Rabu, 26 September 2012

Sakit: Pemutus Cerita – Pemupus Derita (Bag.3)

Judul asli: ’Iyaadah wa Ifaadah
ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Saddadahulloh
Darul Hadits – Dammaj, Yaman

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد
Bab Dua Belas: RIDHO
Keridhoan dalam menerima takdir ada dua bentuk. Pertama, ridho dengan perbuatan Alloh sekaligus mengandung ridho dengan yang ditakdirkan. Kedua, ridho dengan perbuatan Alloh, tapi tidak ridho dengan yang ditakdirkan. Ridho dengan perbuatan Alloh, membenarkan dan menerimanya, hukumnya wajib. Adapun ridho dengan sesuatu yang ditakdirkan -yang akan kita bahas disini-, maka hukumnya mustahab (sunat menurut istilah fiqh), derajatnya lebih tinggi dari sabar.
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Dari segi perbuatan yang mentakdirkan, maka wajib bagi seseorang untuk ridho dan bersabar. Adapun dari segi yang ditakdirkan, maka wajib baginya bersabar dan mustahab baginya ridho”. [Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-‘Utsaimin 10/691]
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa keridhoan terhadap hal tersebut –yakni perkara yang telah terjadi- hukumnya mustahab -bukan wajib-, karena Alloh telah memuji orang-orang yang bersikap ridho dengan firman-Nya:
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْه
“Alloh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Alloh”
Alloh hanya mewajibkan sabar dan memerintahkannya di berbagai ayat sementara tidak memerintahkan untuk ridho terhadap apa yang telah terjadi”. [Minhajus Sunnah 3/120]

Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Kedudukan manusia dalam menghadapi takdir ada tiga: Keridhoan dan ini adalah kedudukan yang tertinggi, kemarahan dan ini adalah kedudukan yang terendah, kemudian sabar tanpa disertai keridhoan adalah kedudukan pertengahan. Yang pertama adalah kedudukan Al-Muqorribin As-Sabiqin (orang-orang yang menunaikan perkara-perkara yang wajib dan mustahab, serta meninggalkan perkara-perkara yang haram dan makruh), yang kedua adalah kedudukan muqtashid (orang-orang yang menunaikan perkara-perkara yang wajib dan meninggalkan perkara-perkara yang haram namun kurang dalam melakukan amalan-amalan yang mustahab, dan masih mengerjakan perkara-perkara yang makruh) sementara yang ketiga adalah kedudukan orang-orang yang zholim. Banyak orang yang bisa bersabar atas takdir yang menimpanya, tidak marah namun tidak sampai meridhoinya. Keridhoan adalah perkara yang lain (di luar kesabaran –pent) [At-Tafsirul Qoyyim 1/95]
Ibnul Katsir Rahimahulloh mengatakan dalam tafsir firman Alloh Ta’ala:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
“Tidak ada suatu musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Alloh. Barangsiapa yang beriman kepada Alloh niscaya Alloh akan memberikan petunjuk ke hatinya” (QS At-Taghobun 11)
“Maksudnya: Barangsiapa yang tertimpa musibah, kemudian mengetahui bahwa hal tersebut terjadi dengan ketetapan dan takdir Alloh, maka dia bersabar, berharap pahala serta menerima ketentuan tersebut, maka Alloh akan memberikan hidayah ke hatinya dan Alloh ganti dunia yang luput darinya dengat petunjuk, keyakinan dan kejujuran di hatinya. Bisa juga apa yang luput tersebut Alloh ganti kembali atau dengan yang lebih baik darinya”. Selesai penukilan
Al-‘Allamah As-Sa’dy Rahimahulloh dalam tafsirnya mengatakan: “Apabila dia beriman bahwasanya musibah tersebut dari sisi Alloh, kemudian ridho dengan sebab itu serta menerima perintah-Nya, maka Alloh akan memberi hidayah pada hatinya, sehingga dia bisa tenang dan tidak ribut ketika datang musibah-musibah –sebagaimana yang terjadi pada orang-orang yang hatinya tidak Alloh beri petunjuk-. Bahkan Alloh akan mengkaruniakan kekokohan ketika datangnya musibah dan kemampuan untuk melakukan tuntutan-tuntutan kesabaran. Walhasil dia mendapatkan balasan yang disegerakan serta pahala yang ditabung Alloh baginya pada hari pembalasan, sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan disempurnakan pahalanya tanpa batas”
Diketahui dari hal ini bahwasanya barangsiapa yang tidak beriman dengan Alloh ketika datangnya musibah, dari sisi dia tidak memperhatikan ketetapan dan takdir Alloh namun justru terfokus melihat semata-mata sebab, maka orang ini tidak akan ditolong dan Alloh akan membebankan perkara tersebut pada dirinya sendiri. Apabila seorang hamba membebankan perkara pada dirinya, maka yang ada pada jwa itu hanyalah keluh kesah dan kegelisahan yang merupakan azab yang disegerakan bagi hamba tersebut sebelum datangnya azab di akhirat atas kewajiban sabar yang ditinggalkannya” Selesai penukilan
Imam Ibnu rojab Rahimahulloh mengatakan: Alloh ‘Azza wa jalla berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
“Tidak ada suatu musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Alloh. Barangsiapa yang beriman kepada Aloh niscaya Alloh akan memberikan petunjuk ke hatinya” (QS At-Taghobun 11)
‘Alqomah mengatakan: “Yaitu musibah yang menimpa seorang lelaki, kemudian dia mengetahui bahwasanya musibah tersebut datangnya dari Alloh sehingga dia menerimanya dan ridho dengannya”. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits Anas dari nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau mengatakan:
إن الله إذا أحب قوما ابتلاهم فمن رضي فله الرضا ومن سخط فله السخط
“Sesungguhnya Alloh jika mencintai suatu kaum, maka Alloh akan menimpakan cobaan baginya. Barangsiapa yang ridho (menerimanya) maka baginya keridhoan, dan barangsiapa yang marah (menerimanya) maka baginya kemarahan”.[1]
Dahulu dalamnya do’anya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
أسألك الرضا بعد القضاء
“Aku meminta kepada-Mu keridhoan setelah (datangnya) takdir”[2]
Yang mendorong seorang mukmin untuk ridho kepada takdir adalah untuk mengongokohkan keimanannya, semakna dengan perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
لا يقضي الله للمؤمن من قضاء إلا كان خيرا له إن أصابته سراء شكر وكان خيرا له وإن أصابته ضراء صبر وكان خيرا له وليس ذلك إلا للمؤمن
“Tidaklah Alloh membuat keputusan bagi seorang mukmin berupa takdir, kecuali itu adalah kebaikan baginya. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia bersyukur dan itu adalah kebaikan baginya. apabila dia tertimpa kesusahan maka dia bersabar dan itulah adalah kebaikan baginya. Tidaklah hal itu berlangsung kecuali bagi orang-orang beriman” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 194]
Orang yang ridho dengan musibah, merasa bahwa ada atau tidaknya musibah, sama saja. Keberadaannya tidak menyusahkannya, dan dia tidak merasa terbebani dengan beban yang berat. Namun demikian, bukan termasuk syarat ridho kalau seseorang tidak merasakan sakitnya.
