajury Hafizhohulloh
[9] HR Baihaqy dan Ibnu Jarir (dengan dua jalan)
[10] Diriwayatkan Ibnu Mundzir di Al-Awsath (2/108) dan Ibnu Jarir di Tafsirnya (7/50)
[11] Tafsir Ath-Thobary. Atsar ini dishohihkan Syaikhuna ‘Abdulloh Iryani Hafizhohulloh
[12] Diriwayatkan dalam tafsir Ath-Thobary. Yazid Rahimahulloh seorang tabi’iy, tidak hadir ketika ayat ini turun, dan dia tidak menukilkannya dari shohabat yang menghadiri. Periwayatan seperti ini dikenal dengan mursal.
[13] Diriwayatkan ‘Abdur Rozzaq  dalam Mushonnafnya (1/412). Atsar ini munqothi’, pada sanadnya terdapat Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdillah bin Mas’ud dari bapaknya (yaitu Ibnu Mas’ud). Imam At-Tirmizi, Ibnu Hibban dan Abu Hatim menyebutkan bahwa Abu ‘Ubaidah tidak pernah mendengar dari bapaknya. (lihat Tahdzibut-Tahdzib)
[14] Diriwayatkan Al-Baihaqy di As-Sunanul Qubro (2/443). Pada sanadnya terdapat Al-Hasan bin Abi Ja’far Al-Azdy dan Ibnu Qois Salim Al-Ulawy, keduanya dho’if (lihat Tahdzibut-Tahdzib)
[15] Diriwayatkan Al-Baihaqy di As-Sunanul Qubro (2/443). Pada sanadnya terdapat Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan, dho’if (lihat Tahdzibut-Tahdzib)
[16] Sebagaimana dibolehkannya bagi musafir untuk membatalkan puasa, mengqoshor sholat, meninggalkan sholat jama’ah dan jum’at, dengan sebab bahwa pada safar terdapat dugaan kuat adanya kesulitan dan kesusahan yang berarti.
[17] Inilah jawaban penjelasan yang diberikan Syaikhuna Muhammad bin Hizam Hafizhohulloh.
[18] Diantaranya kisah Tholhah Rodhiyallohu ‘Anhu bersama seorang shohabat yang lain ketika hijroh ke Madinah mereka tinggal di Shuffah (HR Ahmad. Hadits ini di Jami’ush Shohih, karya Syaikh Muqbil Rahimahulloh)
[19] Lihat Al-Muhalla (1/401) karya Ibnu Hazm.
[20] Diriwayatkan di Sunan Sa’id bin Manshur sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir pada tafsir ayat (terdahulu).
[21] Ini dalil bagi pendapat bagi yang menetapkan sunnatnya wudhu’ bagi orang junub untuk duduk di mesjid. Adapun mensyaratkan, maka tidak bisa diambil hukum dari atsar tersebut karena sebatas perbuatan tidak bisa memberi hukum wajib.
Sementara bagi wanita haid (ketika ana tanyakan ke Syaikh Muhammad Hizam) beliau menjawab: “Tidak disunnahkan wudhu’ karena tidak ada dalil dan salafnya”. Wallohu A’lam
[22] Imam Nawawy Rahimahulloh dalam Al-Majmu’ (2/154) mengatakan: “Sisi paling bagus yang dikedepankan mazhab ini (yaitu yang berpendapat bolehnya duduk di masjid secara mutlak-pent) adalah bahwa hukum asalnya tidak ada keharaman, dan tidak ada bagi yang mengharamkan dalil yang shohih lagi tegas”.