Kamis, 31 Mei 2012

Untukku, Untukmu dan Kita Semua “Mari Kita Introspeksi Diri!”


Oleh : Ummu Abdirrohman Najiyah Ibnat Kaswita
Ghoffarollohu ‘anhaa wa waalidaihaa


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاةوالسلام على رسول الله وعلى آله ومن والاه أما بعد:
 Muhibbatul ‘ilmi anu ngajak seuri
Ngajak nyeungseurikeun diri
Majarkeun teh loba pangarti
Nyandang gelar tholabatul ‘ilmi
Tapi naha  ti bareto nepi ka kiwari
Laku lampah masih acan keneh syar’i?
Jauh tina pangarti anu geus nepi
Duh manusa, hayu urang benahkeun diri
Ngaca bari jeung introspeksi diri
Ulah tereh sombong bari jeung bangga diri
Pedah ceuk batur urang geus loba pangarti
Tuluy ngajauhan majalisul ‘ilmi
Ngarasa cukup ku elmu sa kecap komo bari jeung poho deui
Ulah kitu baraya jeung para wargi
Elmu nu geus aya hayu urang muroja’ah deui
Tuluy diterapkeun kana kahirupan urang pribadi
Ulah misil jalma-jalma anu dipapanceunan Tauroh nyaeta Yahudi
Maranehna teu ngalaksanakeun pituduh ti Illahi Robbi
Lir ibarat kalede nu dimomotan ku pirang-pirang kitab teu saukur hiji


Keterangan:

Ini adalah syi’ir berbahasa Sunda. Sebagaimana kita ketahui bahwa bahasa Sunda sama dengan bahasa daerah lainnya yang mengenal tingkatan bahasa, seperti dalam bahasa jawa dikenal dengan adanya  3 tingkatan bahasa yaitu kromo inggil, madya dan ngoko, demikian juga dalam bahasa Sunda dikenal ada 3 tingkatan bahasa yaitu bahasa untuk orang yang lebih tua, untuk yang sebaya dan untuk yang lebih muda. Contohnya kata “makan”, dalam bahasa sunda  ada 3/4 kosa kata yang memiliki makna sama yaitu makan, kosa kata tersebut adalah “tuang” untuk orang yang lebih tua, “neda” untuk yang sebaya, dan “emam atau dahar” untuk yang lebih muda. Akan tetapi tingkatan bahasa ini juga tidak dipakai pada kebanyakan masyarakat Sunda, hanya daerah-daerah tertentu yang masih memperhatikan tingkatan bahasa ini, ini merupakan salah satu dampak negative dari proses asimilasi budaya yang mengakibatkan terjadinya degradari budaya (yang dimaksud adalah budaya positif tentunya). Dan bahasa yang dipakai dalam syi’ir ini  adalah bahasa yang biasa dipakai oleh orang tua kepada yang lebih muda karena aghlabnya (mayoritasnya yang biasa memberi petuah adalah orang tua kepada anak atau orang yang lebih muda), dan sejauh pengetahuan Muhibbatul ‘ilmi, bahasa yang seperti inilah yang biasa dipakai dalam buku-buku kesusastraan Sunda, demikian juga yang dipakai dalam terjemah Al Qur’an berbahasa Sunda (Alibi.com). Dan bagi pembaca yang berasal dari luar daerah Jabar tidak perlu khawatir karena Muhibbatul ‘ilmi juga menggubah syi’ir ini  ke dalam bahasa Nasional kita yaitu Bahasa Indonesia agar faedahnya bisa dinikmati secara meluas. Meskipun syi’ir ini tidak digubah secara letterlijk karena ada beberapa kata yang sulit dicari sinonimnya dalam bahasa Indonesia, akan tetapi InsyaAlloh tidak sampai mengubah makna yang dikehendaki.