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Bukanlah menjadi syarat ridho, seseorang tidak merasakan sakit atau sesuatu yang disenanginya. Akan tetapi yang menjadi syarat adalah, dia tidak memprotes terhadap hukum yang telah ditetapkan dan tidak marah. Karena itulah, sebagian orang merasa ganjil adanya keridhoan disertai dengan ketidaksenangan sehingga mereka mencela hal ini. Mereka mengatakan: “Perkara ini terhalang oleh tabiat. Yang ada hanyalah kesabaran, kalau tidak bagaimana bisa terkumpul keridhoan dan ketidaksenangan, sementara keduanya  saling berlawanan”. Yang benar, tidak ada benturan antara keduanya, bahwasanya adanya rasa sakit dan ketidaksenangan di dalam hati tidak meniadakan ridho. Seperti ridhonya orang sakit untuk meminum obat, ridhonya orang yang puasa pada hari yang sangat panas, yang dia memperoleh sakit berupa lapar dan haus”. [Madarijus Salikin 2/175]
Bab Tiga Belas: PRASANGKA BAIK KEPADA ALLOH
Diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad bahwasanya Hayyan Abu An-Nadhor bersama Watsilah bin Al-Asqo’ mengunjungi Abu Al-Aswad Al-Jarsy di masa sakit –yang menyebabkan kematiannya-. Maka Hayyan mengucapkan salam kemudian duduk. (Hayyan) berkata: “Maka Abu Al-Aswad memegang tangan kanan Watsilah dan mengusapkan ke kedua mata dan tangannya, karena tangan kanan Watsilah tersebut pernah membai’at Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. maka Watsilah berkata kepadanya: “Aku ingin menanyakan satu perkara kepadamu”. Abu Al-Aswad berkata: “Apa itu?”. Watsilah berkata: “Bagaimana prasangkamu terhadap Robbmu?”. Dia menjawab dengan isyarat kepalanya, maksudnya: “Baik”. Maka Watsilah berkata: “Bergembiralah karena sesungguhnya aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاء
“Alloh ‘Azza wa Jalla mengatakan: Aku berada pada prasangka hamba-Ku tentang-Ku. Maka berprasangkalah dia tentang-Ku sesukanya”. (Dishohihkan Syaikh Muqbil dan Syaikh Al-Albany Rahimahumalloh)
Al-Munawy Rahimahulloh menukilkan perkataan Al-Halimy tentang hadist:
وإذا أتاه الأمر الذي يكرهه قال الحمد لله على كل حال
“Apabila datang kepada (Rosululloh) perkara yang dibencinya, beliau berkata: Segala puji hanya bagi Alloh, atas setiap keadaan”.
Ini dibangun atas prasangka baik kepada Alloh Ta’ala, bahwasanya Dia tidak akan datang dengan sesuatu yang tidak disenangi, kecuali untuk kebaikan  yang telah Dia ketahui dan inginkan bagi hamba-Nya”. [Faidhul Qodir 5/112]
Jangan sampai seorang mukmin -apabila ditimpa musibah- menyangka bahwa Alloh membencinya. Malah bisa saja musibah tersebut menjadi tanda kecintaan Alloh bagi si hamba (dan telah lewat penyebutan beberapa faidah dari musibah hamba yang beriman), bahkan walau penyakitnya bertambah parah, atau dia merasa bahwa dia mendapat cobaan yanq paling parah dibanding selainnya. Karena besarnya ganjaran, sesuai kadar kelelahan. Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata ke ‘Aisyah:
إن لك من الأجر على قدر نصبك.
“Sesungguhnya bagimu balasan sesuai kadar kelelahanmu”.
Maka bersungguh-sungguhlah untuk mengokohkan kesabaran atas penyakit, di dalam dirimu, kemudian ridholah dengannya, dan berupayalah untuk sampai menjadi orang yang bersyukur atasnya.
Syaikh Al ‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Namun kapan seseorang dikatakan berprasangka baik kepada Alloh Azza wa Jalla?”. Hal itu terjadi apabila dia melakukan perkara yang mendatangkan keutamaan Alloh dan rahmat-Nya. Maka dia mengerjakan amalan-amalan sholih dan berprasangka baik bahwasanya Alloh akan menerima amalannya. Adapun jika dia berprasangka baik namun tidak beramal, maka ini dia hanya berangan-angan kepada Alloh. Barangsiapa yang mengikuti nafsunya dan sekedar berangan-angan kepada Alloh, maka dia adalah orang yang lemah”. [Syarah Riyadhus Sholihin 501]
Abul ‘Ala Al-Mubarokfury Rahimahulloh mengatakan: “Imam Al-Qurthuby di Al-Mufhim mengatakan: “Semestinya bagi seseorang untuk bersungguh-sungguh mengerjakan apa yang diwajibkan kepadanya dalam keadaan yakin bahwa Alloh bakal menerimanya dan mengampuninya. Karena Dia telah menjanjikan pengampunan tersebut dan tidak akan menyelisinya janji-Nya. Apabila dia menyangka bahwa Alloh tidak akan menerimanya dan amalan tersebut tidak akan bermanfaat baginya, maka ini adalah putus asa dari rahmat Alloh dan ini termasuk ke dalam dosa besar. Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tersebut maka dia akan dibebankan dengan persangkaannya” [Tuhfatul Ahwazy 7/54]
Bab Empat Belas: MEMINTA TOLONG KEPADA ALLOH DENGAN DO’A
Seandainya ada yang mengatakan: Kalau memang segala sesuatu sudah ditakdirkan, terus apa gunanya do’a?
Dikatakan kepadanya: Paling tidak anda dapat pahala. Karena do’a termasuk amalan sholih yang dicintai Alloh. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
ليس شيء أكرم على الله تعالى من الدعاء
“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Alloh daripada do’a”. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Syaikh Al-Albany).
Juga pada hadits Nu’man bin Basyir Rodhiyallohu ‘Anhu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الدعاء هو العبادة
“Do’a adalah ibadah”. kemudian beliau membaca:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Robb kalian berkata: “Berdo’alah kalian maka Aku akan mengabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang sombong dari mengibadahi-Ku, mereka akan masuk kedalam neraka dalam keadaan hina” (QS Ghofir 60) (HR Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan An-Nasa’iy, dishohihkan Syaikh Al-Albany rahimahulloh)
Kemudian, disamping Alloh menakdirkan sesuatu, Alloh juga mentakdirkan sebabnya. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
لا يرد القضاء إلا الدعاء
“Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali do’a”. (HR Tirmidzi dihasankan Syaikh Al-Albany)
Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Hafizhohulloh mengatakan: “Bukan maknanya bahwa yang telah tertulis (di Lauhul Mahfuzh) bisa diubah dan diganti, namun maksudnya adalah bahwasanya Alloh ‘Azza wa Jalla mentakdirkan sebab dan akibat. Alloh mentakdirkan bahwa sesuatu terwujud karena terwujudnya yang lain. Maka Alloh mentakdirkan bahwasanya diantara sebab menolak dan selamat dari musibah, adalah do’a”. [Syarah Sunan Abu Daud 16/104]
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Dialah yang menciptakan sebab dan akibat, sementara do’a termasuk sebab yang telah ditetapkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala”. [Maj’mu’ul Fatawa 1/131]
Al-‘Allamah Al-‘Utsaimin rahimahulloh mengatakan: “Do’a itu tidak bisa menolak takdir. Akan tetapi diantara pengaruh do’a, apabila engkau berdo’a kepada Alloh maka bahaya darimu akan terangkat. Hal ini karena perkara tersebut telah tertulis di Lauhul Mahfuzh bahwasanya Alloh akan mengangkat bahaya tersebut darimu dengan sebab do’amu.  Semuanya telah tertulis”. [Syarh Riyadish Sholihin 1482]
Semestinya orang yang sakit bersemangat untuk menjalankan ibadah yang mulia ini, disebabkan manfaat yang dapat diperolehnya di dunia dan akhirat. Siapakah yang akan mengangkat penyakit itu kecuali Dia? Maka hanya kepada-Nyalah kita meminta.
