Oleh : Ummu Abdirrohman Najiyah Ibnat Kaswita
Ghoffarollohu ‘anhaa wa waalidaihaa
بسم
الله الرحمن الرحيم
الحمد لله
والصلاةوالسلام على رسول الله وعلى آله ومن
والاه أما بعد:
Muhibbatul ‘ilmi anu ngajak seuri
Ngajak nyeungseurikeun diri
Majarkeun teh loba pangarti
Nyandang gelar tholabatul ‘ilmi
Tapi naha
ti bareto nepi ka kiwari
Laku lampah masih acan keneh syar’i?
Jauh tina pangarti anu geus nepi
Duh manusa, hayu urang benahkeun diri
Ngaca bari jeung introspeksi diri
Ulah tereh sombong bari jeung bangga diri
Pedah ceuk batur urang geus loba pangarti
Tuluy ngajauhan majalisul ‘ilmi
Ngarasa cukup ku elmu sa kecap komo bari
jeung poho deui
Ulah kitu baraya jeung para wargi
Elmu nu geus aya hayu urang muroja’ah deui
Tuluy diterapkeun kana kahirupan urang
pribadi
Ulah misil jalma-jalma anu dipapanceunan Tauroh
nyaeta Yahudi
Maranehna teu ngalaksanakeun pituduh ti Illahi
Robbi
Lir ibarat kalede nu dimomotan ku
pirang-pirang kitab teu saukur hiji
Keterangan:
Ini adalah syi’ir berbahasa
Sunda. Sebagaimana kita ketahui bahwa bahasa Sunda sama dengan bahasa daerah
lainnya yang mengenal tingkatan bahasa, seperti dalam bahasa jawa dikenal dengan
adanya 3 tingkatan bahasa yaitu kromo
inggil, madya dan ngoko, demikian juga dalam bahasa Sunda dikenal ada 3
tingkatan bahasa yaitu bahasa untuk orang yang lebih tua, untuk yang sebaya dan
untuk yang lebih muda. Contohnya kata “makan”, dalam bahasa sunda ada 3/4 kosa kata yang memiliki makna sama
yaitu makan, kosa kata tersebut adalah “tuang” untuk orang yang lebih tua,
“neda” untuk yang sebaya, dan “emam atau dahar” untuk yang lebih muda. Akan
tetapi tingkatan bahasa ini juga tidak dipakai pada kebanyakan masyarakat
Sunda, hanya daerah-daerah tertentu yang masih memperhatikan tingkatan bahasa
ini, ini merupakan salah satu dampak negative dari proses asimilasi budaya yang
mengakibatkan terjadinya degradari budaya (yang dimaksud adalah budaya positif tentunya). Dan bahasa yang dipakai dalam syi’ir
ini adalah bahasa yang biasa dipakai
oleh orang tua kepada yang lebih muda karena aghlabnya (mayoritasnya yang biasa
memberi petuah adalah orang tua kepada anak atau orang yang lebih muda), dan
sejauh pengetahuan Muhibbatul ‘ilmi, bahasa yang seperti inilah yang biasa
dipakai dalam buku-buku kesusastraan Sunda, demikian juga yang dipakai dalam
terjemah Al Qur’an berbahasa Sunda (Alibi.com). Dan bagi pembaca yang berasal
dari luar daerah Jabar tidak perlu khawatir karena Muhibbatul ‘ilmi juga menggubah
syi’ir ini ke dalam bahasa Nasional kita
yaitu Bahasa Indonesia agar faedahnya bisa dinikmati secara meluas. Meskipun
syi’ir ini tidak digubah secara letterlijk karena ada beberapa kata yang sulit
dicari sinonimnya dalam bahasa Indonesia, akan tetapi InsyaAlloh tidak sampai
mengubah makna yang dikehendaki.
Makna Syi’ir
diatas:
Muhibbatul ‘ilmi
mengajak kita untuk tertawa
(yaitu) untuk
menertawakan diri kita sendiri
Katanya kita sudah memiliki banyak ‘ilmu
(Apalagi)
menyandang gelar sebagai tholabatul ‘ilmi
Tapi mengapa
dari dulu hingga saat ini
Tingkah laku
kita masih belum juga (penuhi standard) syar’iyyah
Jauh dari ‘ilmu
yang telah sampai kepda kita
Wahai manusia,
mari kita berbenah diri (ishlahul fardi)
Berkaca sambil
introspeksi diri
Jangan cepat
sombong apalagi berbangga diri
(Hanya dengan
sebab) kata orang kita sudah banyak ilmu
Kemudian kitapun
menjauhi majalisul ilmi
Merasa cukup
dengan ilmu yang sedikit apalagi disertai dengan (penyakit) lupa lagi
Jangan demikian
wahai saudaraku
Ilmu yang telah
kita miliki mari kita muroja’ah lagi (mengulang pelajaran)
Kemudian
aplikasikanlah dalam kehidupan kita pribadi
Jangan seperti
orang-orang yang telah diberikan kitab Taurot yaitu Yahudi
Mereka tidak
melaksanakan apa yang telah dituntunkan oleh Illahi Robbi (Alloh)
Laksana keledai
yang membawa banyak kitab tidak hanya satu
Demikianlah
sepenggal sya’ir yang bisa Muhibbatul ‘Ilmi persembahkan sebagai prolog
terhadap apa yang akan Muhibbatul ‘Ilmi goreskan selanjutnya.
Para
pembaca_Waffaqoniyallohu wa iyyaakum_,
Kali
ini Muhibbatul ‘Ilmi ingin mengajak kepada diri pribadi, demikian juga kepada anda
dan kita semua, mari kita introspeksi diri terhadap apa yang telah dan tengah kita
lakukan serta apa yang sedang kita cita-citakan untuk masa yang akan datang.
