Rabu, 26 September 2012

Sakit: Pemutus Cerita – Pemupus Derita (Bag.2)

Judul asli: ’Iyaadah wa Ifaadah

ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Saddadahulloh
Darul Hadits – Dammaj, Yaman

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد
Bab Enam: SESUNGGUHNYA YANG MENYEMBUHKAN ADALAH ALLOH. DIALAH YANG MENCIPTAKAN PENYAKIT DAN OBATNYA[1]
Kholilulloh Ibrohim ‘Alaihis Salam mengatakan:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Apabila aku sakit maka Dia-lah yang menyembuhkan” (QS Asy-Syu’aro’ 80)
Yaitu: Apabila aku jatuh sakit maka tidak ada apapun yang mampu akan kesembuhanku, selain-Nya [Tafsir Ibnu Katsir]
Kesadaran seorang hamba bahwa sakit dan kesembuhannya hanyalah di tangan Alloh, sebenarnya merupakan langkah awal dan paling utama baginya untuk mencapai kesembuhannya. Karena hal ini akan memperkuat dirinya untuk menerima kenyataan dan mendorong dirinya untuk mencurahkan segenap pengharapan. Kondisi tersebut bakal membuat jiwa seorang mukmin menjadi tenteram, karena dia telah menyerahkan urusannya pada satu-satunya yang bisa menyelesaikannya. Dia meyakini bahwa sakit dan sembuhnya adalah kebaikan baginya dan semua tidak akan lari dari takdirnya. Hati yang tenang akan membuat ringan apa yang ada di badan. Sebaliknya orang yang tidak menyadari atau lemah kesadarannya tentang perkara ini, justru menambah sakit yang ada di badan dengan rasa sesak dan sempit yang ada di dada karena dia menyerahkan perkaranya kepada sesuatu yang bukan sebagai penentu baik kepada dokternya maupun kepada obatnya.
Abu Romtsah Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Aku dan ayahku pergi menemui Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, ketika itu aku masih anak-anak. Maka ayahku berkata kepada beliau: “Sesungguhnya aku adalah seorang Thobib maka perlihatkanlah kepadaku gumpalan daging yang ada dipunggungmu”. Beliau manjawab: “Apa yang akan engkau lakukan dengannya?”. Ayahku mengatakan: “Aku akan memotongnya”. Beliau berkata:
لست بطبيب ولكنك رفيق طبيبها الذي وضعها- وقال غيره- الذي خلقها
“Engkau bukanlah Thobib (yang menyembuhkan) akan tetapi engkau adalah perawat orang yang sakit. Adapun Thobibnya (Dzat yang menyembuhkannya) adalah yang meletakkannya” –periwayat (lain) mengatakan- “… adalah yang menciptakannya”. (HR Ahmad, dishohihkan Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil Rahimahullohu Ta’ala)
Karena memang pada kenyataannya seorang tabib atau dokter kerjanya adalah mendiagnosa suatu penyakit berdasar gejala yang ada dan memilih resep ataupun penanganan yang dipandang sesuai dengannya. Adapun kesembuhan semata-mata berada di tangan Alloh ‘Azza wa Jalla.
Pengharapan terhadap sesuatu yang keputusan tidak berada di tangannya justru akan berbuah kepada kekecewan yang bekal menjadi tekanan batin. Namun tidak berarti dengannya seseorang tidak berusaha mencari obat atau tidak berkonsultasi ke dokter. Karena pengharapan penuh kepada Alloh dan penempuhan sebab bukanlah sesuatu yang bertentangan, akan lewat pembahasannya insya Alloh Ta’ala.
Al Hafizh Ibnu Hajar Rohimahulloh mengatakan –dalam menjelaskan perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
أَنْتَ الشَافِي لا شَافِيَ إِلاَ أَنْتَ
“Engkaulah Asy Syafi (Yang Menyembuhkan) tidak ada yang menyembuhkan kecuali Engkau”. (HR Muslim dari ‘Aisyah)
”Padanya terdapat isyarat bahwasanya setiap obat dan pengobatan yang berhasil mesti kebetulan pas dengan yang Alloh Ta’ala takdirkan. Kalau tidak, tidak akan manjur. [Fathul Bari 10/207]

Hal itu sebagaimana sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
لكل داء دواء فإذا أصيب دواء الداء برأ بإذن الله عز وجل
“Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat mengenai penyakit maka akan pulih dengan izin Alloh ‘Azza wa Jalla”. (HR Muslim dari Jabir Rodhiyallohu ‘Anhu)
Imam An-Nawawy Rahimahulloh –dalam menjelaskan hadits ini dan yang semisal- mengatakan: “Padanya terdapat bantahan terhadap orang yang mengingkari pengobatan dari kalangan shufi ekstrim yang mengatakan bahwa: “Semuanya berjalan dengan ketetapan dan takdir Alloh, maka tidak butuh kepada pengobatan”. Sementara para ulama berdalil dengan hadits-hadits ini dan meyakini bahwa Allohlah yang menyembuhkan, adapun pengobatan  maka hal itu juga termasuk ke dalam takdir Alloh. Sebagaimana perintah untuk berdo’a, perintah untuk memerangi musyrikin bersamaan dengan (perintah) untuk membentengi diri dan (larangan) untuk menceburkan diri kepada kebinasaan, sementara ajal tidak berubah dan takdir-takdir tidak akan tertunda atau maju dari waktunya” [Syarh An-Nawawi ‘Ala muslim 14/191]
Bab Tujuh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh mengatakan: “Seorang hamba dalam takdirnya berada pada dua keadaan; Kondisi sebelum terjadinya takdir dan kondisi setelah terjadinya takdir. Sebelum terjadinya takdir, maka yang wajib baginya adalah meminta pertolongan kepada Alloh, bertawakkal dan berdo’a kepada-Nya. Apabila Alloh menetapkan takdir bukan karena sebab perbuatannya (bukan yang diharapkannya-pent), maka dia wajib bersabar dan ridho. Apabila takdir itu datang dengan sebab perbuatannya, maka itu adalah sebuah nikmat maka dia memuji Alloh karenanya”. [Majmu’ul Fatawa 8/76]
Beliau Rohimahulloh juga mengatakan: “Keridhoan dan tawakkal adalah dua pundak takdir. Tawakkal sebelum terjadinya, sementara keridhoan setelahnya. Karena itulah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam sholatnya mengatakan:
اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَكَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا وَالْقَصْدَ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَلَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَمِنْ فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مَهْدِيِّين
“Yaa Alloh, demi ilmu-Mu tentang perkara ghoib, dan kekuasaan-Mu atas segenap makhluk, hidupkanlah aku apabila Engkau tahu bahwa hidup lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku apabila kematian lebih baik bagiku. Aku memohon rasa takut kepadamu dalam kesendirian maupun di keramaian, serta aku memohon perkataan benar di kala marah ataupun ridho. Aku memohon kecukupan di saat miskin ataupun kaya. Aku memohon kelezatan melihat kepada wajah-Mu dan kerinduan akan perjumpaan dengan-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari kesempitan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Yaa Alloh hiasilah kami dengan hiasan keimanan dan jadikanlah kami orang-orang yang diberi dan memberi petunjuk” (HR Ahmad dan An-Nasa’iy, dari ‘Ammar bin Yaasir Rodhiyallohu ‘Anhu)[2]
Adapun apa yang dirasakan sebelum datangnya takdir maka itu adalah keinginan untuk bersikap ridho, bukan hakikat ridho itu sendiri” [Majmu’ul Fatawa 10/124]
Maka meminta tolong kepada Alloh, tawakkal kepada-Nya, sabar, ridho dan syukur, merupakan perkara-perkara yang sudah menjadi kemestian bagi seorang mukmin untuk berusaha agar perkara-perkara tersebut senantiasa bersamanya. Karena kita selalu beralih dari takdir yang satu ke takdir yang lain. Sekarang kita menderita sakit, bisa saja saat ini kita menghadapinya dalam keadaan marah, bisa jadi sedang gelisah, atau sebaliknya kita bisa menerimanya dengan sabar. Bahkan bisa saja kita menambah kesabaran dengan sikap ridho kemudian syukur.