Ibnu Katsir Rahimahulloh mengatakan, dalam tafsir perkataan Alloh Ta’ala:
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ
“Siapakah yang akan mengabulkan orang yang dalam kesempitan jika berdo’a kepadanya” (QS An-Naml 62)
“Maksudnya, kepada siapakah orang yang terkena musibah bergantung kecuali kepada-Nya. Dan siapa yang melenyapkan musibah kecuali Dia”. Selesai penukilan
Diantara sebab dikabulkannya do’a dalam kesempitan adalah memperbanyak do’a kepada Alloh ketika lapang. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من سرّه أن يستجيب الله تعالى له عند الشدائد والكرب فليكثر الدعاء في الرخاء
“Barangsiapa yang menyenangkannya kalau do’anya dikabulkan oleh Alloh Ta’ala di kala sempit dan susah, maka perbanyaklah do’anya di kala lapang” (HR At-Tirmidzy, dihasankan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
Berikut diantara do’a yang dibaca untuk perlindungan dari penyakit, dan ketika datangnya, yang menunjukkan sikap senantiasa bersama Alloh bagi pembacanya dan ciri bagi orang-orang tidak lalai dalam mengingat-Nya, baik ketika lapang maupun ketika musibah menghentaknya. (Adapun do’a-do’a untuk meminta kesembuhan akan datang penyebutannya insya Alloh).
Meminta perlindungan dari penyakit dan musibah
Rosululloh Shollallohu  ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اللَهَّمَ إِنِّي أَعٌوْذُ بِكَ مِنْ البَرَصِ والجُنُوْنِ وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيًئ الأَسْقَامِ
“Ya Alloh, aku berlindung kepada-Mu, dari penyakit belang, gila, kusta dan dari kejelekan penyakit”. (HR Abu Daud dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu. Dishohihkan Syaikh Al-ِAlbany dan Syaikh Muqbil Rahimahumalloh)
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
مَنْ قَالَ إِذَا أَمْسَى ثَلَاثَ مَرَّاتٍ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ تَضُرَّهُ حُمَةٌ تِلْكَ اللَّيْلَةَ
“Barangsiapa ketika petang membaca tiga kali: “A’udzu bikalimaatillahit taammaat min syarri ma kholaq (aku berlindung dengan kata-kata Alloh yang sempurna dari kejelekan makhluk-Nya)”, maka orang itu tidak akan terkena demam pada malam tersebut”.
Suhail bin Abi Sholih –salah seorang perowi- berkata: “Dahulu keluarga kami telah mempelajarinya dan mereka mengucapkannya. Suatu ketika bocah perempuan dari mereka disengat namun dia tidak merasakan sakit apa-apa”. (HR Ahmad dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Dalam riwayat lain salah seorang shahabat mengadukan bahwa sakit yang diadapatkan karena disengat kalajengking di malamnya harinya, maka beliau mengatakan: “Seandainya ketika petang engkau membaca “A’udzu bikalimaatillahit taammaat min syarri ma kholaq” maka itu tidak akan membahayakanmu” (HR Muslim)
Abu Zinad Rahimahulloh meriwayatkan dari Aban bin ‘Utsman dari bapaknya (‘Utsman bin Affan Rodhiyallohu ‘Anhu) bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَقُولُ فِي صَبَاحِ كُلِّ يَوْمٍ وَمَسَاءِ كُلِّ لَيْلَةٍ بِسْمِ اللهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَيَضُرَّهُ شَيْءٌ
“Tidak ada seorang hambapun yang di pagi setiap harinya dan petang setiap malamnya, mengucapkan: “Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihi syai’un fil ardhi wa laa fis sama’ wa huwas samii’ul ‘aliim (Dengan nama Alloh yang tidak ada sesuatu di bumi dan di langit yang bisa membahayakan bersama nama-Nya. Dialah As-Samii’ (Dzat yang maha mendengar) dan Al-‘aliim (Dzat yang maha mengetahui))”, (dia membacanya) sebanyak tiga kali, kemudian sesuatu bisa membahayakannya”.
Dahulu Aban menderita sejenis penyakit kelumpuhan, maka lelaki tersebut (Abu Zinad) melihat kepadanya. Lantas Aban berkata: “Kenapa engkau melihat kepadaku?.  Adapun hadits, maka sebagaimana yang aku sampaikan kepadamu. Akan tetapi ketika itu aku tidak membacanya, maka terjadilah apa yang Alloh takdirkan kepadaku” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
Yang dibaca ketika datangnya musibah:
Rosululloh Shollallohu  ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وإن أصابك شيء فلا تقل لو أني فعلت كان كذا وكذا. ولكن قل: قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
“Apabila sesuatu menimpamu, maka jangan katakan: “Seandainya aku lakukan maka bakal begini dan begini”. Akan tetapi katakan: “Qodrullohi wa Sya’a Fa’al (ini adalah takdir Alloh (Apa yang Dia kehendaki, maka Dia kerjakan)” (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Rosululloh Shollallohu  ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ما من عبد تصيبه مصيبة فيقول إِنَّا لِله وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Tidak seorang hambapun yang tertimpa musibah, kemudian dia mengatakan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’uun (sesungguhnya kita adalah milik Alloh dan sungguh kepada-Nyalah kita kembali). Allohumma’ jurni fii mushibaty wakhlif li khairon minha (Yaa Alloh berilah aku pahala pada musibahku dan gantilah bagiku dengan yang lebih baik darinya)”, kecuali Alloh akan memberinya pahala pada musibahnya dan menggantikan baginya dengan yang lebih baih darinya”. (HR Muslim dari Ummu Salamah Rodhiyallohu ‘Anha)
Imam Al-Qurthuby Rahimahulloh mengatakan: “Pada firman Alloh Ta’ala (QS Al-Baqoroh 156):
قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Alloh Ta’ala menjadikan kalimat ini sebagai tempat bergantung bagi orang-orang yang terkena musibah, serta penjagaan bagi orang-orang yang diuji, dikarenakan kandungan makna yang penuh berkah. Karena perkataan-Nya:
إِنَّا لِلهِ
“Sesungguhnya kita adalah milik Alloh”. mengandung makna tauhid, penetapan penghambaan dan kepemilikan Alloh. Sementara perkataan-Nya:
وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“dan sungguh kepada-Nyalah kita kembali”. mengandung maka penetapan akan kebinasaan jiwa-jiwa kita dan pembangkitan dari kubur-kubur kita, serta yakin akan kembalinya semua perkara kepada-Nya, sebagaimana keyakinan bahwa semuanya adalah miliknya. Sa’id bin Jubair Rahimahullohu Ta’ala mengatakan: “Kalimat ini tidak diberikan kepada seorangpun nabi sebelum Nabi kita. Seandainya Ya’qub mengetahuinya, maka dia tidak akan mengatakan:
يَا أَسَفَى عَلَى يُوسُف
“Aduhai duka citaku terhadap Yusuf” (QS Yusuf 84). [Al-Jami’ fi Ahkamil Qur’an 2/176]
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Kalimat ini merupakan obat yang paling ampuh untuk orang yang ditimpa musibah, dan yang paling bermanfaat baginya di dunia dan akhirat. Karena kalimat tersebut mengandung dua pokok yang mulia, apabila seorang hamba bisa betul-betul memahaminya, maka dia akan lupa dengan musibahnya.
