Rabu, 26 September 2012

Sakit: Pemutus Cerita – Pemupus Derita (Bag.1)

Judul asli: ’Iyaadah wa Ifaadah
ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Saddadahulloh
Darul Hadits – Dammaj, Yaman
Pengantar Syaikh Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Hafizhohulloh
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد
Saya telah membaca buku karya saudara kami yang mulia, da’i kepada Alloh Abu Ja’far Al-Harits bin Dasril Al-Indonisy, yang berjudul ‘Iyaadah wa Ifaadah. Maka saya melihat sebuah buku bermanfaat, dimana penulisnya telah mencurahkan kesungguhannya untuk menulisnya. Kami memohon kepada Alloh, agar menjadikan penulis dan bukunya bermanfaat bagi Islam dan muslimin, serta menganugerahkan kepadanya taufik, ketegaran dan kekokohan di dunia dan di akhirat.
Ditulis oleh: Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Al-Fadhly Al-Ba’dany
Malam Jum’at, bertepatan dengan tanggal 28/11/1431

Kata Pengantar

Segala puji bagi Alloh yang telah memberikan kita nikmat kesehatan dan menyembuhkan kita dari penyakit-penyakit yang melelahkan. Kemudian shalawat dan salam kepada pemimpin para Rosul –teladan orang-orang yang bersabar-, serta orang orang yang mengikutinya dengan baik sampai hari kiamat, hari Alloh memberi nikmat bagi kaum mukminin dan memberikan azab bagi kaum mujrimin. Amma Ba’du:
Sebab penulisan risalah ini adalah permintaan seorang saudara di negeriku yang menginginkan nasehat seputar sabar atas penyakit kronis yang menimpanya, sementara Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
حق المسلم على المسلم ست
“Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam”
Dikatakan kepada beliau: “Apa-apa saja wahai Rosululloh?”. Beliau menjawab:
إذا لقيته فسلم عليه وإذا دعاك فأجبه وإذا استنصحك فانصح له وإذا عطس فحمد الله فشمته وإذا مرض فعده وإذا مات فاتبِعه
“Apabila kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, apabila dia mengundangmu maka penuhilah, apabila dia meminta nasehat kepadamu maka nasihatilah. apabila dia bersin kemudian memuji Alloh maka doakanlah baginya, apabila dia sakit maka jenguklah, apabila dia meninggal maka hadirilah pemakamannya” (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga mengatakan:
من استطاع منكم أن ينفع أخاه فليفعل
“Barangsiapa yang mampu memberikan manfaat bagi saudaranya maka lakukanlah” (HR Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Rodhiyallohu ‘Anhuma)
Beliau juga mengatakan:
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم، مثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى
“Permisalan kaum mukminin dalam saling mencintai, merahmati dan menyayangi sesama mereka adalah seperti sebuah jasad. Jika salah satu anggota badan merasakan sakit maka seluruh jasad saling menyeru untuk bertanggang dan merasakan demam” (HR Bukhory-Muslim dari Nu’man bin Basyir Rodhiyallohu ‘Anhu)
Karena itulah aku meminta tolong kepada Alloh untuk memenuhi permintaan. Kemudian melihat beberapa faidah yang ingin aku sertakan, maka aku berkeinginan untuk menjadikannya sebagai sebuah risalah yang semoga bisa bermanfaat bagi orang-orang yang sakit: aku, saudara tersebut maupun selain kami. Sebab, semestinya bagi seorang muslim untuk senantiasa memetik faidah di setiap keadaannya.
Orang yang sedang menderita sakit adalah orang yang paling dekat dalam menerima wejangan dan nasehat dengan perkataan Alloh, petunjuk Rosululloh serta pengarahan para ulama umat ini. Kedua hal tersebut lebih dia butuhkan ketimbang lelucon, cerita-cerita atau berbagai jenis ramuan, karena manfaat keduanya adalah di dunia dan akhirat. Aku meminta kepada Alloh untuk menjadikan risalah ini ikhlas  hanya bagi wajah-Nya yang mulia, bermanfaat bagiku di dunia dan akhirat, serta bagi siapa saja yang ingin mengambil dan menyebarkan faidah dari kitab ini. Allohlah yang memberikan taufik kepada kebenaran, Dialah tempat meminta pertolongan, Dialah tempat berserah diri, tidak ada upaya untuk menolak bahaya dan tidak ada kekuatan untuk mendatangkan kebaikan kecuali dengan pertolongan-Nya. Cukuplah Dia bagi kita dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.

Bab Satu:
KONDISI-KONDISI MANUSIA DALAM MENGHADAPI MUSIBAH
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh menyebutkan bahwa dalam musibah –yang tidak ada campur tangan hamba padanya-, maka bagi seorang hamba ada empat kondisi:
Pertama, kondisi lemah. Yaitu kondisi tidak sabar, berkeluh kesah dan marah. Kondisi ini tidaklah dilakukan kecuali oleh orang-orang yang paling rendah akal, agama dan kewibawaannya. Hal ini merupakan musibah terbesar dari dua musibah yang menimpanya (pada jiwa dan raga)
Kedua, kondisi sabar. Baik itu karena Alloh ataupun karena sikap pembawaan berupa wibawa atau ketegaran.
Ketiga, kondisi ridho. Kondisi ini lebih tinggi dari kondisi sabar. Adapun masalah  waibnya tidaknya, terdapat perbedaan pendapat. Sementara sabar, maka para ulama sepakat akan kewajibannya.