Makna Syi’ir diatas:

Muhibbatul ‘ilmi mengajak kita untuk tertawa
(yaitu) untuk menertawakan diri kita sendiri
Katanya kita sudah memiliki banyak ‘ilmu
(Apalagi) menyandang gelar sebagai tholabatul ‘ilmi
Tapi mengapa dari dulu hingga saat ini
Tingkah laku kita masih belum juga (penuhi standard) syar’iyyah
Jauh dari ‘ilmu yang telah sampai kepda kita
Wahai manusia, mari kita berbenah diri (ishlahul fardi)
Berkaca sambil introspeksi diri
Jangan cepat sombong  apalagi berbangga diri
(Hanya dengan sebab) kata orang kita sudah banyak ilmu
Kemudian kitapun menjauhi majalisul ilmi
Merasa cukup dengan ilmu yang sedikit apalagi disertai dengan (penyakit) lupa lagi
Jangan demikian wahai saudaraku
Ilmu yang telah kita miliki mari kita muroja’ah lagi (mengulang pelajaran)
Kemudian aplikasikanlah dalam kehidupan kita pribadi
Jangan seperti orang-orang yang telah diberikan kitab Taurot yaitu Yahudi
Mereka tidak melaksanakan apa yang telah dituntunkan oleh Illahi Robbi (Alloh)
Laksana keledai yang membawa banyak kitab tidak hanya satu

Demikianlah sepenggal sya’ir yang bisa Muhibbatul ‘Ilmi persembahkan sebagai prolog terhadap apa yang akan Muhibbatul ‘Ilmi goreskan selanjutnya.

Para pembaca_Waffaqoniyallohu wa iyyaakum_,

Kali ini Muhibbatul ‘Ilmi ingin mengajak kepada diri pribadi, demikian juga kepada anda dan kita semua, mari kita introspeksi diri terhadap apa yang telah dan tengah kita lakukan serta apa yang sedang kita cita-citakan untuk masa yang akan datang. Para pembaca_Rohimakumulloh_, mungkin kita dianggap oleh orang lain sebagai orang yang telah memiliki banyak ilmu, karena pada kenyataanya status kita sebagai penuntut ‘ilmu syar’I tidaklah sama dengan kebanyakan awwaamun naas yang mana mereka tidak mengetahui agama ini kecuali apa yang telah sampai kepada mereka dari nenek moyang mereka. Sehingga bisa difahami jika mereka masih jauh dari bimbingan Al Qur’an dan Sunnah. Lalu bagaimana dengan kita? Orang-orang yang sudah diberikan karunia untuk bisa menuntut ilmu syar’I? bisa mendengarkan Kalaamulloh wa Kalaamur Rosul wa Kalaamu Aimmatil Huda. Sudahkah kita mengaplikasikan ilmu yang sudah kita dapatkan dalam kehidupan kita pribadi? Mungkin, jika kita melakukan introsfeksi diri, kita akan dapati diri kita masih sangat jauh dari bimbingan ilmu yang telah sampai kepada kita. Sebagai contoh, kita sudah mengetahui arti penting sebuah kejujuran, bahkan kitapun sudah berusaha untuk mengaplikasikan nilai-nilai kejujuran dalam kehidupan pribadi kita. Aka tetapi, disaat yang lain, dalam kondisi yang sempit kitapun tergoda untuk melepaskan diri dari nilai-nilai kejujuran sehingga terlontarlah dari lisan kita, atau pada perbuatan kita sifat kidzib (dusta) _Nas’alulloha assalaamata wal ‘aafiyah_.

Kita juga sudah faham tentang tercelanya sifat sombong, namun pada celah tertentu kesombongan itu menyelinap dalam dada dan teraplikasikan saat lisan kita berbicara, atau saat mata kita menatap, atau bahkan saat kita tersenyumpun kesombongan itu menyertai senyuman kita, itulah yang dikenal dengan senyuman sinis atau cibiran yang implisit di dalamnya ghomtun naas yaitu merendahkan manusia yang lainnya_Nas’alulloha assalaamata wal ‘aafiyah_.