Pokok yang pertama: Bahwasanya seorang hamba, keluarga dan hartanya adalah milik Alloh ‘Azza wa Jalla secara hakikat. Alloh menjadikannya bagi hamba sebagai pinjaman, apabila Dia mengambilnya dari hamba maka itu seperti pemilik pinjaman yang mengambil barangnya dari peminjamnya –sampai perkataan beliau-
Pokok yang kedua: Bahwasanya kembalinya seorang hamba adalah kepada Alloh tuannya yang haq. Seorang hamba mesti meninggalkan dunia dan datang menghadap Robbnya sendiri sebagaimana dia diciptakan pertama kali tanpa keluarga, harta dan kerabat. Akan tetapi dia akan menghadap dengan kebaikan-kebaikan dan kejelekan-kejelekan. Apabila seperti inilah awal, pemeliharaan dan akhir seorang hamba, maka bagaimana bisa dia bergembira ria dengan sesuatu yang ada dan berputus asa atas sesuatu yang luput. Maka memikirkan awal dan akhir keadaan (hamba) merupakan obat yang paling utama untuk mengobati penyakit ini. Diantara obatnya juga, seorang hamba menyadari bahwa apa yang menimpanya tak bakan bisa dielakkannya dan apa yang dielakkan darinya tak mungkin menimpanya”. [Zaadul Ma’ad 4/189-190]
Bab Lima Belas: SYUKUR
Apabila seseorang bersabar dan mengharapkan pahala, kemudian menghinakan diri kepada Alloh untuk kesembuhan penyakitnya, bersamaan dengan itu, dia menempuh sebab-sebab syar’i, maka cobaan-cobaan yang telah ditakdirkan Alloh Ta’ala  merupakan sebuah kebaikan bagi seorang mukmin, menghapuskan kejelekan-kejelekan, dan terangkat derajatnya. Dalam hadits yang shohih, bahwasanya seorang mukmin akan mencapai derajat yang tinggi di surga yang tidak dicapai dengan banyak amalan, hanyasaja hal tersebut dicapai dengan musibah-musibah yang menimpanya dan sikap nya yang mengharapkan pahala. Apabila ridho dengan musibah maka ridho dengan musibah maka pahalanya lebih besar. Dan akan lebih besar lagi jika dia menganggap musibah sebagai nikmat sehingga bersyukur kepada Alloh karenanya.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Apapun yang menimpa seseorang, apabila menyenangkannya maka itu adalah nikmat yang nyata. Namun apabila menyakitkannya, maka itu juga termasuk nikmat, karena dengannya dosa-dosanya dihapus, dan diberi pahala atas kesabarannya. Juga dari sisi terdapatnya hikmah dan rahmat yang tidak diketahui seorang hamba.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
“Boleh jadi kalian tidak menyenangi sesuatu padahal itu baik bagi kalian, dan oleh jadi kalian menyenangi sesuatu padahal itu tidak baik bagi kalian”. (QS Al-Baqoroh 216)
Kedua nikmat ini, untuk bersyukur butuh kepada kesabaran. Dalam kondisi kesusahan, maka perkaranya jelas. Adapun dalam menghadapi nikmat kelapangan, maka butuk kepada kesabaran dalam ketaatan kepada Alloh dalam kondidi tersebut, sebagaimana sebagian salaf mengatakan: “Kita diuji dengan kesusahan maka kita bisa bersabar, sementara kita diuji dengan kelapangan kita tidak mampu bersabar”. Oleh sebab itulah, kebanyakan orang yang masuk surga adalah orang-orang miskin.
Akan tetapi karena pada kelapangan terdapat kelezatan dan pada kesusahan terdapat rasa sakit maka penyebutan syukur masyhur pada kondisi lapang sementara penyebutan sabar masyhur pada kondisi susah. Alloh Ta’ala berfirman:
وَلَئِنْ أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْه
“Jika Kami berikan rahmat Kami kepada manusia, kemudian rahmat itu Kami cabut kembali
sampai perkataan-Nya:
إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
“Kecuali orang-orang yang sabar dan mengerjakan amalan-amalan kebaikan” (QS Hud 9-11) [3]
Disamping itu, orang-orang yang dalam kelapangan lebih butuh kepada kesabaran dan orang-orang yang ditimpa kesusahan lebih butuh kepada kesabaran, karena syukur di kala lapang dan sabar di kala susah hukumnya wajib. Sementara sabar ketika lapang bisa saja hukumnya mustahab (sunat) dan syukur ketika susah bisa juga hukumnya mustahab. Perpaduan antara rasa syukur dan sabar terjadi ketika jiwa merasakan sakit sekaligus menikmatinya, dan ini adalah kondisi yang berat bagi kebanyakan orang  -penjelasannya telah lewat di tempat lain-.
Maksudnya disini adalah, bahwasanya Alloh Ta’ala memberikan nikmat dengan ini semua, walaupun pada permulaannya tidak terlihat oleh kebanyakan manusia. Sesungguhnya Alloh mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui”. [Majmu’ul Fatawa 8/209-210]
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Dahulu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam apabila melihat sesuatu yang disenanginya, maka beliau mengatakan:
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات
“Segala puji bagi Alloh yang dengan nikmat-Nya perkara-perkara baik menjadi sempurna”. Sementara jika beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka beliau mengatakan:
الحَمْدُ لِلِه عَلَى كُلِ حَالٍ.
Segala puji bagi Alloh, bagaimanapun keadaan” (HR Ibnu Majah, dihasankan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh).
Al-Munawi Rahimahulloh mengatakan: “Yaitu dalam berbagai kondisi yang telah Alloh takdirkan. Karena keadaan-keadaan seorang mukmin, seluruhnya adalah kebaikan. Ketetapan Alloh berupa kelapangan dan kesusahan adalah rahmat dan nikmat, seandainya tabir (hikmah) dibuka niscaya seseorang akan bergembira dengan kesusahan lebih daripada kegembiraannya karena kelapangan. Alloh lebih tahu dengan apa-apa yang baik bagi hamba-Nya”. [Faidhul Qodir 1/472]
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Dahulu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam jika melihat apa-apa yang tidak disukainya maka beliau mengatakan:
الحمد لله على كل حال
Beliau memuji Alloh karena Alloh memberinya pahala atas musibah tersebut lebih banyak dari apa yang menimpanya. Karena itu disebutkan dari sebagian orang-orang yang gemar beribadah ketika jarinya terluka maka dia memuji Alloh atas hal tersebut. Maka orang-orang berkata kepadanya: “Bagaimana bisa engkau memuji Alloh sementara jarimu telah terkena apa yang menimpanya”. Maka dia menjawab: “Sungguh manisnya pahala membuatku melupakan pahitnya kesabaran” wallohul Muwaffiq”. [Syarh Riyadish Sholihin 29]
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “… inilah orang yang bersyukur yang pertama kali diseru untuk ke surga. Karena bersyukur atas perkara-perkara yang dibenci lebih dahsyat dan berat daripada bersyukur atas sesuatu yang disenangi. Karena itulah derajatnya lebih di atas dari yang satu (yang bersyukur ketika sesuatu yang menyenangkan). Hal tersebut hanyalah terdapat pada salah satu dari dua orang lelaki:
(Pertama) seorang lelaki yang tidak membeda-bedakan kondisi, bahkan sama saja baginya antara perkara yang tidak disenangi dengan perkara yang disenangi, sehingga dia bersyukur sebagai bentuk keridhoan atas apa yang menimpanya. Orang ini (asalnya) telah berada dalam posisi ridho.