Keempat, kondisi Syukur. Kondisi ini lebih tinggi dari kondisi ridho, karena orang tersebut melihat cobaan sebagai sebuah kenikmatan, maka dia bersyukur atas cobaan tersebut. [‘Iddatush Shobirin 53]
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh juga mengikuti Ibnul Qoyyim Rahimahulloh dengan perincian yang tidak jauh berbeda, beliau mengatakan bahwa manusia terbagi dalam empat kondisi:
Pertama, menerimanya dengan kemarahan. Hal ini pun terbagi:
[Dengan hatinya] Seperti kemarahannya kepada Alloh, dia marah atas takdir yang Alloh tetapkan, maka ini adalah perbuatan haram, bahkan bisa menyebabkan kekafiran. Alloh Ta’ala mengatakan:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ
“Diantara manusia ada yang mengibadahi Alooh dari pinggir tidak sepenuh keyakinan. Apabila dia mendapat kebaikan maka dia sungguh merasa tenang dengannya. Apabila tertimpa cobaan maka dia akan berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan akhirat” (QS Al-Hajj 11)
[Dengan ucapannya] Seperti wail, tsabur (kata-kata sumpah serapah), dan yang sejenisnya, maka ini harom.
[Dengan perbuatan] Seperti menampar pipi, merobek pakaian, menarik rambut, dan yang sejenisnya, maka ini sebuah keharoman yang meniadakan sabar yang wajib.
Kedua, menerimanya dengan kesabaran. Seperti perkataan penyair:
Kesabaran itu seperti namanya, pahit rasanya
Akan tetapi akibatnya lebih manis dari madu
Seseorang melihat suatu perkara memberatkannya, akan tetapi dia menahannya. Dia benci kalau itu terjadi, namun dia melindungi keimanannya dari kemarahan. Ada atau tidaknya perkara tersebut, tidak sama baginya. Maka kesabaran (ketika ditimpa takdir yang tidak disukai) hukumnya wajib, karena Alloh Ta’ala memerintahkan untuk bersabar. Alloh mengatakan:
وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Bersabarlah kalian, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar”.
Ketiga, menerimanya dengan ridho (kerelaan). Yaitu apabila seseorang merasa ridho dengan musibah yang menimpanya. Hal ini terjadi apabila dia merasa ada atau tidaknya musibah sama saja. Keberadaannya tidak memberatkannya, dan dia memikulnya tanpa merasa berat. Sikap seperti ini hukumnya mustahab (istilah fiqhnya: sunnah) bukan wajib berdasar pendapat yang rojih. Bedanya dengan tingkatan yang sebelumnya, jelas. Karena pada sikap seperti ini, ada atau tidak musibah sama saja di sisi keridhoannya. Adapun tingkatan yang sebelumnya musibah itu berat baginya akan tetapi dia bersabar.
Keempat, menerimanya dengan rasa syukur. Ini adalah tingkat yang tertinggi, dimana seseorang justru bersyukur kepada Alloh atas musibah yang menimpanya. Hal ini dikarenakan bahwasanya dia mengetahui bahwa musibah merupakan sebab dihapuskannya dosa, dan terkadang malah menjadi tambahan amal kebaikannya. Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
ما من مصيبة تصيب المسلم إلا كفر الله بها عنه حتى الشوكة يشاكها
“Tidaklah musibah menimpa seorang muslim, kecuali Alloh akan menghapuskan dosanya dengan musibah tersebut, bahkan duri yang menusuknya.” [Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Syaikh Al-‘Utsaimin 2/210-211]
Bab Dua:
SEGALA SESUATU TELAH ALLOH TAKDIRKAN
Perkara penting yang ingin saya (penulis) sampaikan dalam kesempatan ini adalah bahwasanya semua musibah yang menimpa seseorang, merupakan perkara yang telah Alloh takdirkan untuknya. Alloh memiliki hikmah agung, hanya Dialah yang tahu. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى أَنْفُسِكُمْ إلاَّ فِى كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا
“Tidaklah musibah yang menimpa baik di bumi maupun pada jiwa-jiwa kalian, melainkan semua itu telah tertulis di Kitab Lauhul Mahfuzh sebelum kami menciptakan jiwa-jiwa tersebut” (QS Al-Hadid 22)
Imam Ath-Thobary Rahimahulloh, dalam tafsir ayat ini mengatakan bahwa Alloh Ta’ala Dzikruhu mengatakan bahwa Tidak ada musibah yang menimpa kalian –wahai sekalian manusia- di bumi berupa kegersangan dan kemarau yang berkepanjangan, gugur dan rusaknya tanaman, tidak juga pada jiwa-jiwa kalian berupa sakit yang berkepanjangan dan kurang enak badan, melainkan telah tertulis di kitab sebelum Kami menciptakan jiwa-jiwa tersebut”. [Selesai penukilan dengan sedikit perubahan]
Al-‘Allamah As Sa’dy Rahimahulloh mengatakan dalam tafsir perkataan Alloh Ta’ala:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلا بِإِذْنِ اللّهِ
“Tidak ada musibah yang menimpa kecuali dengan izin Alloh” (QS At-Taghobun 11)
Konteks kalimat disini berlaku umum untuk seluruh jenis musibah baik yang menimpa diri, harta, anak, sesuatu yang dicintai, dan selainnya. Maka setiap perkara yang menimpa seorang hamba, adalah merupakan takdir dan ketentuan Alloh. Alloh Ta’ala telah mengetahui perkara tersebut, telah ditulis dengan pena-Nya, berdasarkan kehendak-Nya dan merupakan bentuk hikmah-Nya.” [Selesai penukilan]
Dari Thowus Rahimahulloh beliau mengatakan: “Saya menjumpai sekalangan shohabat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, mereka mengatakan: “Segala sesuatu telah ditakdirkan”. Saya mendengar ‘Abdulloh bin ‘Umar mengatakan: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
كل شيء بقدر حتى العجز والكيس أَو الكيس والعجز
“Segala sesuatu ada takdirnya, bahkan kelesuan dan semangat –atau semangat dan kelesuan-“ (HR Muslim)
Dari Abu Darda’ Rodhiyallohu ‘Anhu, dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliau berkata:
لكل شيء حقيقة وما بلغ عبد حقيقة الإيمان حتى يعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وما أخطأه لم يكن ليصيبه.