Setelah ini kita akan berpindah ke takdir setelahnya. Kita tidak tahu apakah setelah ini penyakit yang kita derita akan berangsur sembuh atau malah bertambah parah. Makanya, kita butuh kepada sikap meminta pertolongan kepada alloh dan bertawakkal, serta do’a. Apabila datang takdirnya, kita bisa menerimanya dengan sikap pasrah, tawakkal dan sabar. Demikian seterusnya sampai meninggal. Dengan amalan-amalan seperti inilah seorang mukmin bisa menambah manfaat yang bisa dipetik dari sakit yang dideritanya. Karena pada amalan-amalan yang hamba diberikan pilihan (mau mengerjakannya atau tidak) terkait adanya dosa dan pahala. Masing-masingnya akan datang keutamaannya insya Allohu Ta’ala.
Bab Delapan: TAWAKKAL DAN PENGEMBALIAN SEGALA URUSAN KEPADA ALLOH SUBHANAHU WA TA’ALA
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إياك نعبد وإياك نستعين
“Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami meminta pertolongan” (QS Al-Fatihah ayat 4)
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh Ta’ala mengatakan: “Sesungguhnya agama ini adalah permintaan tolong dan peribadatan. Tawakkal merupakan permintaan tolong[3], sementara pengembalian perkara kepada Alloh adalah bentuk ibadah.” [Madarijus Salikin 2/113]
Hal ini sebagaimana perkataan Syu’aib ‘Alaihis Salam:
وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tidaklah aku mendapatkan taufik kecuali dengan pemberian Alloh, kepada-Nyalah  aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali” (QS Hud 88)
Demikian juga firman-Nya:
وَلِلهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
“Milik Alloh-lah segala rahasia di langit dan di bumi, serta kepada-Nyalah dikembalikan segala perkara. Maka ibadahilah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya” (QS Hud 123)
Dan perkataan orang-orang beriman:
رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Wahai Robb kami, kepada-Mulah kami bertawakkal dan kepada-Mulah kami rujuk  serta kepada-Mulah tempat kembali” (QS Al-Mumtahanah 4)
Juga firman Alloh Ta’ala:
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا  ^رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا
“Sebutlah nama Robbmu dan beribadahlah kepadanya dengan sepenuh hati. Robb timur dan barat, tidak ada yang berhak diibadahi selain dia. Maka jadikanlah Dia sebagai Dzat yang menjagamu” (QS Al-Muzammil 8)
Dan firman-nya:
قُلْ هُوَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ مَتَابِ
“Katakanlah wahai Muhammad: “Dialah Robb-ku kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepadanyalah aku kembali dalam segenap urusanku” (QS Ar-Ra’ad 40)
Apabila seorang hamba mengetahui bahwasanya yang mengatur segala perkara hanyalah Alloh dan sesuatu tidak akan terjadi kecuali dengan izin-Nya, maka dia akan menyadari bahwasanya tidak akan mungkin muncul keinginan darinya dan tidak mungkin dia mengamalkan sesuatu sampai Alloh mewujudkannya. Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan dan bersungguh-sungguh namun tidak tahu cara mencapai kebaikan itu. Berapa banyak orang yang sudah mengetahui jalan untuk mencapainya namun tidak diberi taufik untuk melaksanakannya, malah dia mendapatkan kelemahan dan kegelisahan pada dirinya, bukan karena dia tidak memiliki kemampuan dan kekuatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh mengatakan: “… dan kelompok yang lain, mereka bertujuan untuk mentaati Alloh dan rosul-Nya, namun tidak menerapkan sikap meminta tolong dan bertawakkal kepada Alloh. Maka orang-orang seperti ini, diberikan pahala atas niatnya dan atas ketaatannya, namun mereka tidak dibantu untuk mewujudkan tujuan mereka tersebut, disebabkan mereka tidak menerapkan sikap meminta tolong dan bertawakkal kepada Alloh. Akibatnya, diantara mereka ada yang diuji dengan kelemahan, kegelisahan, atau kekaguman pada diri sendiri. Apabila dia tidak mencapai kebaikan yang ingin ditujunya, maka itu disebabkan kelemahan dan kegelisahannya. Apabila dia merasa tujuannya tercapai, maka dia melihat kepada dirinya, merasa kagum dengan keadaannya dan menyangka bahwa keinginannya telah tercapai, maka dia tidak akan ditolong. Alloh Ta’ala mengatakan:
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“Pada hari perang Hunain ketika jumlah kalian yang besar membanggakan kalian, namun jumlah yang besar tersebut sama sekali tidak berguna bagi kalian, bumi yang luas tersa sempit bagi kalian, kemudian kalian berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang”. –sampai kepada firman-Nya-
ثُمَّ يَتُوبُ اللهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Setelah itu Alloh menerima taubat orang yang Dia kehendaki. Alloh adalah Ghofur (Maha Pengampun) dan Rohiim (Maha Pemberi Rahmat)”. (QS At-Taubah 25-27) [Majmu’ul Fatawa 10/ 277]
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
احرص على ما ينفعك واستعن بِالله ولا تعجز
“Bersemangatlah pada apa-apa yang bermanfaat bagimu serta mintalah pertolongan Alloh dan jangan lemah”. (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Beliau memerintahkan untuk bersemangat kepada yang bermanfaat, kalau demikian maka perkara tersebut termasuk ibadah. Bersamaan dengan itu beliau juga menyuruh untuk meminta pertolongan kepada Alloh. Sebagaimana firman Alloh:
إياك نعبد وإياك نستعين
“Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami meminta pertolongan” (QS Al-Fatihah ayat 4)
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Kebaikan semuanya ada pada semangat terhadap apa-apa yang bermanfaat. Ketika semangat seseorang serta perbuatannya hanyalah bisa terwujud dengan bantuan Alloh, keinginan dan taufik darinya, maka beliau menyuruh hamba tersebut untuk meminta pertolongan kepada-Nya agar terkumpul padanya kedudukan:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين
Karena semangatnya kepada apa yang bermanfaat baginya adalah ibadah kepada Alloh, dan ibadah tidak akan diselesaikan kecuali dengan pertolongannya. Maka beliau memerintahkan untuk mengibadahi-Nya kemudian mengatakan: “dan jangan lemah”, karena kelemahan meniadakan semangat kepada apa yang bermanfaat, serta meniadakan permintaan tolong kepada Alloh. Orang yang bersemangat pada apa yang bermanfaat baginya adalah orang yang meminta tolong kepada Alloh, bukan orang yang lemah” [Syifa’ul ‘Alil 1/19]
Demikian juga apa yang telah diwasiatkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada Mu’adz Rodhiyallohu ‘Anhu agar tidak meninggalkan do’a di penghujung setiap sholat:
اللَّهُمَّ أَعِنّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِك
“Yaa Alloh tolonglah aku untuk berdzikr, bersyukur kepada-Mu, dan kebagusan (dengan niat yang ikhlas dan sesuai dengan sunnah Nabi) dalam mengibadahi-Mu” (HR Abu Daud, dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahullohu Ta’ala)
Permintaan tolong kepada Alloh dalam berbagai perkara adalah sifat yang mesti ditanamkan pada jiwa setiap muslim dengannyalah kedudukannya akan terangkat di sisi Alloh. Dengannya seseorang akan menyadari kedudukannya dan kedudukan penciptanya. Seseorang baru bisa mendudukkan sesuatu pada tempatnya setelah dia mengetahui kedudukan sesuatu tersebut. Orang yang mengetahui besarnya ketergantungan dirinya kepada Alloh akan sadar akan kehinaan dirinya dan akan bertambah pengagungan dan pengharapannya kepada Robb-Nya.