Lelaki kedua, adalah orang yang membedakan keadaan, dia tidak menyukai sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak meridhoi kedatangannya. Namun apabila perkara yang tidak disukai tersebut datang, dia tetap bersyukur kepada Alloh Ta’ala. Hal ini seperti orang yang menahan amarahnya atas apa yang menimpanya, menutup dan menjaga diri dari mengeluhkan penyakitnya disebabkan adab dan jalan ilmu. Karena adab dan ilmu menyuruh untuk bersyukur kepada Alloh di kala lapang dan susah. Maka dia menempuh rasa syukur ini dengan sebab ilmu. Karena dengan kondisi ini dia bisa menjadi orang yang bersyukur kapada Alloh dan orang yang ridho dengan ketetapan-Nya, sebagaimana keadaan lelaki yang sebelumnya, namun yang sebelumnya lebih utama darinya.
Lelaki (pertama) yang bersyukur lebih dahulu dipanggil untuk ke surga karena dalam menghadapi perkara-perkara yang tidak disenangi –yang kebanyakan manusia menghadapinya dengan keluh kesah dan marah, kemudian di atas itu orang-orang menghadapinya dengan sabar, kemudian orang-orang tertentu menghadapinya dengan ridho- justru dia menghadapinya dengan sesuatu yang lebih tinggi dari itu semua yaitu bersyukur. Karena itulah dia lebih mendahului mereka masuk ke dalam surga dan orang pertama yang dipanggil kesana”. [Madarijus Salikin 1/254]
Bab Enam Belas: PELAJARAN DAN TELADAN
Mengambil pelajaran dan teladan dari orang-orang sholih adalah suatu perkara yang bisa mendorong seseorang untuk mampu memperbaiki diri, berusaha menghadapi musibah dengan dengan langkah-langkah yang syar’i. Hal ini dikarenakan musibah yang mereka alami lebih berat dari yang kita rasakan –telah lewat penyebutannya-. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إذا أصيب أحدكم بمصيبة فليذكر مصيبته بي فإنها أعظم المصائب
“Apabila engkau ditimpa musibah, maka lihatlah kepada musibah yang menimpaku, karena itu musibahku adalah sebesar-besarnya musibah”. (Hadist dishohihkan dengan penguat-penguatnya oleh Syaikh Al-Albany)
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Aku tidak pernah melihat seseorang yang sangat berat sakitnya selain Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam” (HR Bukhory-Muslim).
Bersamaan dengan itu beliau tetap bersemangat dalam mengarahkan ummatnya baik dalam mengokohkan akidah mereka maupun amalan-amalan mereka dalam perkara akhirat dan dunia mereka.
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan bahwa pada sakit yang menyebabkan kematiannya, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
لَعَنَ اللهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا
“Semoga Alloh melaknat Yahudi dan Nashoro, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid”. (HR Bukhory-Muslim)
Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhuma mengisahkan: “Pada sakit yang menyebabkan kematiannya, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam keluar (ke mesjid), beliau memakai rida’ dari sarung yang besar pada kedua pundaknya, dan memakai imamah yang berminyak (karena bekas minyak wangi atau minyak rambut), sampai beliau duduk di mimbar, menyanjung dan memuji Alloh, kemudian beliau berkata:
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ النَّاسَ يَكْثُرُونَ وَيَقِلُّ الأَنْصَارُ، حَتَّى يَكُونُوا فِي النَّاسِ بِمَنْزِلَةِ المِلْحِ فِي الطَّعَامِ، فَمَنْ وَلِيَ مِنْكُمْ شَيْئًا يَضُرُّ فِيهِ قَوْمًا وَيَنْفَعُ فِيهِ آخَرِينَ، فَلْيَقْبَلْ مِنْ مُحْسِنِهِمْ وَيَتَجَاوَزْ عَنْ مُسِيئِهِمْ
“Amma ba’du, sesungguhnya orang-orang akan semakin banyak, sementara kaum Anshor akan semakin sedikit, sampai-sampai mereka di tengah manusia seperti garam di dalam makanan. Barangsiapa diantara kalian yang memegang suatu perkara, merugikan suatu kaum dan memberikan manfaat bagi yang lain, maka terimalah kebaikan dari orang-orang baik mereka dan maafkanlah orang-orang jelek mereka (selain dari masalah hudud/ hukuman syar’i)”.
Ibnu ‘Abbas berkata: “Itu adalah majelis terakhir yang dihadiri Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam”. (HR Bukhory-Muslim)
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Penyakit Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam semakin berat, (ketika itu) beliau berkata: “Apakah orang-orang telah mengerjakan sholat (jama’ah)?”. Kami menjawab: “Tidak, mereka sedang menunggumu”. Beliau berkata: “Letakkan air untukku di bejana”. Kami melakukannya, maka beliau pun mandi. Lantas beliau berusaha bangkit dengan susah payah, lalu pingsan. Kemudian ketika sadar berkata: “Apakah orang-orang telah mengerjakan sholat (jama’ah)?”. Kami menjawab: “Tidak, mereka sedang menunggumu wahai Rosululloh”. Beliau berkata: “Letakkan air untukku di bejana”. Kemudian beliau duduk dan mandi. Lantas beliau berusaha bangkit dengan susah payah, lalu pingsan. Kemudian ketika sadar berkata: “Apakah orang-orang telah mengerjakan sholat (jama’ah)?”. Kami menjawab: “Tidak, mereka sedang menunggumu wahai Rosululloh”.
Orang-orang berdiam di masjid menunggu Nabi Shollallohu Alaihi wa Sallam untuk melakukan sholat isya. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengirim utusan kepada Abu Bakr dia sholat dengan orang-orang sebagai imam. Utusan itupu mendatangi Abu Bakr dan berkata: “Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyuruhmu untuk sholat bersama orang-orang”. Maka Abu Bakr –dan dia adalah orang yang lembut perasaannya- berkata: “Wahai ‘Umar sholatlah kamu bersama orang-orang”. ‘Umar menjawab: “Kamu lebih berhak untuk itu”. Maka sholatlah Abu Bakr (sebagai imam) pada hari-hari (sakitnya Rosululloh) tersebut.
Kemudian Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam merasa ringan, maka beliau keluar dipapah dua orang lelaki -salah satunya Al-‘Abbas- untuk melakukan sholat zhuhur, semantara ketika itu Abu Bakr sedang sholat (mengimami) orang-orang.