“Setiap sesuatu memiliki hakikat. Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat keimanan, sampai dia meyakini bahwa apa yang telah ditetapkan menimpanya, tidak mungkin bisa dielakkannya. Dan apa-apa yang tidak ditetapkan baginya tidak mungkin akan menimpanya”. (HR Ahmad, dishohihkan Syaikh Albany dan Syaikh Muqbil Rahimahumalloh)
Apabila segala sesuatu telah ditakdirkan, tidak bisa dimajukan dan tidak bisa diakhirkan, maka tidak ada gunanya gelisah dan marah. Karena jika anda gelisah atau marah, takdir tidak akan berubah sedikitpun, kegelisahan tidak akan menolaknya bahkan membuatnya berlipat ganda, karena pada hakikatnya, kegelisahan hanya akan menambah sakit.
وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَار
“Segala sesuatu di sisi Alloh memiliki kadarnya” (QS Ar-Ro’d ayat 8)
Baik dari sisi waktu, tempat, zat, sifat, dan setiap yang berkaitan dengannya. Semuanya sudah ada kadarnya di sisi Alloh. Apabila anda merasa yakin dengan hal ini maka anda akan mendapatkan kepuasan. Hal ini termasuk dari tuntutan keimanan kepada takdir.
Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy Rahimahulloh mengatakan: “Orang-orang yang tidak beriman kepada takdir, terkadang sebagiannya menjurus pada kekafiran kepada Alloh, sebagiannya gila, sebagiannya bunuh diri. Karena itulah banyak terdapat kasus bunuh diri pada negeri yang penduduknya tidak beriman kepada takdir seperti Amerika Denmark dan Swedia. Mayoritas orang yang menderita penyakit-penyakit syaraf, mereka tidak beriman kepada takdir atau keimanannya terhadap takdir lemah” [Jami’ish Shohih fil Qodar 12]
Bab Tiga:
SETIAP MUKMIN DIUJI
Jangan sekali-kali anda mengira bahwasanya tidak ada orang yang ditimpa penyakit seperti yang anda derita. Orang-orang sebelum anda telah merasakan sakit sebagaimana orang-orang setelah anda akan merasakannya. Ini adalah ketentuan Alloh bagi hamba-Nya yang beriman.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
”Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sesuatu berupa ketakutan kelaparan dan kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan” (QS Al-Baqoroh 155) [1]
Sehingga keberadaan cobaan dari waktu ke waktu menjadi ciri orang-orang beriman, sebagaimana di Shohih Muslim  dari Ka’ab bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu beliau berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
مثل المؤمن كمثل الخامة من الزرع تفيئها الريح وتصرعها مرة وتعدلها أخرى حتى تهيج ومثل الكافر كمثل الأرزة المجذية على أصلها لا يفيئها شيء حتى يكون انجعافها مرّة واحدة.
“Permisalan seorang mukmin seperti tangkai biji-bijian yang digoyangkan angin, terkadang merobohkannya dan terkadang menegakkannya sampai dia kering menguning. Sementara permisalan seorang kafir seperti pohon yang kokoh diatas akarnya, tidak digoyangkan apapun sampai dia tercabut cuma satu kali”. Hadist ini juga di Shohih Al Bukhory dengan lafaz berdekatan.
Seseorang diuji sesuai dengan kadar agamanya. Apabila agamanya kokoh maka ujiannya akan semakit berat. Dalam hadist Sa’ad bin Abi Waqqosh Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
أشد الناس بلاء الأنبياء، ثم الأمثل فالأمثل، يبتلى الرجل على حسب (وفي رواية : قدر) دينه ، فإن كان دينه صلبا اشتد بلاؤه وإن كان في دينه رقة ابتلي على حسب دينه، فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشي على الأرض ما عليه خطيئة
“Orang yang paling berat cobaannya adalah para Nabi. Kemudian yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seorang lelaki diuji sesuai (dalam riwayat lain: sebagaimana kadar) agamanya. Apabila agamanya keras (teguh) maka cobaan akan bertambah keras. Apabila agamanya rapuh, maka dia akan diuji sesuai agamanya.  Cobaan akan terus bersama seorang hamba sampai cobaan itu meninggalkannya dalam keadaan dia berjalan di muka bumi tanpa ada dosa”. (HR Imam Ahmad, dishohihkan Syaikh Al-Albany di Ash-Shohihah, dihasankan Syaikh Muqbil di Al Jami’us Shohih)
Syaikh Al-Albany Rahimahulloh mengomentari hadits ini yang yang semakna dengannya mengatakan: “Pada hadits-hadits ini terdapat dalil yang gamblang bahwasanya semakin kuat keimanan seorang mukmin maka akan semakin bertambah cobaan dan ujiannya, demikian sebaliknya –sampai perkataan beliau- inilah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, dialah manusia yang paling utama, dan beliau adalah manusia –bahkan nabi- yang paling dahsyat cobaannya. Pada mayoritas keadaan, adanya bala adalah alamat kebaikan, bukan peringatan dari kejelekan”. [Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah 1/275]
Juga hadits dari Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhu, beliau mengatakan: “Aku masuk menemui Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sementara beliau dalam keadaan kurang enak badan. Maka aku meletakkan tanganku di atasnya, Aku merasakan panas pada tanganku di atas selimutnya. Maka aku berkata: “Wahai Rosululloh berapa dahsyat panasnya bagimu”. Beliau menjawab:
إنا كذلك. يضعف لنا البلاء ويضعف لنا الأجر
“Sesungguhnya kami demikian. Cobaan dilipat-gandakan bagi kami dan pahala juga dilipat-gandakan”.