‘Utsman bin ‘Affan Rodhiyallohu ‘Anhu diantara teladan yang senantiasa menanamkan sikap ini pada dirinya. Abu Musa Al-Asy’ary Rodhiyallohu ‘Anhu mengisahkan:
بينما رسول الله صلى الله عليه وسلم في حائط من حائط المدينة وهو متّكئ يركز بِعود معه بين الماء والطين إذا استفتح رجل فَقَال: افتح وبشره بالجنة. قال: فإذا أَبو بكر ففتحت له وبشرته بالجنة. قال: ثم استفتح رجل آخر فقال: افتح وبشره بالجنة. قال: فذهبت فإذا هو عمر ففتحت له وبشرته بالجنة ثم استفتح رجل آخر قال: فجلس النبي صلى الله عليه وسلم فقال: افتح وبشره بالجنة على بلوى تكون. قال: فذهبت فإذا هو عثمان بن عفان قال: ففتحت وبشرته بالجنة. قال: وقلت الذى قال. فقال: اللهم صبرا أو اللهُ المُسْتَعَان
Ketika Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berada di salah satu kebun (berpagar) diantara kebun-kebun Madinah, beliau dalam keadaan bertumpu dengan sepotong kayu diantara air dan tanah. Tiba-tiba seorang lelaki minta dibukakan (pintu kebun)”. Maka beliau berkata (kepadaku –Abu Musa): “Bukakan, dan berilah dia kabar gembira dengan surga”. Ternyata dia Abu Bakr, maka aku membukakan baginya dan kusampaikan kabar gembira berupa surga. Kemudian seorang lelaki yang lain minta dibukakan pintu, beliau berkata: “Bukakan, dan berilah dia kabar gembira dengan surga”. Lalu aku pun pergi ternyata dia ‘Umar, maka aku membukakan baginya dan kusampaikan kabar gembira berupa surga. Kemudian seorang lelaki yang lain minta dibukakan pintu, maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam duduk dan berkata: “Bukakan, dan berilah dia kabar gembira dengan surga atas cobaan yang bakal terjadi”. Lalu aku pun pergi ternyata dia ‘Utsman bin ‘Affan, maka aku membukakan baginya dan kusampaikan kabar gembira berupa surga, dan kusampaikan apa yang dikatakan (oleh Rosululloh). Maka dia (‘Utsman) berkata: “Yaa Alloh berilah aku kesabaran –atau- Alloh-lah tempat meminta pertolongan”. (HR Muslim)
Maka kesabaran dan selainnya dari amalan sholih merupakan perbuatan-perbuatan yang hamba memiliki pilihan, akan tetapi yang memberikan kesabaran adalah Alloh dan itu adalah perbuatan Alloh, maka hanya Dialah yang diminta untuk itu. Diantaranya adalah perkataan-Nya:
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِالله
“Bersabarlah wahai Muhammad, dan kesabaranmu adalah semata-mata dengan pertolongan Alloh” (QS An-Nahl 127)
Dan perkataan Hud ‘Alaihis Salam:
وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِالله
“Tidaklah aku mendapat taufik (kecocokan dengan kebenaran) kecuali dengan pertolongan Alloh”. (QS Hud 88)
Serta perkataan Tholut dan orang-orang beriman yang bersamanya:
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا
“Wahai Robb kami limpahkanlah kesabaran kepada kami”. (QS Al-Baqoroh 250)
Sesungguhnya hal itu mudah bagi orang yang Alloh mudahkan.
Bab Sembilan: MENEMPUH PENGOBATAN
Mengambil langkah pengobatan adalah perkara yang syar’i. Penggunaan obat bukanlah perkara yang membatalkan tawakkal, apabila dengan tidak semata-mata bersandar kepada obat, akan tetapi hanya bersandar kepada Alloh semata. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri berobat sementara beliau adalah teladannya orang-orang yang bertawakkal. Seperti hadist Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berbekam dan memberi upah tukang bekam dan beliau menggunakan obat yang dimasukkan ke hidung. (HR Bukhory).
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga menunjukkan umatnya kepada beberapa jenis obat, seperti hadist Jabir bin ‘Abdillah Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
إن كان في شيء من أدويتكم – أو يكون في شيء من أدويتكم – خير ففي شرطة محجم أو شربة عسل أو لذعة بنار توافق الداء وما أحب أن أكتوي.
“Apabila ada kebaikan pada sesuatu diantara pada obat-obat kalian –atau terdapat kebaikan pada sesuatu diantara obat-obat kalian- maka hal itu pada tusukan besi (bekam), minum madu dan atau sudutan dengan api )kay/ besi panas) yang mencocoki penyakit. Namun aku tidak menyukai kay.” (HR Bukhory)
Ibnu Baththol Rahimahulloh mengatakan: “Pada hadits Jabir terdapat pembolehan kay dan bekam, serta penjelasan bahwa kesembuhan ada pada keduanya. Karena beliau Shollallohu ‘Alaihu wa Sallami tidaklah menunjukkan sesuatu yang mengandung kesembuhan kepada umatnya kecuali pada perkara-perkara yang boleh mereka tempuh sebagai penyembuhan dan pengobatan”. [Syarh Shohih Al-Bukhory 9/404]
Demikian pula Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengarahkan para shahabatnya untuk berobat sebagaimana di hadist Usamah bin Syarik Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
تداووا عباد الله فإن الله سبحانه لم يضع داء إلا وضع معه شفاء إلا الهرم.
“Berobatlah kalian wahai hamba Alloh, karena Alloh Subhanah tidak menjadikan penyakit melainkan menciptakan bersamanya penyembuh, kecuali kepikunan”. (HR Ibnu Majah dishohihkan Syaikh Muqbil dan Syaikh Al-Albany).