Ketika melihat beliau, Abu Bakr ingin mundur. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengisyaratkan agar dia tidak mundur. Lantas beliau berkata (kepada dua orang yang memapahnya): “Dudukkan aku di sampingnya”. Maka mereka pun mendudukkan beliau di samping Abu Bakr. Maka Abu Bakr sholat mengikuti sholat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, serta orang-orang sholat mengikuti sholat Abu Bakr sementara Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sholat dalam keadaan duduk” (HR Bukhory-Muslim)
Demikian juga dengan para shohabat beliau Rodhiyallohu ‘Anhum mereka adalah orang yang berilmu tentang hakikat musibah, mereka meyakini dengan pasti manfaat di balik itu dan tidak mau kehilangannya.
Abu Burdah bin Abi Musa Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Abu Musa menderita sakit yang parah. Sampai dia jatuh pingsan dan kepalanya di pangkuan istrinya. Dia tidak sanggup menanggapi perkataan istrinya sedikitpun. Ketika sadar, dia berkata: “Aku berlepas diri dari perkara yang Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berlepas diri dari orang yang menjerit-jerit ketika musibah, orang yang menjambak rambutnya ketika musibah, dan orang yang merobek pakaiannya ketika musibah”. (HR Bukhory-Muslim)
Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Tidak ada penyakit yang menimpaku, yang lebih aku senangi daripada demam. Karena dia masuk ke seluruh anggota tubuhku. Dan Alloh memberi setiap bagian tubuh jatah pahalanya”. [Atsar ini dishohihkan Ibnu Hajar Rahimahulloh di Fathul Bari].
Abu Darda’ Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Tiga perkara yang aku cintai sementara manusia membencinya; kemiskinan, sakit dan kematian. Aku mencintai kemiskinan karena  (menimbulkan) rasa tawadhu’ kepada Robb-ku, aku mencintai kematian karenan kerinduan kepada Robb-ku, aku mencintai sakit karena (merupakan) penghapus kesalahan-kesalahanku”. [Siyar A’lamin Nubala’ biographi Abu Darda’]
Demikian orang setelah mereka dari kalangan tabi’in, mereka adalah orang-orang yang cerdas, memahami besarnya hikmah Alloh di balik itu semua.
Hisyam bin ‘Urwah Rahimahulloh bahwa ayahnya (‘Urwah bin Az-Zubair Rahimahulloh), pada kakinya terdapat penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Maka dikatakan kepadanya: “Maukah engkau jika kami panggilkan tabib untukmu?”. Dia menjawab: “(Silahkan) Jika kalian ingin”.
Orang-orang berkata: “Kami beri kamu minuman yang bisa menghilangkan kesadaranmu?”. Dia berkata (kepada tabib): “Teruskan saja pekerjaanmu. Aku tidak pernah menyangka ada makhluk yang mau meminum sesuatu yang bisa menghilangkan akalnya sehingga dia tidak mengenal (Robb)nya”. Maka diletakkanlah gergaji di atas lutut kirinya dan kami tidak mendengar suara darinya. Ketika tabib telah memotongnya, dia (‘Urwah) berkata: “Sungguh jika Engkau telah mengambil Engkau juga menyisakan, jika Engkau memberi cobaan Engkau juga memaafkan” [lihat: Siyar A’lamin Nubala’ 4/430, At-Tarikh - Ibnu ‘Asakir 11/286]
Dalam riwayat lain, Hisyam mengatakan bahwa ayahnya pergi menemui Al-Walid bin ‘Abdil Malik, ketika di Wadi Al-Quro dia mendapatkan sesuatu di kakinya, kemudian terlihat luka dan rasa sakitnya semakin meningkat. Akhirnya dia menemui Al-Walid dan dia di atas tandu. Al-Walid berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah, potong saja (kakimu) itu”. Dia menjawab: “Silahkan”. Maka Al-Walid memanggilkan tabib untuknya. Tabib berkata: “Minumlah obat tidur”. Dia tidak melakukannya, maka dipotonglah kakinya dari pertengahan betis, sementara dia tidak menambah kata “hiss, hiss” (suara ketika merasakan sakit). Al-Walid berkata: “Aku tidak pernah melihat orang tua yang lebih sabar darinya”.
Pada perjalanan tersebut, ‘Urwah juga ditimpa musibah (dengan meninggalnya) anaknya Muhammad ditendang oleh bighol[4], pada saat itu ‘Urwah tidak berkomentar apa-apa. Sesampainya di Wadi Al-Quro (setelah kakinya terkena –pen) dia berkata:
لَقَدْ لَقِيْنَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَباً
“Sungguh kita telah mendapatkan rasa letih dari perjalanan kita ini” (Al-Kahfi 62)
Beliau berkata: Yaa Alloh, dulu memiliki tujuh orang anak kemudian Engkau ambil satu dan Engkau sisakan enam. Dan dulu aku memiliki empat ujung (kaki dan tangan) kemudian Engkau ambil salah satunya dan Engkau sisakan tiga. Sungguh jika Engkau memberi cobaan Engkau juga memaafkan, jika Engkau telah mengambil Engkau juga menyisakan,”. [lihat: Siyar A’lamin Nubala’ 4/430-431, At-Tarikh - Ibnu ‘Asakir 11/287]
Bakr bin Muhammad Rahimahuloh mengatakan: “Dahulu Ibnu ‘Aun ketika sakitnya, lebih sabar dari singa. Yakni aku tidak pernah melihatnya mengeluhkan apapun dari sakitnya sampai dia meninggal” [Ath-Thobaqotul Kubro 7/199, karya Ibnu Sa’ad Al-Baghdady (wafat 230 H)]
‘Abdulloh bin Ja’far Rahimahulloh mengatakan: “Dahulu Robi’ah apabila dia dalam keadaan sakit, maka dia duduk di rumahnya meletakkan hidangan bagi orang-orang yang datang mengunjunginya. Hidangan tersebut terus tersedia, setiap kali ada kaum yang datang mengunjunginya, Robi’ah berkata: “Silahkan makan … Silahkan makan”. Dia terus berbuat demikian sampai dia mampu untuk keluar rumah dan itu dengan susah payah” [Ath-Thobaqotul Kubro –Mutammimut Tabi’in- 322]
Masih banyak kisah-kisah dan nasehat orang sholeh dalam menghadapi penyakit yang menimpa, yang mungkin jika dikumpulkan bisa menjadi tulisan tersendiri. Kita cukupkan dengan kadar ini dengan perkataan Syufyan Ats-Tsaury Rahimahulloh: “Bukanlah seorang faqih (yang memiliki pemahaman tentang agama ini) orang yang tidak menghitung bala sebagai nikmat, dan kelapangan sebagai musibah”. [Siyar A’lamin Nubala’ biographi Imam Ats-Tsaury] Wallohul Musta’an
Bab Tujuh Belas: MENJENGUK ORANG SAKIT
Menjenguk orang yang sakit adalah perkara mulia yang Alloh syari’atkan kepada hambanya. Dengannyalah ukhuwwah Islamiyyah yang terpuji menjadi sempurna, dan dengannya pula tercapai manfat bagi kedua belah pihak. Alloh telah menjanjikan balasan yang mulia bagi orang yang berkunjung, sebagaimana di hadits dari Tsauban Rodhiyallohu ‘Anhu bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ عَادَ مَرِيضًا، لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِع
“Barangsiapa yang mengunjungi orang yang sakit, maka dia senantiasa berada di(antara) buah-buah surga yang dipetik, sampai dia kembali” (HR Muslim)
Ibnu Hajar Rahimahulloh mengatakan: “Beliau menyerupakan pahala yang bakal dihimpun oleh orang sedang mengunjungi orang yang sakit dengan apa yang bisa idhimpun oleh orang yang sedang memetik buah. Dikatakan juga maknanya adalah jalan, bahwasanya orang yang berkunjung tengah berjalan di atas jalan yang mengantarkannya kepada surga. Tafsir yang pertama lebih shohih” [Fathul Bari 10/113]