Telah sampai pula kepada kita ilmu tentang keutamaan sifat sabar dan pahala yang besar bagi orang-orang yang bersabar saat ditimpa bala’, akan tetapi keluh kesah itu senantiasa menyertai perjalanan hidup kita, bahkan terkadang kita protes terhadap bala’ yang Alloh timpakan kepada kita_Nas’alulloha assalaamata wal ‘aafiyah_.

Ketika kita sudah mengetahui bahwa keikhlasan adalah salah satu syarat diterimanya amalan,  bahkan inilah yang pokok, namun terkadang penyakit riya dan sum’ah masih senantiasa merayapi hati kita, begitu halusnya bak semut hitam yang berjalan dikegelapan malam, sehingga kitapun tertipu olehnya_Nas’alulloha assalaamata wal ‘aafiyah_.

Kita sudah tahu bahwa sifat ghuluw dan ta’ashub terhadap seorang tokoh adalah bagian dari perilaku jahiliyyah yang mana kita harus menjauhinya, akan tetapi pada kenyataannya tidak sedikit dari kita yang bersikap ghuluw dan ta’ashub terhadap tokoh central yang kharismatik. Apa yang keluar dari lisannya laksana  “Sabdo pandito ratu” yang tidak perlu lagi untuk ditimbang dengan hujjah. Padahal semua perkataan manusia itu bisa diambil dan bisa tertolak kecuali perkataannya Rosululloh _Sholallohu ‘alaihi wa Salam_, sebagaimana perkataannya Imam Malik _Rohimahullohu Ta’ala_:

“Semua perkataan itu dapat diambil dan ditolak kecuali perkataannya penghuni kubur ini (maksudnya Rosululloh).”

Itu hanya sekedar contoh, mungkin keadaan kita jauh lebih baik dari itu atau bahkan sebaliknya, jauh lebih buruk dari sekedar contoh yang diberikan? _Nas’alulloha assalaamata wal ‘aafiyah_. Karena memang itulah thobi’at manusia, yang mana manusia senantiasa berbuat salah baik di malam maupun di siang hari, sebagaimana disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Abi Dzar Al Ghifari:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ :
يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَناَ أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُم...."….”

“Dari Abu Dzar Al Ghifari radhiallahuanhu dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau riwayatkan dari Rabbnya Azza Wajalla bahwa Dia berfirman:… Wahai hamba-Ku kalian semuanya melakukan kesalahan pada malam dan siang hari dan Aku mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni….”

Akan tetapi ini bukan legalitas bagi kita untuk senantiasa berbuat salah, berkubang dengan kesalahan dan enggan untuk memperbaiki diri. Selayaknya bagi seorang muslim yang baik kita harus senantiasa meminta ampun kepada Alloh atas segala kesalahan dan belajar untuk memperbaiki diri dengan banyak melakukan amalan sholih. Alloh –Subhanahu wa ta’alaa- berfirman:
وإني لغفار لمن تاب وآمن وعمل صالحا ثم اهتدى

 “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar.”(QS. Thoohaa;82)

Juga firman Alloh:
ومن تاب وعمل صالحا فإنه يتوب إلى الله متابا

 “Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.”(QS. Al Furqoon:71)

Dan juga sabda Rosulullohu –Sholallohu ‘alaihi wa salaam-:

من تاب قبل أن تطلع الشمس من مغربها تاب الله عليه

“Barang siapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari tempat tenggelamnya, niscaya Alloh akan menerima taubatnya”(HR Muslim)

Saudaraku, para pembaca _Rohimakumulloh_, menuntut ilmu syar’I adalah perkara yang telah Alloh wajibkan atas kaum muslimin, Rosululloh _Sholallohu ‘alaihi wa salam_ telah bersabda :
طلب العِلْم فريضة عَلَى كل مسلم

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”(HR. Baihaqi dan lainnya dari Anas bin Malik, dishohihkan ileh Al Bani, shohihul jami’ No. 3913)

Dan Alloh _Subhanahu wata’ala_ akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu sebagaimana Firman-Nya:

يا أيها الذين آمنوا إذا قيل لكم تفسحوا في المجالس فافسحوا يفسح الله لكم وإذا قيل انشزوا فانشزوا يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات والله بما تعملون خبير

“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Al Mujadilah : 11)

Demikianlah Rosululloh _Sholallohu ‘alaihi wa salam_pun senantiasa menghasung ummatnya untuk menuntut ilmu dengan memberikan ilustrsi yang gamblang tentang keutamaan ilmu. Diantara keutamaan ilmu tersebut adalah :

1.    Ilmu adalah warisan para Nabi, sebagaimana dalam hadits:

العلْماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياءلم يورثوا دينارا ولا د رهما ولكن ورثواالعِلْم فمن أخذه أخذ بحظ وافر

“…Para Ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para ulama tidak mewariskan dinar maupun  dirham, tetapi mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang cukup (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dishohihkan Al Bani dalam shohihul jami’ No. 6297)

2.  Ilmu adalah amalan yang tidak terputus meskipun pemiliknya telah meninggal dunia, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

إذامات الإنسان إنقطع عنه عمله إلامن ثلاث صدقة جارية أوعِلْم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

“Jika seorang manusi meninggal dunia maka amalannya akan terputus, kecuali tiga perkara; shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholih yang berdo’a untuknya.”(HR. Muslim)

3.    Ilmu merupakan tanda keinginan baik Alloh terhadap orang tersebut, sebagaimana dalam hadits disebutkan:

من يريد الله به خيرايفقهه في الدين

“….Barangsiapa yang Alloh inginkan kebaikan padanya, Alloh akan fahamkan dia dalam agama.”(HR. Ahmad, Ibnu Majah dari Muawiyah  dalam shohi jami’ no. 6612)

4.    Ilmu akan memudahkan jalan menuju surga, sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : barang siapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, akan Allah mudahkan baginya jalan ke syurga. Dan tidaklah duduk (bermajelis) suatu kaum di salah satu rumah Allah,mereka membaca kitab-kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk disisi-Nya.”(HR. Muslim)

Dan masih banyak lagi keutamaan ilmu yang lainnya.

Para pembaca _Zaadaniyallohu ‘ilman nafi’an_, telah gamblang ilustrasi tentang keutamaan ilmu yang dikhobarkan oleh Rosululloh_Sholallohu ‘alaihi wa salam_, maka selayaknya bagi kita untuk semangat di dalam menuntut ilmu, akan tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana kita bisa mengaplikasikan ilmu yang telah kita peroleh dalam kehidupan pribadi kita. Karena jika kita hanya menuntut ilmu tanpa mengamalkan ilmu tersebut ibarat pohon yang tak berbuah, sia-sialah apa yang telah kita cari selama ini.

Dan tidaklah ilmu itu dicari / dipelajari kecuali agar seseorang itu bertaqwa kepada Alloh dengan ilmu tersebut, sebagaimana atsar yang datang dari Imam Ats Tsauri: 

قَالَ سفيان الثوري_رحمه الله تعالي_" إِنَّمَايتعلْم العِلْم ليتقي الله به"

“Berkata Sufyan Ats Tsauri _Rohimahullohu Ta’ala_:”Bahwasanya ilmu itu dipelajari agar seseorang bertaqwa kepada Alloh dengan ilmu tersebut”

Dan yang dimaksud dengan taqwa adalah mengamalkan amalan ketaatan kepada Alloh di atas ilmu karena mengharap pahala dari Alloh, dan menjauhi larangan-larangan-Nya di atas ilmu karena takut akan iqob dari Alloh.