Al-Munawy Rahimahulloh mengatakan: “Penyifatan mereka dengan penghambaan, merupakan pengumuman (Rosululloh) bahwa pengobatan tidak mengeluarkan mereka dari tawakkal yang merupakan syarat penghambaan (kepada Alloh). Maksudnya: “Berobatlah kalian dan janganlah kalian bertumpu dalam kesembuhan kepada pengobatan, akan tetapi jadilah hamba-hamba Alloh yang bertawakkal kepada-Nya” [Fathul Qodir 3/ 312]
Abul ‘Ala Al-Mubarokfury Rahimahulloh mengatakan: “Beliau telah menyuruh untuk berobat dan berdo’a meski apa yang ditakdirkan mesti terjadi. Karena –terjadi tidaknya- takdir tersebut tersembunyi dari manusia. Manusia tidak mengetahui apa yang telah Alloh takdirkan baginya karena dia hanya bisa mengetahui takdir setelah terjadinya”. [Tuhfatul Ahwazy 6/289]
Beliau menukilkan dari Al-’Ainy Rahimahulloh: “Pada hadits tersebut terdapat pembolehan pengobatan dan ilmu kedokteran. Hal ini merupakan bantahan terhadap kaum sufi yang mengatakan bahwa derajat wali tidak sempurna kecuali dengan keridhoan terhadap setiap bala yang menimpa, serta tidak boleh baginya untuk berobat. Sementara hal tersebut menyelisihi apa yang dibolehkan syari’at”. [Tuhfatul Ahwazy 6/159]
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Adapun orang yang menyangka bahwa tawakkal tidak butuh kepada sebab-sebab yang diperintahkan, maka ini adalah sebuah kesesatan. Hal ini seperti orang yang menyangka bahwa dirinya sedang bertawakkal atas apa yang ditakdirkan baginya -berupa kebahagian dan kesengsaraan- tanpa melakukan apa yang Alloh perintahkan kepadanya. Masalah ini termasuk perkara yang pernah ditanyakan kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana di Shohihain, beliau berkata:
ما منكم من أحد إلا وقد كتب مقعده من الجنة والنار
“Tidak seorangpun dari kalian melainkan telah ditempatkan posisinya di surga atau neraka”.
Lalu dikatakan kepada beliau: “Wahai Rosululloh, maka tidakkah kita meninggalkan amalan dan bertumpu saja pada apa yang (ditakdirkan) di Al-Kitab?”. Beliau menjawab:
لا اعملوا فكل ميسر لما خلق له
“Tidak, beramallah kalian. Masing-masing orang dimudahkan untuk mendapatkan apa yang diciptakan baginya”.
-sampai ke perkataan beliau- maka (hanya) menaruh perhatian kepada sebab adalah kesyirikan dalam ketauhidan, menolak sebab sebagai sebab adalah kekurangan pada akal, berpaling dari sebab yang diperintahkan adalah celaan terhadap syari’at. Maka wajib bagi seorang hamba agar hatinya senantiasa bertumpu kepada Alloh bukan kepada sebab dari sebab-sebab yang ada. Allohlah yang memudahkan baginya untuk menjalani sebab yang menghasilkan maslahat baginya di dunia dan akhirat. Apabila ditakdirkan baginya (penempuhan) sebab dan dia diperintahkan untuk itu, maka dia mengerjakannya bersamaan dengan ketawakkalannya kepada Alloh”. [Majmu’ul Fatawa 8/528-529]
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Pada hadits-hadits yang shohih terdapat perintah untuk berobat, dan bahwasanya hal tersebut tidak meniadakan sikap tawakkal sebagaimana kelaparan, kehausan, kepanasan dan kedinginan ditolak dengan lawan-lawannya. Bahkan tidak tercapai hakikat tauhid kecuali dengan menempuh langsung sebab-sebab yang telah Alloh tetapkan dampak-dampak dari sebab-sebab tersebut secara ukuran maupun ketentuan syari’at. Penolakan masalah ini merupakan celaan pada sikap tawakkal itu sendiri, sebagai hal itu juga merupakan celaan terhadap perintah dan hikmah Alloh. Penolakannya juga melemahkan sikap tawakkal, dari sisi orang yang menolak sebab itu menduga bahwa meninggalkan sebab-sebab lebih menguatkan tawakkal, sementara sesungguhnya sikap penolakan tersebut adalah sebuah kelemahan yang meniadakan tawakkal. Tawakkal pada hakikatnya merupakan penyandaran hati kepada Alloh dalam mendapatkan apa yang bermanfaat bagi seorang hamba di agama dan dunianya, serta menolak apa yang membahayakannya pada agama dan dunianya. Penyandaran hati ini mesti dengan penempuhan sebab, kalau tidak maka itu adalah bentuk penolakan terhadap hikmah Alloh dan syari’at. Maka janganlah seorang hamba menjadikan kelemahannya sebagai bentuk tawakkal dan menjadikan tawakkalnya sebagai sebuah kelemahan. [Zaadul Ma’ad 4/15]
Beberapa hikayat yang menakjubkan terkadang mendorong seseorang untuk meneladani, walaupun tanpa disadari terdapat penyelisihan terhadap hikmah syari’at. Termasuk di dalamnya kisah-kisah berbau shufiyyah yang memalingkan makna tawakkal kepada kelemahan diri bahkan dianggap sebagai karomah. Berikut salah satu hikayat yang dibawakan Al-Khotib Al-Baghdady Rahimahulloh terkait masalah ini:
Abu Hamzah Ash-Shufy mengatakan: “Aku melakukan perjalanan dengan modal tawakkal. Pada suatu malam dalam perjalanan, mataku terpejam kareka kantuk sehingga aku terjatuh ke dalam sebuah lubang sumur. Aku mendapatkan diriku sudah berada di dalamnya dan aku merasa bahwa aku tidak mampu untuk keluar karena tingginya bibir sumur tesebut, maka akupun duduk di dalamnya. Ketika aku duduk tersebut, dua orang lelaki berhenti di pinggir sumur tersebut. Maka salah satu diantara mereka berkata kepada temannya: “Apakah kita lanjut dan kita tinggal kan lubang ini di jalan orang yang lewat?”. Yang satunya berkata: “Terus apa yang kita lakukan?”. Temannya menjawab: “Kita timbun”.
Maka hatiku segera ingin berkata: “Aku di dalam!!”.  Namun aku diseru: “Engkau bertawakkal kepada kami kemudian engkau mengadukan cobaan kami kepada selain kami?”. Akupun diam, lalu kedua orang tersebut berlalu kemudian kembali membawa sesuatu yang mereka gunakan menutup bibir sumur. Hatiku berkata: “Engkau aman dari timbunan namun sekarang engkau terpenjara di dalamnya”. maka tinggallah aku di situ siang dan malam. Sampai keesokan harinya, suatu teriakan memanggilku namun aku tidak melihatnya. Teriakan itu sangat kuat mempengaruhiki. Maka akupun menjulurkan tanganku, sampai aku meraba sesuatu yang kasar lalu aku berpegang kepadanya. Kemudian dia menarikku ke atas dan melemparkanku. Sesampai di atas aku ceermati ternya ia adalah hewan buas. Ketika melihatnya timbullah di hatiku sesuatu yang biasa muncul ketika melihatnya. Lalu datanglah seruan: “Wahai Abu Hamzah kami telah menyelamatkanmu dari cobaan dengan cobaan dan kami atasi rasa takutmu dengan sesuatu yang kamu takuti”. [Tarikh Baghdad 1/391]
Terlepas dari shohih atau tidaknya kisah ini, Ibnul Jauzi Rahimahulloh mengomentari kisah di atas: “Dia salah dalam perbuatannya, menyelisihi syari’at dengan sikap diamnya, kebisuannya menolong  untuk membibasakan dirinya sendiri. Sementara yang wajib baginya adalah berteriak dan mencegah orang yang mau menimbun sumur sebagaimana wajib baginya untuk menghalangi orang yang mau membunuhnya. Perkataannya (dalam riwayat lain –pen): “Aku tidak akan meminta tolong”, sama seperti perkataan orang: “Aku tidak akan makan makanan dan tidak akan minum air”, ini adalah sebuah kebodohan dari pelakunya, menyelisihi hikmah diadakannya dunia karena Alloh meletakkan sesuatu di atas hikmah. Alloh menciptakan tangan bagi manusia dengannya bisa mendorong, diberi mulut dengannya bisa berbicara, diberi akal yang bisa menunjukinya untuk menolak bahaya dan mendatangkan maslahat, dan Alloh menciptakan bahan makanan dan obat-obatan untuk maslahat manusia. Barangsiapa yang tidak mau menggunakan sesuatu yang diciptakan baginya dan dia diarahkan kepadanya, maka dia telah menolak syari’at dan menentang hikmah sang Pencipta.