Beliau juga menyuruh[5] para hamba untuk mengunjungi orang yang sakit yang menunjukkan penting dan besarnya manfaat perkara tersebut. Dari Al-Baro’ bin ‘Azib Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara –sampai perkataannya- beliau menyuruh kami untuk mengiringi jenazah, mengunjungi orang sakit …” (HR Bukhory)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
أطعموا الجائع وعودوا المريض …
“Beri makanlah orang yang lapar dan kunjungilah orang yang sakit …” (HR Bukhory dari Abu Musa Al-‘Asy’ary Rodhiyallohu ‘Anhu)
Terlebih lagi jika yang dikunjungi adalah seorang hamba Alloh yan soleh yang kuat berpegang dengan Kitabulloh dan sunnah nabi-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsy, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
إن الله عز وجل يقول يوم القيامة: يا ابن آدم مرضت فلم تعدني. قال: يا رب كيف أعودك وأنت رب العالمين. قال: أما علمت أن عبدي فلانا مرض فلم تعده أما علمت أنك لو عدته لوجدتني عنده
“Sesungguhnya Alloh ‘Azza wa Jalla mengatakan pada hari kiamat: “Wahai anak Adam, Aku sakit tapi kalian tidak mengunjungi-Ku”. Maka hamba tersebut mengatakan: “Wahai Robb bagaimana aku mengunjungi-Mu sementara Engkau adalah Robbul ‘Alamin?”. Alloh berkata: “Tidakkah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku –si fulan- dalam keadaan sakit sementara engkau mengunjunginya?. Tidakkah engkau tahu, jika engkau mengunjunginya niscaya engkau akan mendapatkan-Ku di sisinya?”. (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh: “Tidak ada masalah pada perkataan-Nya Ta’ala: “Aku sakit tapi kalian tidak mengunjungi-Ku” karena sakit mustahil bagi Alloh. Penyakit adalah sifat kekurangan, sementara Alloh Subhanahu wa Ta’ala suci dari segala kekurangan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Maha Suci Robbmu, Robb Yang maha perkasa dari apa yang mereka sifatkan”. (QS Ash-Shoffat 180)
Yang dimaksud dengan sakit di (hadits) ini adalah sakitnya hamba-hamba Alloh yang sholih, serta para wali-wali Alloh Subhanahu wa Ta’ala, merekalah orang-orang yang khusus (di sisi-Nya). Karena itu datang –di hadits Qudsy- juga, (Alloh berkata):
من عادى لي وليا فقد آذنته بالحرب
“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku mengumumkan peperangan dengannya”.
Yakni barangsiapa yang memusuhi para wali Alloh maka itu adalah peperangan terhadap Alloh. Padahal orang itu –dalam dugaannya- tidak memusuhi Alloh tapi dia hanya memusuhi dan memerangi para wali-Nya. Demikian juga jika seorang hamba dari hamba-hamba Alloh yang sholih menderita sakit, maka Alloh Subhanahu wa Ta’ala akan berada di sisi-Nya. Karena itulah Alloh mengatakan “… jika engkau mengunjunginya niscaya engkau akan mendapatkan-Ku di sisinya”. Alloh tidak mengatakan: “… jika engkau mengunjunginya niscaya engkau akan mendapatkan rasa sakit pada-Ku”. [Syarh Riyadish Sholihin]
Diantara tujuan menjenguk orang yang sakit adalah memupuk dan mempererat rasa persaudaraan karena orang yang sakit tersebut melihat kepedulian orang lain terhadapnya dan itu akan berdampak baik bagi kesehatan batinnya. Karena itulah semestinya bagi orang yang berkunjung, agar tidak membuat orang yang dikunjungi menjadi sesak, cukuplah bagi dia menahan derita yang menimpanya, jangan menambah beban pikirannya.
إِذَا حَضَرْتُمُ الْمَرِيضَ، أَوِ الْمَيِّتَ، فَقُولُوا خَيْرًا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُون
“Apabila kalian menghadiri (menjenguk) orang sakit atau meninggal maka katakanlah perkataan yang baik karena sesungguhnya  para malaikan mengaminkan apa yang kalian katakan”. (HR Muslim dari Ummu Salamah Rodhiyallohu ‘Anha)
Karena itulah sebaik-baik ucapan yang disampaikan ketika menemui orang yang sakit adalah mendo’akannya dengan kebaikan, atau memberikan kabar gembira baginya tentang apa-apa yang bermanfaat bagi akhiratnya.
Telah dijelaskan di berbagai hadits tentang masalah ini, diantaranya:
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengunjungi Sa’ad yang sedang sakit, ketika itu dia berada di Makkah. Maka Sa’ad pun menangis. Rosululloh bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?”. Sa’ad menjawab: “Aku khawatir kalau aku meninggal di negeri yang aku telah berhijroh darinya, sebagaimana meninggalnya Sa’ad Ibnu Khaulah”. Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan (sebanyak tiga kali):
اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا
“Yaa Alloh sembuhkanlah Sa’ad” (HR Bukhory-Muslim)
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pergi bersama Abu Hurairoh mengunjungi seorang yang sedang sakit karena  panas badan yang menimpanya. Maka beliau mengatakan:
أَبْشِرْ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: نَارِي أُسَلِّطُهَا عَلَى عَبْدِي الْمُؤْمِنِ فِي الدُّنْيَا لِتَكُونَ حَظَّهُ مِنْ النَّارِ فِي الْآخِرَة
“Bergembiralah. Sesungguhnya Alloh ‘Azza wa Jalla mengatakan: “Apiku di dunia yang aku perintahkan bagi hamba-Ku yang beriman. Sehingga menjadi (pengganti) atas api yang menjadi bagiannya di akhirat”. (HR Ahmad, dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
Ummu ‘Ala’ Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengunjungiku, sementara aku dalam keadaan sakit. Maka beliau berkata:
أَبْشِرِي يَا أُمَّ الْعَلَاءِ، فَإِنَّ مَرَضَ الْمُسْلِمِ يُذْهِبُ اللَّهُ بِهِ خَطَايَاهُ، كَمَا تُذْهِبُ النَّارُ خَبَثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّة
“Bergembiralah wahai Ummu ‘Ala’. Sesungguhnya penyalit seorang muslim, dengannya Alloh menghapus kesalahan-kesalahannya, sebagaimana lenyapnya kotoran pada emas dan perak” (HR Abu Daud, dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
Dahu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam jika mengunjungi orang yang sakit, beliau berkata kepadanya:
لاَ بَأْسَ، طَهُورٌ إِنْ شَاءَ الله
“Tidak mengapa, penyuci (dosa) Insya Alloh”. (HR Bukhory, dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu)
Termasuk ke dalam masalah ini adalah ruqyah syar’iyyah. Perkara ini sering dilalaikan seorang muslim ketika sibuk memikirkan obat untuk penyakitnya. Padahal ruqyah bukanlah perkara yang susah sebagaimana dibuat-buat orang-orang zaman sekarang. Seorang yang sakit bisa melakukannya untuk dirinya sendiri atau saudaranya membacakan untuknya tanpa harus meminta dan diminta, sebagai bentuk ta’awun ‘alal birri wat taqwa, baik dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an ataupun dzikr-dzikr yang sah dari sunnah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Jangan dikira ruqyah hanya untuk mengusir jin saja.