Lalu aku mengatakan: Wahai Rosululloh siapakan orang yang paling dahsyat cobaannya?”. Beliau menjawab: “Para nabi”. Aku katakan: “Wahai Rosululloh, kemudian siapa?”. Beliau menjawab:
ثم الصالحون. إن كان أحدهم ليبتلى بالفقر. حتى ما يجد أحدهم إلا العباءة يحويها. وإن كان أحدهم ليفرح بالبلاء كما يفرح أحدكم بالرخاء.
“Kemudian orang-orang sholih. Sesungguhnya salah seorang mereka ditimpa kemiskinan sampai-sampai dia tidak mendapatkan sesuatu yang biasa dipakai kecuali aba’ah yang menyelubunginya. Sesungguhnya sesorang diantara mereka bergembira dengan cobaan ebagaimana kalian bergembira dengan kelapangan” (HR Ibnu Majah, di shohihkan Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah dan dihasan Syaikh Muqbil dalam Jami’ush shohih)
Bab Empat:
SEANDAINYA SEORANG MUKMIN MENGETAHUI BAHWA FAIDAH YANG BISA DIPETIK
DARI SAKITNYA JAUH LEBIH BESAR KETIMBANG SAKIT YANG DIRASAKANNYA
Dari Jabir Rodhiyallohu ‘Anhu beliau berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
يود أهل العافية يوم القيامة حين يعطى أهل البلاء الثواب لو أن جلودهم كانت قرضت في الدنيا بالمقاريض
“Pada hari kiamat ketika orang-orang yang diuji di dunia diberikan pahala , orang-orang yang dulunya sehat menginginkan kalau seandainya kalau dulunya kulit-kulit mereka dipotong-potong dengan gunting”. (HR Tirmidzi, dihasankan Syaikh Al-Albany)
Sudah merupakan tabiat bahwasanya jiwa membenci rasa sakit, akan tetapi Alloh memiliki hikmah dibalik itu, hanya Dialah yang tahu, dan Alloh tidak akan menzholimi seorangpun. Alloh telah menjadikan sakit bagi seorang hamba yang beriman sebagai tanda bahwasanya Alloh menghendaki kebaikan bagi dirinya. Sebagaimana di hadist Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
من يرد الله به خيرا يصب منه
“Barang siapa yang Alloh kehendaki kebaikan baginya, maka dia akan diberi cobaan”. (HR Bukhory)
Bahkan Nabi, menjadikan kebalikannya -yaitu : tidak pernah sakit- sebagai tanda orang-orang yang binasa, sebagaimana di hadist dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwasanya seorang Arob Badui mendatangi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Apakah engkau pernah menderita ummu mildam?”. Dia berkata: “Apa itu ummu mildam?”. Beliau berkata: “Panas antara kulit dan daging”. Badui berkata: “Aku tidak pernah merasakannya sekalipun”. Beliau berkata: “Apakah engkau pernah menderita suda’ (sakit kepala)?”. Badui berkata: “Apa itu suda’?”. Beliau berkata: “Urat yang menyebabkan sakit di kepala seseorang”. Badui berkata: “Aku tidak pernah merasakannya sekalipun”. Ketika dia pergi, beliau berkata: “Barangsiapa yang ingin melihat lelaki penghuni neraka, maka lihatlah orang ini”. (HR Bukhory)
Banyak hadist-hadist shohih yang menunjukkan bahwasanya musibah yang menimpa seorang mukmin tidak ada harganya jika dibandingkan manfaat yang bisa dipetik dibalik itu, sebagaimana di hadist Al-Baro’ Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
ما اختلج عرق ولا عين إلا بذنب وما يدفع الله عنه أكثر.
“Tidaklah urat menggelisahkan, tidak juga mata, melainkan karena dosa. Sementara yang Alloh elakkan dari orang tersebut tersebut jauh lebih besar”. (Dishohihkan Syaikh Albani di Ashohihul Jami’)
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah memberikan kabar gembira ini dengan beragam manfaat bagi kaum mukminin sebagaimana beliau sebutkan dalam berbagai hadits diantaranya:
Terus Mengalirnya Pahala Amalan[2]
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
ما من عبد يبتليه الله عز وجل ببلاء في جسده إلا قال الله عز وجل للملك: اكتب له صالح عمله الذي كان يعمله فإن شفاه الله غسله وطهره وإن قبضه غفر له ورحمه
“Tidak satu hambapun yang diberi cobaan oleh Alloh ‘Azza wa Jalla, kecuali Dia mengatakan kepada malaikat: “Tulislah baginya amalan sholih sebagaimana amalan yang dahulu diamalkannya. Apabila Alloh menyembuhkannya, maka dia membersihkannya dari dosa-dosanya. Apabila Alloh mewafatkannya maka Alloh mengampuni kejelekan-kejelekannya dan merahmatinya” (HR Ahmad dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Muqbil di Al-Jami’ush Shohih, dan Syaikh Al-Albany di Shohih Targhib wat Tarhib berkata: Hadits ini Hasan Shohih)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن العبد إذا كان على طريقة حسنة من العبادة ثم مرض قيل للملك الموكل به اكتب له مثل عمله إذا كان طليقا حتى أطلقه أو أكفته إلي
“Sesungguhnya seorang hamba apabila berada pada jalan yang baik dalam ibadah, kemudian dia sakit. Maka dikatakan pada malaikat yang diutus kepadanya: “Tulislah baginya (pahala) seperti amalannya (terdahulu) sampai Aku mengangkat penyakit darinya atau mewafatkannya” (HR Ahmad dari ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al-‘Ash Rodhiyallohu ‘Anhu, dihasankan Syaikh Muqbil di Al-Jami’iush Shohih dan dishohihkan Syaikh Al-Albany di Misykatul Mashobih)
Terhapusnya Dosa dan Kesalahan
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لا يزال البلاء بالمؤمن والمؤمنة، في جسده وأهله وماله، حتى يلقى الله وما عليه خطيئة