Seandainya ada yang mengatakan: “Bagaimana bisa aku menjaga diri bersama adanya perkara telah ditakdirkan?”. Kita katakan: “Kenapa dia tidak menjaga diri bersama adanya perkara telah ditakdirkan?”. Alloh Subhanahu wa ta’ala mengatakan:
خُذُوا حِذْرَكُمْ
Bersiap siagalah kalian” (QS An-Nisa’ 71)
Sengguh Nabi bersembunyi di gua (ketika dikejar musyrikin –pen), dan beliau berkata kepada Suroqoh: “Rahasiakan kami”. Beliau menyewa petunjuk jalan ke Madinah, beliau tidak mengatakan: “Aku melakukan perjalanan dengan modal tawakkal”. Terus-menerus raga beliau bersama sebab dan jiwanya bersama yang menciptakan sebab. Telah kami terangkan hukum pokok masalah ini pada pembahsan terdahulu.
Perkataan Abu Hamzah: “Panggilan dari hatiku”. Ini adlah bisikan hati yang bodoh, yang telah tetap pada hati tersebut kebodohan bahwasanya tawakkal adalah meninggalkan sebab-sebab. Karena syari’at tidak pernah menuntut seseorang untuk mengerjakan yang terlarang. Kenapa hatinya tidak melarangnya ketika dia mengangkat tangannya, bergantung dan berpegang kepada sesuatu yang dijulurkan kepadanya? karena sungguh hal itu juga telah membatalkan apa yang dinamakan tawakkal oleh orang yang mengklaim tawakkal dengan bentuk meninggalkan sebab-sebab. Apa bedanya, dia mengatakan: “Saya di sumur” dengan berpegangnya dia dengan sesuatu yang dijulurkan kepadanya?. Bahkan perbuatannya lebih tegas dari perkataannya (tawakkal tanpa sebab –pent). Kenapa dia tidak diam saja sehingga dia bisa diangkat tanpa sebab?.
Apabila dikatakan: “(Binatang buas) ini Alloh utus untukku”. Kita katakan: “Orang yang melewati sumur tersebut sia[a yang mengutusnya? Lidah orang yang meminta pertolongan siapa yang menciptakannya?. Sungguh jika dia minta tolong maka dia telah menggunakan sebab yang diciptakan oleh Alloh Ta’ala dan bermanfaat beginya untuk menolak bahaya. Namun dia tidak menggunakannya, justru dengan diamnya dia menolak sebab-sebab yang Alloh ciptakan dan menolak hikmah.” [Talbis Iblis 304]
Dengan demikian jelaslah bahwa penempuhan sebab diantaranya pengobatan diantara bentuk penerapan sikap tawakkal, bukan menguranginya.
Syaikh Muqbil Rahimahulloh mengatakan: “Jika engkau telah mengetahui bahwasanya tidak ada sesuatu yang terjadi kecuali dengan pengaturan Alloh, maka engkau hanya akan bersandar kepada-Nya. Tidak mengapa menempuh sebab tanpa bersandar kepadanya semata. Karena semata-mata bersandar kepada sebab adalah kesyirikan, dan tidak menempuh sebab adalah celaan terhadap syari’at”. [Al-Jami’ush Shohih fil Qodar 123]
Al-‘Allamah Ibnu Baz Rahimahulloh mengatakan: “Aku katakan –dengan meminta pertolongan Alloh- bahwa menempuh pengobatan hukumnya boleh secara ijma’. Boleh bagi seorang muslim untuk pergi ke dokter penyakit dalam, luka luar, syaraf dan yang semisalnya untuk memeriksakan penyakitnya dan mengobatinya dengan obat-obat yang mencocokinya yang dibolehkan secara syari’at berdasar apa-apa yang telah dikenal di ilmu kedokteran, Karena hal tersebut termasuk upaya pengambilan obat yang tidak meniadakan tawakkal kepada Alloh. Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan obat bersamanya, maka tahulah yang tahu dan bodohlah yang bodoh. Akan tetapi Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan kesembuhan bagi hambanya pada apa-apa yang Dia haramkan bagi mereka”. [Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin 3/274]
Larangan pengobatan dengan memakai obat atau metode yang haram, sebagaimana di hadist Abu Darda’ Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
إن الله خلق الداء و الدواء، فتداووا، ولا تتداووا بحرام
“Sesungguhnya Alloh menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah kalian. Dan janganlah kalian berobat dengan yang harom”. (HR Ad-Daulaby, dihasankan Syaikh Albany Rahimahullohu Ta’ala)
Faidah: Imam Al-Maziry Rahimahulloh mengingatkan tentang perkara yang dikira sebagian orang bertentangan dengan perkataan beliau “Setiap penyakit ada obatnya”, dimana banyak didapatkan pada kasus orang-orang yang sakit kemudian berobat tapi mereka tidak sembuh-sembuh: “Hal itu karena luputnya pengetahuan tentang hakikat pengobatan, bukan karena tidak adanya obat” [lihat Syarh Asy-Syuyuthi ‘Ala Muslim 5/219]
Jadi tidak ada alasan bagi orang yang menggunakan obat yang haram atau metode yang haram untuk penyembuhan dengan alasan tidak ada obat, karena pada kenyataannya obat yang metode yang halal ada namun, ketidaktahuan atau ketidaksabaranlah yang mendorong mereka untuk melakukannya.
Kondisi seperti ini sudah terjadi di zaman Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri, ketika beliau melarang pengkonsumsian khomr (minuman yang memabukkan) maka Thoriq bin Suwaid Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Sesungguhnya aku membuatnya untuk obat”. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:
إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ، وَلَكِنَّهُ دَاء
“Sesungguhnya dia bukan obat tapi penyakit” (HR Muslim dari Wa’il bin Hujr Rodhiyallohu ‘Anhu)
Imam An-Nawawy Rahimahulloh mengatakan: “Pada hadits ini terdapat pernyataan bahwasanya khomr (minuman yang memabukkan) bukanlah obat. Maka diharamkan melakukan pengobatan dengannya karena dia bukan obat, sehingga seolah-olah penggunaannya adalah pemakaian (khomr) tanpa sebab. Inilah yang shohih di sisi ashabuna (para ulama syafi’iyyah) bahwasanya diharamkan pengobatan dengannya, demikian juga meminumnya bagi orang yang kehausan. Adapun jika tersekat segumpal makanan di tenggorokannya, sementara dia tidak mendapatkan apa pun –selain khomr- yang bisa membantunya untuk menelannya maka dia harus meminumnya (khomr) untuk membantu menelan makanan tersebut karena terjadinya kesembuhan dengannya meyakinkan, berbeda dengan pengobatan”. [Syarh An-Nawawy ‘Ala Muslim 13 153]
Dengan demikian jelaslah kekeliruan sebagian orang yang memakai pengobatan yang haram seperti minum khomr, kencing (manusia), makan daging babi dll, atau datang ke dukun dsb, kemudian beralasan dengan kaidah:
إن الضرورات تبيح المحظورات
“Sesungguhnya perkara-perkara dhoruroh membolehkan (pemakaian) perkara-perkara yang haram”
Karena diantara syarat penggunaan kaidah ini adalah:
-          Dhorurah tersebut tidak bisa ditanggulangi kecuali dengan menggunakan perkara haram tersebut, yaitu tidak ada cara lain yang bisa mengatasi dhoruroh tersebut.