Jibril ‘Alaihis Salam datang menjumpai Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lantas berkata: “Wahai Muhammad, engkau sakit?”. Beliau menjawab: “Ya”. Maka Jibril berkata:
بِاسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنِ حَاسِدٍ، اللهُ يَشْفِيكَ بِاسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ
“Dengan nama Alloh aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari kejelekan jiwa atau pandangan yang hasad. Semoga Alloh menyembuhkanmu. Dengan nama Alloh aku meruqyahmu”. (HR Muslim dari Abu Sa’id Rodhiyallohu ‘Anhu)
‘Utsman bin Abil ‘Ash Ats-Tsaqofy Rodhiyallohu ‘Anhu mengadukan penyakitnya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, maka beliau mengatakan:
ضع يدك على الذي تألم من جسدك وقل: بِاسْمِ اللَّهِ. ثلاثا. وقل سبع مرات: أَعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
“Letakkankah tanganmu di tempat yang yang rasakan sakit dari tubuhmu, kemudian bacalah “bismillah” sebanyak tiga kali, dan bacalah “A’udzu billai wa qudratihi min syarri ma ajidu wa uhaadziru (Aku berlindung kepada Alloh dan kekuasaan-Nya dari kejelekan yang aku dapatkan dan waspadai)” sebanyak tujuh kali”. (HR Muslim)
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Dahulu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meniup (dengan sedikit percikan ludah) kedua telapak tangannya untuk dirinya sendiri ketika sakit yang menyebabkan meninggalnya dengan membaca mu’awwidzat (surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas). Ketika penyakitnya bertambah parah maka akulah yang meniup serta membacakannya, kemudian aku mengusapkan dengan tangannya sendiri karena berkahnya”.
Az-Zuhry –salah seorang periwayat hadits- mengatakan: “Beliau meniup kedua tangannya kemudian mengusapkan keduanya ke wajahnya”. (HR Bukhory)
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Dahulu jika ada orang yang datang mengeluhkan rasa sakit kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam maka beliau meraba orang tersebut dengan tangan kanannya kemudian mengatakan:
أَذْهِبِ الْبَاسَ، رَبَّ النَّاسِ، وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
“Hilangkanlah keperihan wahai Robb Manusia, sembuhkanlah sesungguhnya Engkau adalah Asy-Syafi (Dzat Yang Menyembuhkan). Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan rasa sakit” (HR Bukhory-Muslim)
Dalam riwayat lain:
امْسَحِ البَاسَ رَبَّ النَّاسِ، بِيَدِكَ الشِّفَاءُ، لاَ كَاشِفَ لَهُ إِلَّا أَنْت
“Hilangkanlah keperihan wahai Robb Manusia, kesembuhan hanya di tangan-Mu. Tidak ada satupun yang melenyapkannya kecuali Engkau” (HR Bukhory, dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha)
Dalam riwayat lain:
أَذْهِبِ الْباسَ رَبَّ النَاسِ اشْفِي أَنْتَ الشَافِي لا شَافِيَ إِلاَ أَنْتَ
“Hilangkanlah keperihan wahai Robb Manusia, sembuhkanlah sesungguhnya Engkau adalah Asy-Syafi (Dzat Yang Menyembuhkan). Tidak ada satupun yangbisa menyembuhkan kecuali Engkau” (HR An-Nasa’iy, dari Ummu Muhammad bim Hathib Rodhiyallohu ‘Anha, dihasankan Syaikh Muqbil Rahimahulloh)
Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu berkata: “Dahulu Rosululloh iShollallohu ‘Alaihi wa Sallam jika mengunjungi orang yang sakit, maka beliau duduk di bagi kepalanya lalu berkatasebanyak tujuh kali:
أَسْأَلُ اللهَ العَظِيمَ، رَبَّ العَرْشِ العَظِيمِ أَنْ يَشْفِيكَ
“Aku memohon kesembuhanmu kepada Alloh Al-‘Azhim (Dzat Yang Maha Agung), Robb ‘Arsy yang agung” (HR Bukhory dalam Adabul Mufrod, dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh).
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Dahulu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam jika ada seseorang merasakan sakit, atau padanya luka maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berbuat begini dengan tangannya (Sufyan –salah seorang perowi- meletakkan jari telunjuknya ke tanah kemudian mengangkatnya). Kemudian beliau berkata:
بِاسْمِ اللهِ، تُرْبَةُ أَرْضِنَا، بِرِيقَةِ بَعْضِنَا، لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا، بِإِذْنِ رَبِّنَا
“Dengan nama Alloh, ini adalah tanah bumi kami disertai ludah diantara kami untuk menyembuhkan orang yang sakit dari kami, dengan izin Robb kami” (HR Bukhory-Muslim)
Imam An-Nawawy Rahimahulloh mengatakan: “Makna hadits ini, beliau mengambil ludahnya dengan jari telunjuknya, kemudian meletakkan jari telunjuk tersebut di tanah, sehingga melekat padanya sesuatu dari tanah tersebut. Lalu mengusapkannya ke luka atau tempat yang sakit sambil mengucapkan perkataan ini ketika mengusap tersebut, wallohu a’lam”. [Syarh Shohih Muslim 14/184]
Semoga Alloh memberi taufik dan pertolongan kepada kita untuk mengisi waktu lapang dan sehat dengan amalan-amalan sholih, serta menutupi kesempitan dan masa sakit dengan balasan yang bermanfaat.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلاّ أنت أستغفرك وأتوب إليك

[1] Dihasankan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh
[2] Dari Fudholah bin ‘Ubaid dan selainnya dari kalangan shohabat. Dishohihkan Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil Rahimahumalloh
[3] Lengkapnya:
وَلَئِنْ أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إِنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ * وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ نَعْمَاءَ بَعْدَ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ ذَهَبَ السَّيِّئَاتُ عَنِّي إِنَّهُ لَفَرِحٌ فَخُورٌ * إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِير
“Jika Kami berikan rahmat Kami kepada manusia, kemudian rahmat itu Kami cabut kembali pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih. Sementara jika Kami berikan kebahagiaan kepadanya setelah ditimpa bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: “Telah hilang bencana itu dariku”, sungguh dia merasa sangat gembira dan bangga. Kecuali orang-orang yang sabar dan mengerjakan amalan-amalan kebaikan, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar” (QS Hud 9-11)
[4] Hasil kawin silang antara keledai jantan dengan kuda betina
[5] Ibnu Baththol Rahimahulloh mengatakan: “Perintah beliau kemungkinannya adalah sebagai bentuk anjuran dan perbuatan mustahab yang mengatarkan kepada sikap saling bersaudara dan menjalin hubungan. Bisa juga kemungkinannya bahwa hukumnya adalah farhu kifayah” [Syarh Shohih Al-Bukhory 5/211]

Sumber lihat di sini