“Senantiasa bala menimpa mukmin dan mukminah, baik di badannya, keluarganya dan hartanya, sampai dia menjumpai Alloh dan tidak ada lagi kesalahan baginya” (HR Bukhory di Adabul Mufrod dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil)
Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Ketika turun ayat:
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِه
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan maka dia akan dibalas sesuai dengan kejahatan itu” (QS An-Nisa’ 123)
Hal tersebut terasa berat bagi kaum muslimin. Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
قاربوا وسددوا ففي كل ما يصاب به المسلم كفارة حتى النكبة ينكبها أو الشوكة يشاكها
“Perdekatlah (oleh kalian) dan paskanlah (dalam melakukan amalan). Pada setiap musibah yang menimpa seorang muslim, terdapat penghapus dosa bahkan sesuatu yang melukainya atau duri yang menusuknya” (HR Muslim)
Abu Bakr Ash-Shiddiq Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Wahai Rosululloh, bagaimana bisa selamat setelah turunnya ayat ini?:
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ
“Pahala itu bukan dari angan-angan kalian bukan juga dari angan-angan ahlusl kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan maka dia akan dibalas sesuai dengan kejahatan itu” (QS An-Nisa’ 123)
“Setiap kejelekan amalan kita, kita akan dibalas dengannya?”. Rosululloh menjawab:
غفر الله لك يا أبا بكر, ألست تمرض ألست تحزن ألست يصيبك اللأواء؟
“Semoga Alloh mengampunimu wahai Abu Bakr. Bukankah engkau mengalami sakit? Bukankah engkau mengalami kesedihan? Bukankah engkau ditimpa kesusahan?”
Aku katakan: “Iya, wahai Rosululloh”. Beliau berkata:
قال: فقلت: بلى.  قال: هو ما تجزون به
“Dengan itulah kalian dibalas” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban, dishohihkan Syaikh Al-Albany di shohih At-Targhib wat Tarhib)
الحمى من كير جهنم فما أصاب المؤمن منها كان حظه من النار
“Panas (demam) berasal dari tungku jahannam. Tidaklah menimpa seorang mukmin, melainkan dia telah mengambil bagiannya dari neraka (sehingga nanti tidak di azab lagi)” (HR Ahmad, dishohihkan Syaikh Al-Albany di Ash-Shohihah)
Abu Sa’id dan Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘Anhuma, mereka berdua mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ إِلاَّ كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِه.
“Tidaklah menimpa seorang mukmin, berupa sakit menahun (terus-menerus), kelelahan, sakit (yang tidak permanen), kesedihan (atas sesuatu yang telah terjadi) bahkan kegelisahan (atas sesuatu yang belum terjadi), kecuali dengannya, akan Alloh hapuskan kejelekan-kejelekannya”. (HR Bukhory-Muslim)
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
ما من مسلم يصيبه أذى شوكة فما فوقها إلا كفر الله بها سيئاته وحطت عنه ذنوبه كما تحط الشجرة ورقها.
“Tidaklah seorang muslim ditimpa gangguan berupa duri atau apa-apa yang diatasnya (yakni: tingkat gangguannya), kecuali Alloh hapuskan kejelekan-kejelekannya dan dosa-dosanya akan rontok seperti rontoknya daun pepohonan.” (HR Bukhory-Muslim dari Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu)
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Kedua hadist ini, yakni hadist Abu Sa’id, Abu Huroiroh, serta hadist Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhum, padanya terdapat dalil bahwasanya dosa seseorang akan dihapuskan dengan musibah yang menimpanya berupa kegelisahan, kelelahan, kekalutan dan selainnya. Ini merupakan nikmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Dia Subhanahu wa Ta’ala memberikan cobaan bagi hambanya agar menghapuskan kejelekan-kejelekannya dan menggugurkan dosa-dosanya. [Syarh Riyadish Sholihin]
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga mengatakan:
صداع المؤمن وشوكة يشاكها أو شيء يؤذيه يرفعه الله بها يوم القيامة درجة ويكفر عنه بها ذنوبه
“Sakit kepala yang menimpa mukmin, juga duri yang menusuknya atau sesuatu yang mengganggunya, maka Alloh dengannya Alloh akan mengangkat derajat hamba tersebut pada hari kiamat dan menghapuskan dosa-dosanya” (HR Ibnu Abi Dunia dari Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhu dishohihkan Syaikh Al-Albany di Shohih At-Targhib wat Tarhib)
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
إن الصالحين يشدد عليهم، وإنه لا يصيب مؤمنا نكبة من شوكة فما فوق ذلك إلا أحطت بها عنه خطيئة ورفع بها درجة
“Sesungguhnya orang-orang sholih diberatkan cobaan baginya. Tidaklah seorang mukmin ditimpa terlukai duri dan yang lebih berat dari itu, kecuali dengan cobaan itu akan dihapus kesalahan darinya dan diangkat derajatnya” (HR Ahmad dll dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha, asal hadits ini di Shohih Muslim. Dishohihkan Syaikh Al-Albany di Ash-Shohihah)
Diangkatnya Derajat dan Kedudukan
Dua hadits sebelum ini telah menunjukkan hal tersebut. Juga pada hadits lain Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن الرجل ليكون له المنزلة عند الله فما يبلغها بعمل فلا يزال الله يبتليه بما يكره حتى يبلغه إياها.