Demikianlah ilmu itu dicari agar kita dapat beramal dengan ilmu tersebut dan bersungguh-sungguh untuk dapat menerapkan ilmu tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan sungguh, Alloh _Azza wa Jalla_ akan meminta pertanggungjawaban dari kita apa yang telah kita amalkan dari ilmu yang selama ini kita cari. Sebagaimana disebutkan dalam hadits;

لاتزول قدماعبد يوم القيا مة حتي يسأ ل عن عمره فيما أفناه, وعن علْمه فيما فعل به, وعن ماله من أين اكسبه  وفيما أنفقه, وعن جسمه فيما أبلاه

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari qiyamat sampai ia ditanya tentang umurnya “Dalam perkara apa dia habiskan?”, dan tentang ilmunya “Apa yang telah dia amalkan dengan ilmu tersebut?”, dan tentang hartanya “Darimana dia peroleh dan untuk perkara apa dia infaqan harta tersebut ?”, dan tentang jasadnya “Untuk perkara apa dia gunakan?”.”(HR. At Tirmidzi di dalam Sunnan(4/612) dan dia berkata hadits hasan shohih)

Seorang alim (orang yang berilmu) hanya akan dikatakan berilmu jika dia telah mengamalkan ilmu tersebut. Dan seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya pada hakikatnya adalah orang yang bodoh. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abi Darda’_Rodhiyallohu ‘anhu_:

لاتكون عالْما حتي تكون متعلْما, و لاتكون بالعِلْم عالْما حتي تكون به عا ملا

“Tidaklah seseorang itu dikatakan berilmu sampai dia belajar, dan tidaklah seseorang yang memiliki ilmu dikatakan sebagai seorang yang alim sampai dia mengamalkan ilmu tersebut”

Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Fudhail bin Iyadh_Rohimahullohu Ta’ala_:

لاتزال العالْم جاهلا بما علْم حتي يعمل به فإذا عمل به كان عالْما

“Seorang yang alim itu akan senantisa berada dalam kebodohannya terhadap apa yang telah dia ketahui sampai dia mengamalkan ilmu tersebut, maka ketika dia mengamalkan ilmu tersebut jadilah ia seorang alim”

Hanya kepada Alloh semata kita memohon agar diberikan kekuatan untuk dapat mengamalkan ilmu, sedikit akan tetapi continue lebih baik daripada kita meninggalkannya sama sekali. Jangan sampai ilmu yang telah kita peroleh menjadi hujjah atas kita dan  kita akan datang kehadapan Alloh sebagai orang yang bangkrut _Wal iyyadzubillah, _Nas’alulloha assalaamata wal ‘aafiyah_. 

Sebagai penutup akan penulis bawakan perkataan dari Ibnul Jauzi _Rohimahullohu Ta’ala_ sebagai cambuk peringatan bagi kita para tholabatul ilmi syar’I, dimana beliau mengatakan:

والمسكين كل المسكين من ضاع عمره في علْم لم يعمل به, ففته لذات الد نيا  وخيرات الأخره فقدم مفلسا مع قوة الحجةعَلَيه

“Orang yang paling pantas untuk dikasihani adalah orang yang menghabiskan umurnya di dalam mencari ilmu, akan tetapi tidak mengamalkannya, maka hilanglah darinya kelezatan-kelezatan dunia dan kebaikan-kebaikan akhirat, maka dia dating kehadapan Alloh dalam keadan bangkrut bersama dengan kuatnya hujjah yang menghujjahinya.”

Ya Alloh inilah untaian do’a hamba-Mu yang penuh dengan kezholiman:

اللهم إني ظلمت نفسي ظلما كثيرا و لا يغفرالذنوب إلا أنت فاغفرلَى مغفرة من عند ك  وارحمني إنك أنت الغفر الرحيم

Ya Alloh, sesungguhnya aku telah menzholimi diriku dengan  kezholiman yang banyak, dan tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. Ampunilah diriku dengan pengampunan dari sisimu. Engkaulah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Mukhtashor Al bukhori:433)

Amiin yaa Mujibas Saa’iliin.


Maroji’
‘Awaaiquth Tholab karya ‘Abdus Salam Barjas Al ‘Abdil kariim

Selesai disusun di Walahar, 5 Rojab 1433 H / 26 Mei 2012
Oleh Al Faqiiroh ila Maghfiroti Robbihaa