-          Dhorurah tersebut memang –secara yakin- bisa diatasi dengan perkara tersebut. Kalau tidak maka tetap pada keharamannya. Demikian juga kalau kita ragu maka tetap pada keharamannya, karena menggunakan perkara yang haram jelas mafsadanya, sementara teratasinya dhoruroh dengannya adalah perkara yang meragukan. Maka tidak boleh melanggar sebuah keharaman yang meyakinkan karena sesuatu yang meragukan”.
[Lihat syarat-syarat yang lain di Al-Mufashshol fil Qowa’idil Fiqhiyyah 242-247, Ad-Durorul Bahiyyah Syarh Manzhumatil Qowa’idil Fiqhiyyah 112-114].
Hadits-hadits di atas dengan gamblang menyatakan bahwa ada pengobatan yang mubah (boleh) untuk setiap penyakit sehingga tidak bisa perkara haram dipakai untuk pengobatan.
Bab Sepuluh: SABAR
Setelah kita mengetahui bahwasanya sakit yang menimpa anda merupakan sesuatu yang telah Alloh takdirkan, dan ia merupakan pintu bagi anda untuk menggapai manfaat yang melimpah -hanya Alloh yang mengetahuinya-. Bersemangatlah dalam menjaga manfaat yang diperoleh dari sakit yang anda rasakan tersebut, dan itu didapatkan dengan senantiasa bersikap sabar yang hukumnya adalah wajib.
Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Imam Ahmad mengatakan: “Sabar disebutkan di Al Qur’an pada sekitar sembilan puluh tempat dan hukumnya wajib dengan ijma’ umat”. [Madarijus Salikin 2/152]
Kesabaran yang sempurna, diperoleh dengan melatih kesabaran, menghindari kegelisahan (keluh-kesah) dan pengaduan kepada orang lain.
Adapun melatih kesabaran, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Salla bersabda:
ومن يتصبر يصبره الله وما أعطي أحد عطاء خيرا وأوسع من الصبر.
“Barangsiapa yang melatih kesabaran, maka Alloh akan membuatnya sabar. Seseorang tidaklah diberi dengan sebuah pemberian yang lebih baik dan luas daripada kesabaran”. (HR Bukhory-Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu’ Anhu)
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Tidak diragukan bahwa proses penyabaran diri menyatakan adanya pembebanan diri dan upaya menahan sesuatu yang dibenci. Namun hal tersebut adalah sebuah keharusan untuk mencapai kesabaran, itulah sebab untuk menggapai kesabaran. Maka proses penyabaran diri (dimulai) dari hamba sementara kesabaran adalah buahnya yang diberikan Alloh jika hamba tersebut meminta dan menahan beban, sebagaimana sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang melatih kesabaran, maka Alloh akan membuatnya sabar”. Kedudukan proses penyabaran diri dengan kesabaran, seperti kedudukan belajar dan berusaha memahami dengan ilmu dan pemahaman. Maka hal itu wajib untuk mendapatkan kesabaran”. [Thoriqul Hijrotain 405]
Adapun menghindari kegelisahan (keluh-kesah), sebagaimana di hadist Mahmud bin Labid Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
إذا أحب الله قوما ابتلاهم فمن صبر فله الصبر ومن جزع فله الجزع.
“Sesungguhnya jika Alloh mencintai suatu kaum, maka Dia menguji mereka. barangsiapa yang sabar maka akan mendapat (pahala kesabaran) dan barangsiapa yang gelisah (keluh kesah) maka baginya kegelisahan”. (HR Ahmad, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Kesabaran dan kegelisahan (keluh kesah) adalah dua perkara yang bertolak belakang, karena itulah keduanya diperbandingkan satu sama lain. Alloh Ta’ala menyebutkan tentang perkataan penduduk neraka:
سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِنْ مَحِيصٍ
“Sama saja bagi kita apakah kita mengeluh atau bersabar, kita tetap tidak memiliki tempat untuk melarikan diri” (QS Ibrohim 21)
Keluh-kesah adalah teman dan saudara kelemahan sementara kesabaran adalah teman dan komponen dari kecerdasan “. [‘Uddatush Shobirin 10]
Hal ini bukan berarti tidak boleh ada rasa risau ataupun kegelisahan di hati, karena hal-hal tersebut adalah perkara yang sangat berat dielakkan seorang hamba. Namun selama hal tersebut tidak melampaui kadar yang dibenarkan, maka hal tersebut tidak meniadakan kesabaran.
Al-‘Aini Rahimahulloh mengatakan: “Adapun kegelisahan, kesedihan yang ada di hati serta menetesnya air mata, sesungguhnya hal itu tidak mengeluarkan seorang hamba dari makna orang-orang yang sabar apabila dia tidak sampai melakukan perkara yang tidak boleh dilakukan. Karena kegelisahan ketika musibah merupakan tabiat jiwa anak Adam”. [‘Umdatul Qori’ 12/343]
Adapun menjauhi pengaduan kepada orang lain, sebagaimana di hadist Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
قال الله تعالى: إذا ابتليت عبدي المؤمن فلم يشكني إلى عواده أطلقته من إساري ثم أبدلته لحما خيرا من لحمه ودما خيرا من دمه ثم يستأنف العمل
“Alloh Ta’ala mengatakan: “Apabila Aku memberikan cobaan kepada hamba-Ku yang beriman, dia tidak mengadukan penyakit yang dideritanya kepada orang yang mengunjunginya, Aku lepaskan dia dari sakit itu, kemudian akan Kuganti dengan daging yang lebih baik dari dagingnya dan darah yang lebih baik dari darahnya, lalu dia memulai amalan yang baru (kesalahan yang lalu telah terhapuskan –pent)”. (HR Hakim Dishohihkan Syaikh Al-Albany di Shohihul Jami’)
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Terdapat perbedaan antara mengabarkan keadaan dengan mengadukannya, walaupun samar bentuknya. Adapun mengabarkan keadaan, maka orang yang mengabarkan memiliki tujuan yang betul seperti memberitahu sebabnya atau meminta uzur kepada saudaranya pada perkara yang dituntutnya, atau dia ingin memperingatkan orang lain agar tidak jatuh seperti apa yang menimpanya sehingga justru dia yang menjadi penasehat, atau mengarahkan pembicaraan kepada kesabaran sehingga orang bisa mencontohnya. Seperti kisah Al-Ahnaf, bahwasanya dia berkata kepada seseorang: “Wahai anak saudaraku, cahaya kedua mataku telah hilang sejak sekian tahun, namun aku tidak pernah memberitahukan kepada seorangpun.”