“Sungguh seseorang memiliki kedudukan di sisi Alloh, namun tidak bisa dicapai dengan amalannya. Maka Alloh terus memberinya cobaan dengan sesuatu yang dibencinya, sampai dia mencapai kedudukan tersebut.” (HR Abu Ya’la dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu dihasankan Syaikh Al-Albany dan Syaikh Yahya)
Dahulu Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Tidak ada penyakit yang menimpaku, yang lebih aku senangi daripada demam. Karena dia masuk ke seluruh anggota tubuhku. Dan Alloh memberi setiap bagian tubuh jatah pahalanya”. Atsar ini dishohihkan Ibnu Hajar Rahimahulloh di Fathul Bari.
Bab Lima:
BAGAIMANAPUN JUGA, SEORANG MUKMIN ITU BERUNTUNG
(DENGAN SAKIT YANG DIDERITANYA)
Alloh Jalla wa ‘Ala mengatakan:
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Boleh jadi kalian tidak menyukai sesuatu, sementara Alloh menjadikan kebaikan yang banyak padanya” (QS An-Nisa’ 19)
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُم
“Boleh jadi kalian tidak menyukai sesuatu, sementara hal itu lebih baik bagi kalian” (QS Al-Baqoroh 216)
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إذا أراد الله بعبده الخير عجل له العقوبة في الدنيا وإذا أراد الله بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوافي به يوم القيامة.
“Jika Alloh menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya maka Alloh akan menyegerakan azabnya di dunia. Jika Alloh mengnginkan kejelekan baginya maka Alloh akan menahan dosanya sampai dia meninggal, sampai pada hari kiamat azabnya ditunaikan” (HR At-Tirmidzi dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu, dihasankan Syaikh Al-Albany di Ash-Shohihah)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
إن الله إذا أحب قوما ابتلاهم
“Sesungguhnya Alloh jika mencintai suatu kaum maka Dia memberi mereka cobaan” (HR At-Tirmidzi dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu, dihasankan Syaikh Al-Albany di Ash-Shohihah)
Syaikh Al-Albany Rahimahulloh mengatakan (Ash-Shohihah 1/276): “Hadits ini menunjukkan sesuatu yang lebih dari sebelumnya –yaitu bahwasanya cobaan hanyalah merupakan kebaikan- sesungguhnya orang yang tertimpa cobaan menjadi orang yang dicintai Alloh Ta’ala jika dia bersabar atas cobaan dari Alloh Ta’ala dan ridho dengan ketentuan-Nya ‘Azza wa Jalla. makna ini dikuatkan oleh hadits berikut:
عَجِبْتُ لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، إِنْ أَصَابَهُ مَا يُحِبُّ، حَمِدَ اللهَ وَكَانَ لَهُ خَيْرٌ، وَإِنْ أَصَابَهُ مَا يَكْرَهُ فَصَبَرَ، كَانَ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ كُلُّ أَحَدٍ أَمْرُهُ كُلُّهُ لَهُ خَيْرٌ إِلَّا الْمُؤْمِنُ
“Saya kagum dengan perkara seorang mukmin, sesungguhnya seluruh perkaranya dalah kebaikan. Apabila dia mendapatkan apa yang dia sukai maka dia bersyukur kepada Alloh, dan itu adalah kebaikan baginya. Apabila dia mendapatkan sesuatu yang tidak disukainya maka dia bersabar dan itu adalah kebaikan baginya. Tidak setiap orang yang seluruh perkaranya menjadi kebaikan bagi dirinya, kecuali seorang mukmin” (HR Ahmad dan Ad-Darimy dari Shuhaib Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Ibnu Muflih Rahimahulloh mengatakan: “Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyyah) mengatakan: “Diantara kesempurnaan nikmat Alloh kepada hamba-Nya yang beriman, Alloh menurunkan kesusahan dan bahaya bagi mereka yang membuat mereka kembali mentauhidkan-Nya, sehingga merekapun berdo’a kepadanya dalam keadaan mengikhlaskan agama ini kepadanya, mereka menggantungkan harapan kepada-Nya dan tidak berhara kepada selain-Nya, sehingga hati-hati mereka menjadi bergantung kepada-Nya tidak pada yang lain. Maka mereka pun memperolah rasa tawakkal, dan kembali kepada-Nya, manisnya keimanan dan mengecap kelezatannya, merepa berlepas diri dari kesyirikan yang merupakan nikmat terbesar bagi mereka daripada hilangnya sakit, ketakutan, kekeringan atau marabahaya. Apa yang diperoleh ahlut tauhid yang mengikhlashkan agamanya hanya kepada Alloh jauh lebih besar dari apa yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Masing-masing mukmin mendapat bagiannya sesuai kadar keimanannya” [Al-Adabusy Syar’iyyah 2/280]
Jika kita tinjau dari sisi wujudnya musibah, maka musibah adalah perkara yang bukan merupakan amalan hamba, seorang hamba tidak memiliki pilihan dalam wujud atau tidaknya, berbeda dengan sabar, marah, ridho dan syukur, dalam perkara-perkara ini seorang hamba memiliki pilihan jika mau sabar ya sabar jika tidak ya tidak. Hikmah Alloh menuntut bahwa musibah–dimana hamba tidak ada pilihan- yang menimpa hamba-Nya yang beriman di dunia bukanlah sesuatu yang sia-sia. Alloh memberikan balasan berupa kepada hamba dengan semata-mata musibah yang ditimpakan-Nya, entah si hamba menerimanya dengan sabar atau tidak. Jika dia menerima dengan sabar maka dia akan mendapat balasan tambahan, apabila dia menerima dengan marah, maka kemarahan itulah yang menjadi dosa baru baginya.
Imam Al-Munawy Rahimahulloh mengatakan: “Yang bisa langsung dipetik dari hadits nabawi dan semisalnya bahwanya penghapusan dosa terjadi karena semata-mata sakit. Baik disertai kesabaran atau tidak” [Faidhul Qodir 1/ 569]
Imam Ibnu Abil ‘Izz Rahimahulloh mengatakan: “Musibah-musibah itu sendiri adalah penghapus dosa. Dengan kesabaran seorang hamba diberi pahala, dan sedengan kemarahan seorang hamba berdosa. Sabar dan marah adalah perkara lain diluar perkara musibah. Musibah adalah perbuatan Alloh bukan perbuatan hamba, ia adalah balasan dari Alloh bagi hamba atas dosanya, dengan musibah dihapuskan dosanya. Seorang hamba hanyalah diberi pahala dan dosa karena perbuatannya, sabar dan marah adalah perbuatan hamba”. [Syarhu ‘Aqidatit Thohawiyyah 310-311]
Adapun mengenai bertambahnya derajat -disamping penghapusan dosa- dengan semata-mata musibah (sebagaimana disebutkan di bab empat terdahulu), terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sebagian ulama berpendapat bahwa semata-mata musibah hanya bisa menggugurkan dosa, tidak lebih.
Pendapat tersebut disandarkan ke Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarroh Rodhiyallohu ‘Anhu. ‘Iyadh bin Ghutaif Rahimahulloh mengisahkan bahwa dia masuk menengok Abu ‘Ubaidah yang dalam keadaan sakit, ketika itu istrinya duduk di dekat kepalanya. Maka ‘Iyadh bertanya kepada istri Abu ‘Ubaidah: “Bagaimana keadaan Abu ‘Ubaidah semalam?”. Dia menjawab: “Beliau bermalam dengan pahala”. Abu ‘Ubaidah berkata: “Aku tidak bermalam dengan pahala” (Diriwayatkan Ahmad dll. Atsar ini didho’ifkan Syaikh Al-Albany di Adh-Dho’ifah 13/980 karena pada sanadnya terdapat ‘Iyadh bin Ghutaif dan Basyar bin Abi Saif, keduanya majhul)
Juga pendapat ini disandarkan kepada Abu Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu. Abu Ma’mar Al-Azdy Rahimahulloh mengatakan: “Dahulu jika kami mendengar sesuatu yang Ibnu Mas’ud yang tidak kami senangi maka kami diam sampai dia menerangkannya kepada kami. Suatu hari dia berkata kepada kami: “Sesunguhnya sakit tidak ditetapkan baginya pahala”. Maka hal itu menyesakkan dan berat bagi kami. Lantas dia berkata; “Akan tetapi dengan sakit dihapuskan dosa-dosa”. Dia menerangkan hal itu kepada kami dan mengagumkan kami” (Diriwayatkan Ibnu Abi Dunia di Al-Marodh wal Kaffarot 28. Semua periwayatnya tsiqoh, kecuali syaikhnya Ibnul Mubarok: ‘Abdurrohman Al-Mas’udy (anak dari cucu Ibnu Mas’ud). Ditsiqohkan Ibnul Madiny dan Ibnu Ma’in namun beberapa tahun sebelum wafat hapalannya rusak).
Kemungkinannya –seandainya kedua atsar di atas sah-: Hadits-hadits yang menyebutkan dengan gamblang tentang pengangkatan derajat dan penulisan kebaikan-kebaikan, tidak sampai kepada mereka. [Thorhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 3/240 karya Al-Hafizh Al-‘Iroqy dan disempurnakan oleh anaknya Abu Zur’ah Rahimahumalloh]
Karena itu jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa semata-mata musibah juga bisa mengangkat derajat. Diantara dalil yang paling kuat adalah hadits dari ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda –di akhir hadits-:
…  إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ
… kecuali dengan cobaan itu akan ditetapkan baginya derajat dan dihapus kesalahan darinya” (HR Muslim dll)
Al-Hafizh Ibnu Hajar ­Rahimahulloh mengatakan: “Hadits ini menuntut diperolehnya dua perkara bersamaan, pahala dan diangkatnya azab” [Fathul Bari 10/105]
Adapun riwayat lain dengan kata “atau”:
…  إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً، أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً
… kecuali dengan cobaan itu akan Alloh angkat derajatnya atau dihapus kesalahan darinya” (HR Ahmad dll dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha, asal hadits ini di Shohih Muslim)
Maka kemungkinannya:
Pertama, keraguan dari salah seorang periwayat [lihat Thorhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 3/240 dan Fathul Bari 10/105]
Kedua, Imam Ibnu Hajar Rahimahulloh mengatakan: Barangsiapa yang tidak memiliki dosa (yaitu terhapus –pent) maka ditambah derajatnya sesuai kadarnya, dan keutamaan Alloh luas. –sampai perkataan beliau- Sesungguhnya musibah adalah penghapus dosa yang setara dengannya (musibah- pent). Dengan keridhoan maka dia mendapat pahala atas ridhonya itu. Apabila orang yang terkena musibah tersebut tidak ada dosa lagi maka diganti dengan pahala yang sesuai dengannya” [Fathul Bari 10/105] Sebelumnya makna semisal juga telah disebutkan Al-‘Iroqy dan Abu Ja’far Ath-Thohawy Rahimahumalloh [lihat Thorhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 3/240 dan Syarh Musykilil Atsar 5/476]
Kemungkinan ketiga, ditinjau dari sisi musibah, maka ada sebagian musibah yang menghasilkan penghapusan dosa dan sebagiannya pengangkatan derajat [lihat Thorhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 3/240]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh memberikan perincian yang bagus  dalam masalah ini dimana pada prinsipnya musibah tidak secara mutlak bisa menghasilkan pahala, akan tetapi dilihat kepada sebab munculnya musibah tersebut. Beliau mengatakan: “Apabila seorang mukmin disakiti karena keimanannya, dia disuruh berbuat kekafiran, kefasikan atau maksiat, yang jika dia tidak melakukan maka dia akan disakiti dan disiksa, maka dia memilih rasa sakit dan siksaan untuk meninggalkan agamanya (yang dulu) baik berupa penjara atau keluar dari negeri mereka sebagaimana yang terjadi pada kaum muhajirin dimana mereka memilih meninggalkan tanah air mereka demi beripisah dengan agama (kekafiran), mereka juga disiksa dan disakiti –sampai perkataan beliau-