Pada kabarnya ini, dia menyampaikan berita penyakitnya, mengarahkan beritanya agar kisahnya dijadikan contoh, dan kepada kesabaran yang menyebabkan dia diberi pahala. Bentuknya adalah bentuk pengaduan, namun tujuan menjadi pembeda keduanya. –sampai perkataan beliau-
Adapun pengaduan adalah pengkabaran yang tidak memiliki tujuan yang benar, dasarnya cuma kemarahan atau sekedar ingin mengeluhkan penderitaannya kepada yang lain. Apabila dia mengadu kepada Alloh maka itu bukanlah seperti keluhan (kepada manusia) akan tetapi minta agar dikasihani, diperhatikan dan dirahmati. Seperti perkataan Nabi Ayyub:
ربي أني مسني الضر وأنت أرحم الراحمين
“Wahai Robb-ku sungguh aku telah ditimpa penyakit, sementara Engkau adalah Yang Paling Pemberi Rahmat” (QS Al-Anbiya’ 83)
-sampai perkataan beliau- pengaduan kepada Alloh sama sekali tidak meniadakan kesabaran, karena Alloh mengatakan tentang Ayyub:
إنا وجدناه صابرا نعم العبد إنه أواب
“Sesungguhnya Kami dapati dia sebagai orang yang sabar” (QS Shod 44) [Ar-Ruh 258-259]
Beliau Rahimahulloh juga mengatakan: “Adapun memberitakan keadaan kepada orang lain, apabila tujuannya agar meminta agar diarahkan, bantuan dan upaya untuk menghilangkan sesuatu yang darurat, maka hal itu tidak mencacati kesabaran. Seperti pengkabaran pasien kepada dokter, orang yang dizholimi kepada orang yang bisa menolongnya atau orang yang tertimpa musibah kepada orang yang diharapkan bisa mencarikan jalan keluar. Dahulu Nabi jika mendatangi orang sakit beliau bertanya: “Bagaimana kondisimu,”. Ini adalah bentuk permintaan keterangan dan pengkabaran darinya tentang kondisinya”. [‘Uddatus Shobirin 232]
Bab Sebelas: BERHARAP PAHALA
Kemudian perlu dipahami, bahwasanya pahala yang diperoleh dari kesabaran hanya bisa didapatkan dengan mengharapkannya. Terkadang seseorang bersabar dikarenakan rasa wibawa, sehingga dia bisa menahan sakit yang dideritanya. Tidak terlihat beda pada orang yang kelihatan sabar apakah dia diberi pahala atau tidak. Karena kesabaran terhadap musibah jenis yang bisa dicapai seorang muslim, kafir bahkan binatang.
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Musibah yang menimpa orang-orang yang beriman kepada Alloh, disertai keridhoan[4] dan mengharapkan pahala. Apabila mereka tidak bisa mencapai derajat ridho, maka pegangan mereka adalah kesabaran dan mengharap pahala, dimana hal itu akan meringankan beratnya cobaan dan ujian mereka. Karena setiap kali mereka melihat imbalannya, mereka akan ringan memikul kesusahan dan cobaan. Sementara orang kafir, tidak ada keridhoan pada mereka, tidak mengharapkan pahala. Adapun kalau mereka bersabar, maka sabar mereka seperti sabarnya binatang ternak”. [Ighotsatul Lahfan 2/187]
Al-Alusy Rahimahulloh berkata dalam tafsir perkataan Alloh Ta’ala:
إِن تَكُونُواْ تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمونَ وَتَرْجُونَ مِنَ الله مَا لاَ يَرْجُونَ
“Apabila kalian merasakan sakit maka sesungguhnya mereka juga merasakan sakit, sementara kalian mengharapkan apa yang tidak mereka harapkan” (QS An-Nisa’ 104)
“Yakni: Tidaklah yang kalian peroleh berupa rasa sakit, hanya khusus bagi kalian. Akan tetapi perkara tersebut sama antara kalian dan mereka. Kemudian mereka bersabar atas hal itu, terus kenapa kalian tidak bisa bersabar, padahal kalian lebih utama untuk bersabar dari mereka, dari sisi kalian berharap dan menginginkan sesuatu yang tidak terlintas di benak mereka yaitu unggulnya agama kalian diatas seluruh agama, serta pahala yang melimpah dan kenikmatan yang abadi di akhirat”. Selesai penukilan
Diantara yang bisa menolong anda untuk bersabar dan berharap pahala adalah merenungkan kekuasaan Alloh, dan dalil-dalil syar’i serta melihat dampak yang terpuji, serta menguatkan diri dengan melihat kepada musibah yang telah menimpa orang-orang yang lebih mulia dari anda.[5]
Ibnu Muflih Rahihahulloh mengatakan: “Apabila seorang hamba mengetahui bahwa dirinya dan apa yang dimilikinya pada hakikatnya adalah milik Alloh, karena Dialah yang menciptakannya dari tidak ada kemudian Dia juga yang memusnahkannya. Dialah yang menjaga hamba ketika ada, dan hamba tidak bisa bertindak kecuali apa yang dibolehkan baginya, serta tempat kembalinya adalah kepada Alloh …
dan bahwasanya apa yang menimpanya tak akan bisa dielakkan serta apa ang dielakkan darinya tak bakal menimpanya …
dan bahwasanya kalau Alloh berkehendak maka bisa saja Dia menjadikan musibahnya lebih dahsyat dari yang sekarang.
Serta kalau dia bersabar maka Alloh akan menggantikan baginya dengan sesuatu yang lebih utama dari apa yang luput darinya.
Bahwasanya musibah tidak khusus baginya, sehingga dia bisa meneladani orang-orang yang telah tertimpa musibah.
Bahwasanya sebagian musibah lebih besar dari yang lain.
Bahwasanya kesenangan dunia –bersamaan dengan keminiman dan terputus-putusnya- adalah sesuatu yang susah dicapai …
Dan hamba mengetahui bahwasanya keluh-kesah tidak bisa menolak musibah bahkan itulah adalah kepedihan yang menambah musibah tersebut.
Bahwasanya hal itu akan membuat musuhnya senang, dan membuat sedih orang yang mencintainya.
Bahwasanya luputnya pahala akibat keluh kesah lebih besar nilainya dari musibah itu sendiri, diantaranya Baitul Hamd yang dibangunkan baginya di surga atas pujiannya (mengucapkan Alhamdulillah) dan istirja’nya (mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji’un) …
Dan mengetahui bahwa ujung-ujungnya hanyalah kesabaran, dengannya dia diberi pahala …
Dan mengetahui bahwasanya kalaulah bukan sebab musibah-musibah maka sungguh hamba akan menjadi angkuh, semena-mena, dan melampaui batas. Dengan adanya musibah, seorang hamba terlindungi dari hal-hal tersebut dan dibersihkan dari kejelekan yang ada …
Dan mengetahui bahwasanya kepahitan di dunia adalah kemanisan di akhirat dan sebaliknya …
Dan mengetahui bahwasanya dia mencintai Robbnya, apabila dia membuat-Nya marah maka dia telah berdusta dalam pengakuan akan kecintaan kepada-Nya …
Dan mengetahui bahwasanya tingkatan-tingkatan kesempurnaan tergantung dengan kesabaran dan sebaliknya. Paling minim dia tidak sampai berprasangka jelek kepada Robbnya atas takdir yang ditetapkan baginya …
Apabila hamba mengetahui perkara-perkara tersebut, menelaah dan menimbangnya maka dia akan bersabar dan mengharap pahala, sehingga dia akan mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat dengan sesuatu yang hanya diketahui oleh Alloh Subhanahu”. [Al-Adabusy Syar’iyyah 2/282-288]
Ujian kesabaran adalah ketika awalnya disadarinya cobaan, Sebagaimana di Shohih Bukhory, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إنما الصبر عند الصدمة الأولى.