Apa-apa yang terjadi bagi kaum mukminin berupa gangguan dan musibah yang terjadi disebabkan pilihan mereka dalam rangka ketaatan kepada Alloh dan rosul-Nya -tidak seperti musibah-musibah yang diturunkan dari langit yang terjadi tanpa pilihan hamba- sejenis dengan dipenjaranya Yusuf -‘Alaihis Salam- (karena pilihannya –pent) bukan dari jenis terpisahnya dia dengan bapaknya (bukan karena pilihan Yusuf –pent). Jenis ini (musibah yang dipilih hamba demi menjalankan ketaatan kepada Alloh –pent) lebih mulia dari yang satunya (musibah yang terjadi bukan karena pilihan–pent), serta derajat orang-orangnya lebih agung. Pemilik musibah-musibah (yang tanpa pilihan –pent) diberi pahala karena kesabaran dan keridhoannya, serta dosanya dihapuska karena musibahnya. Sementara orang yang ditimpa musibah dan disakiti karena pilihannya dalam rangka ketaatan kepada Alloh, maka dia diberi pahala karena musibah itu sendiri, dan dituliskan baginya sebagai amalan-amalan sholih. Alloh Ta’ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Alloh, dan tidak pula menginjak suatu tempat yang membuat marah orang-orang kafir dan tidak menimpakan bencana kepada musuh kecuali semua itu akan dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan. Sungguh Alloh tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik” (QS At-Taubah 120)
Berbeda halnya dengan cobaan-cobaan yang berlangsung tanpa ada pilihan bagi seorang hamba, seperti sakit, kematian, hartanya kecurian. Maka hal-hal tersebut baru mendapat pahala dengan kesabaran, bukan semata-mata karena keberadaan musibah tersebut”. [Majmu’ul Fatawa 10/122-124]
Dalil-dalil sangat banyak mendukung perincian beliau ini yang menunjukkan bahwa sesuatu yang memberatkan hamba akibat menjalankan ketaatannya kepada Alloh bakal diganti dengan pahala baginya.
Seorang manusia, tidak mungkin tinggal di dunia senantiasa dalam keadaan senang. Namun ada hari dia senang, ada hari dia bersedih, ada hari dia mendapat sesuatu, ada harinya dia tidak mendapatkan sesuatu. Seseorang dicoba dengan cobaan-cobaan di jiwanya dan di badannya, di dalam bermasyarakat, dan di dalam keluarga. Tidak terhitung musibah-musibah yang menimpa seorang manusia, akan tetapi setiap perkara seorang mukmin adalah kebaikan, apabila dia mengalami kesuasahan maka itu adalah kebaikan baginya, apabila dia mengalami kelapangan maka itu adalah kebaikan baginya. Apabila engkau tertimpa musibah, jangan engkau kira kesedihan yang menimpamu atau sakit yang mendatangimu -walaupun duri-, jangan kamu kira akan berlalu sia-sia, bahkan akan digantikan dengan kebaikan dan akan menggugurkan dosa-dosamu sebagaimana gugurnya daun pepohonan, dan ini merupakan nikmat Alloh. Jika seseorang menambahnya dengan kesabaran dan mengharapkan  pahala maka dia akan mendapatkan pahala atas sikapnya itu. Maka musibah bisa dalam dua bentuk:
1. Terkadang seseorang jika tertimpa musibah, dia mengingat pahala yang bisa didapatkan dan mengharapkan pahala atas musibah itu kepada Alloh, maka dia mendapat dua faidah; penghapusan dosa dan tambahan kebaikan-kebaikan
2. Terkadang seseorang lalai dari mengingat hal itu (pahala –pent) sehingga hatinya menjadi sempit, lalai dari niat mengharap pahala atas musibah itu kepada Alloh, maka dia hanya mendapat pengampunan dosa.
Dengan demikian, bagaimanapun kondisinya, seorang muslim beruntung dengan musibah-musibah yang menimpanya. Baik keuntungannya berupa penghapusan kesalahan dan pengampunan dosa tanpa mendapatkan pahala karena dia tidak berniat apa-apa, tidak sabar dan tidak berharap pahala, atau bisa juga dia mendapatkan dua keuntungan sebagaimana dijelaskan sebelumnya” [Syarh Riyadhis Sholihin – Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh]
Namun tidak menutup kemungkinan juga adanya pengangkatan derajat –sebagaimana disebutkan- dan segenap keutamaan hanya milik-Nya. walhamdulillah
selesai bagian pertama …

[1] Al-‘Allamah As-Sa’dy Rahimahulloh dalam menafsirkan ayat ini mengatakan: “Alloh Ta’ala mengabarkan bahwa Dia mesti menguji hamba-hambanya dengan cobaan sehingga jelas mana yang jujur dari orang yang dusta, mana yang tidak sabar dari orang-orang yang sabar. Ini adalah sunnah-Nya ta’ala pada hamba-hamba-Nya. Karena kesenangan kalau terus menerus bagi orang-orang beriman dan tidak ada cobaan, akan terjadi pencampuran dengan kerusakan, sementara hikmah Alloh menuntut pembedaan antara orang-orang baik dengan orang-orang yang jelek. Inilah faidah cobaan, bukanlah dampak cobaan tersebut menghilangkan keimanan orang-orang beriman, tidak juga membuat mereka keluar dari agama mereka. Alloh tidak menyia-nyiakan keimanan orang-orang beriman” Selesai
[2] Dia senantiasa melakukan amalan tersebut, namun terhenti karena sakit