“Kesabaran itu hanyalah pada benturan pertama”. (HR Bukhory dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahulloh mengatakan: “Dalam riwayat lain: “Hukum-humnya ketika pertama kali datangnya musibah”, dan makna semisal diriwayatkan Muslim. Maknanya adalah: Apabila kekokohan terjadi pada pertama kali sesuatu – berupa tuntutan-tuntutan untuk berkeluh kesah- menyerang hati, maka itulah kesabaran sempurna yang menyebabkan tergapainya pahala”. [Fathul Bary 3/149]
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: ”Kesabaran yang diberi pahala adalah kesabaran yang muncul pada awal kali datangnya musibah, inilah kesabaran. Adapun kesabaran yang muncul setelah itu, bisa saja itu sekedar menghibur diri sebagaimana binatang ternak menghibur dirinya. Maka kesabaran, pada hakikatnya adalah bahwasanya seseorang jika diterpa pada pertama kalinya, dia bersabar, berharap pahala, dan baiknya dia mengatakan:
إنا لله وإنا إليه راجعون اللهم أجرني في مصيبتي واخلف لي خيراً منها
“Sesungguhnya kita adalah milik Alloh, dan kepada-Nyalah kita kembali. Ya Alloh berilah aku balasan dalam musibahku ini, dan gantilah bagiku dengan yang lebih baik darinya”. [Syarah Riyadhush Sholihin 36]
Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Hafizhohulloh mengatakan: “Maksud “benturan” adalah berita yang didapatkan seseorang di awal kejadian. Yakni ketika dia mengetahui mana yang terkena musibah dan jenis musibahnya. Ini adalah kondisi yang sangat berat di sisi seseorang, yaitu ketika sampainya berita kepadanya pertama kali. Pada kondisi inilah berlakunya kesabaran dan mengharapkan pahala. Karena orang yang tidak bisa bersabar omelan-omelannya akan hilang, dia tidak akan terus-terusan dalam hal tersebut, namun akan datang hari-hari dia berusaha melupakan cobaannya sebagaimana binatang ternak”. [Syarh Sunan Abi Daud 16/440]
Jika ada orang yang berkata: “Terus apa faidahnya kamu menasehatiku untuk bersabar, sementara aku sudah terlanjur gelisah dan marah?.
Dikatakan kepadanya: Bagimu ada dua faidah.
Pertama, anda menjadi sadar bahwa perbuatan tersebut salah, dan anda mesti bertaubat kepada Alloh.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِين
“Sesungguhnya Alloh mencintai orang yang banyak bertaubat” (QS Al-Baqoroh 222)
Kedua, anda tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri anda setelah ini, akan datang takdir silih berganti, maka mau tidak mau anda butuh kepada kesabaran.
ولا يلدغ المؤمن من جحر واحد مرتين
“Seorang mukmin tidak akan disengat dari lubang yang sama dua kali”. (HR Bukhory-Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Jangan sampai lewat pahala yang besar untuk kedua kalinya.
Kesabaran karena Alloh memiliki keutamaan yang sangat besar -hanya Dia yang tahu-. Alloh berfirman:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan disempurnakan pahalanya tanpa batas”.(QS Az-Zumar 10)
Kesabaran hanyalah bakal mendatangkan kebaikan bagi seorang mukmin di dunia dan akhirannya. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَه.
“Menakjubkan perkara seorang mukmin, sungguh semua perkaranya adalah kebaikan. Hal itu tidak diperoleh kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia memperoleh kegembiraan maka dia bersyukur, dan itu adalah kebaikan baginya. Apabila dia ditimpa kesusahan maka dia bersabar itu, dan itu adalah kebaikan baginya” (HR Muslim dari Shuhaib Rodhiyallohu ‘Anhu)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga mengatakan:
إن السعيد لمن جنب الفتن إن السعيد لمن جنب الفتن إن السعيد لمن جنب الفتن ولمن ابتلي فصبر فواها
“Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang menjauhi fitnah. Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang menjauhi fitnah. Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang menjauhi fitnah. Serta bagi orang diberi cobaan lalu bersabar ‘waahan’ (kalimat kekaguman)” (HR Abu Daud dari Al-Miqdad bin Al-Aswad Rodhiyallohu ‘Anhu dishohihkan Syaikh Al-Albany dan dihasankan Syaikh Al-Wadi’iy Rahimahumalloh)
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Mayoritas penyakit badan dan hati, tumbuhnya hanyalah dikarenakan tidak adanya kesabaran. Tidak ada seperti kesabaran yang bisa menjaga kesehatan hati, badan, dan jiwa. Ia adalah pembeda terbesar, ramuan paling agung. Kalaulah tidak ada keutamaan bagi sabar kecuali “kebersamaan” Alloh bagi orang yang sabar, maka hal itu cukup sebagai kebaikan baginya. Sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar dan mencintai mereka, serta menolong mereka, karena sungguh pertolongan tersebut terdapat pada kesabaran:
وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصَّابِرِينَ
“Jika kalian bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar” (QS An-Nahl 126)
Kesabaran juga sebab kejayaan, Alloh berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَاتَّقُواْ اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah dan kuatkanlah kesabaran kalian, bersiap-siagalah di perbatasan dan bertakwalah kepada Alloh semoga kalian beruntung” (QS Ali ‘Imron 200) [Zaadul Ma’ad 4/333]
selesai bagian kedua …

[1] Syaikh Muqbil Rahimahulloh mengatakan: “Apabila seorang muslim mengetahui bahwa yang menyembuhkan adalah Alloh, maka hatinya tidak akan tergantung kepada paranormal, ahli nujum, para pendusta dan tukang tenung. Dia juga tidak akan condong ke khurafat yang dibikin-bikin oleh penjaga kubur [Jami’ush Shohih fil Qodar 27]
[2] Dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh di Misykatul Mashobih
[3] Permintaan tolong mencakup dua pokok. Rasa percaya kepada Alloh dan penyandaran hati kepada-Nya. Karena seorang hamba bisa saja dia percaya pada seseorang namun dia tidak menyandarkan urusan-urusannya kepada orang tersebut karena tidak butuhnya dia akan hal itu. Terkadang seseorang menyandarkan urusannya pada orang lain –tanpa ada rasa percaya- karena dia butuh pada orang itu dan tidak ada yang mengurus urusannya sehingga dia mesti bersandar kepada orang itu meskipun dia tidak percaya. Sementara tawakkal secara makna adalah paduan dari dua pokok berupa rasa percaya dan penyandaran urusan [Madarijus Salikin1/75]
[4] Akan datang penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan ridho disini, insya Alloh Ta’ala.
[5] Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إذا أصيب أحدكم بمصيبة فليذكر مصيبته بي فإنها أعظم المصائب
“Apabila engkau ditimpa musibah, maka lihatlah kepada musibah yang menimpaku, karena itu adalah musibah yang paling besar”. (Hadist dishohihkan dengan penguat-penguatnya oleh Syaikh Al-Albany)

Sumber lihat di sini