Para pembaca_Rohimakumulloh_, mungkin kita dianggap oleh orang lain sebagai
orang yang telah memiliki banyak ilmu, karena pada kenyataanya status kita
sebagai penuntut ‘ilmu syar’I tidaklah sama dengan kebanyakan awwaamun naas yang
mana mereka tidak mengetahui agama ini kecuali apa yang telah sampai kepada
mereka dari nenek moyang mereka. Sehingga bisa difahami jika mereka masih jauh
dari bimbingan Al Qur’an dan Sunnah. Lalu bagaimana dengan kita? Orang-orang
yang sudah diberikan karunia untuk bisa menuntut ilmu syar’I? bisa mendengarkan
Kalaamulloh wa Kalaamur Rosul wa Kalaamu Aimmatil Huda. Sudahkah kita
mengaplikasikan ilmu yang sudah kita dapatkan dalam kehidupan kita pribadi?
Mungkin, jika kita melakukan introsfeksi diri, kita akan dapati diri kita masih
sangat jauh dari bimbingan ilmu yang telah sampai kepada kita. Sebagai contoh, kita
sudah mengetahui arti penting sebuah kejujuran, bahkan kitapun sudah berusaha
untuk mengaplikasikan nilai-nilai kejujuran dalam kehidupan pribadi kita. Aka
tetapi, disaat yang lain, dalam kondisi yang sempit kitapun tergoda untuk
melepaskan diri dari nilai-nilai kejujuran sehingga terlontarlah dari lisan
kita, atau pada perbuatan kita sifat kidzib (dusta) _Nas’alulloha assalaamata
wal ‘aafiyah_.
Kita
juga sudah faham tentang tercelanya sifat sombong, namun pada celah tertentu
kesombongan itu menyelinap dalam dada dan teraplikasikan saat lisan kita
berbicara, atau saat mata kita menatap, atau bahkan saat kita tersenyumpun
kesombongan itu menyertai senyuman kita, itulah yang dikenal dengan senyuman
sinis atau cibiran yang implisit di dalamnya ghomtun naas yaitu merendahkan manusia
yang lainnya_Nas’alulloha assalaamata wal ‘aafiyah_.
Telah
sampai pula kepada kita ilmu tentang keutamaan sifat sabar dan pahala yang besar
bagi orang-orang yang bersabar saat ditimpa bala’, akan tetapi keluh kesah itu
senantiasa menyertai perjalanan hidup kita, bahkan terkadang kita protes
terhadap bala’ yang Alloh timpakan kepada kita_Nas’alulloha assalaamata wal
‘aafiyah_.
Ketika
kita sudah mengetahui bahwa keikhlasan adalah salah satu syarat diterimanya
amalan, bahkan inilah yang pokok, namun
terkadang penyakit riya dan sum’ah masih senantiasa merayapi hati kita, begitu
halusnya bak semut hitam yang berjalan dikegelapan malam, sehingga kitapun
tertipu olehnya_Nas’alulloha assalaamata wal ‘aafiyah_.
Kita
sudah tahu bahwa sifat ghuluw dan ta’ashub terhadap seorang tokoh adalah bagian
dari perilaku jahiliyyah yang mana kita harus menjauhinya, akan tetapi pada
kenyataannya tidak sedikit dari kita yang bersikap ghuluw dan ta’ashub terhadap
tokoh central yang kharismatik. Apa yang keluar dari lisannya laksana “Sabdo pandito ratu” yang tidak perlu lagi
untuk ditimbang dengan hujjah. Padahal semua perkataan manusia itu bisa diambil
dan bisa tertolak kecuali perkataannya Rosululloh _Sholallohu ‘alaihi wa Salam_,
sebagaimana perkataannya Imam Malik _Rohimahullohu Ta’ala_:
“Semua
perkataan itu dapat diambil dan ditolak kecuali perkataannya penghuni kubur ini
(maksudnya Rosululloh).”
Itu
hanya sekedar contoh, mungkin keadaan kita jauh lebih baik dari itu atau bahkan
sebaliknya, jauh lebih buruk dari sekedar contoh yang diberikan? _Nas’alulloha
assalaamata wal ‘aafiyah_. Karena memang itulah thobi’at manusia, yang mana
manusia senantiasa berbuat salah baik di malam maupun di siang hari,
sebagaimana disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Abi
Dzar Al Ghifari:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ
وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ :
يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
وَأَناَ أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُم...."….”
“Dari Abu Dzar Al Ghifari radhiallahuanhu dari Rasulullah
shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau riwayatkan dari Rabbnya Azza
Wajalla bahwa Dia berfirman:… Wahai hamba-Ku kalian semuanya melakukan kesalahan
pada malam dan siang hari dan Aku mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun
kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni….”
Akan
tetapi ini bukan legalitas bagi kita untuk senantiasa berbuat salah, berkubang
dengan kesalahan dan enggan untuk memperbaiki diri. Selayaknya bagi seorang
muslim yang baik kita harus senantiasa meminta ampun kepada Alloh atas segala
kesalahan dan belajar untuk memperbaiki diri dengan banyak melakukan amalan
sholih. Alloh –Subhanahu wa ta’alaa- berfirman:
وإني لغفار لمن تاب وآمن وعمل صالحا ثم اهتدى
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi
orang yang bertobat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang
benar.”(QS. Thoohaa;82)
Juga firman Alloh:
ومن تاب وعمل صالحا فإنه يتوب إلى الله متابا
“Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal
shaleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya.”(QS. Al Furqoon:71)
Dan
juga sabda Rosulullohu –Sholallohu ‘alaihi wa salaam-:
من
تاب قبل أن تطلع الشمس من مغربها
تاب الله عليه
“Barang
siapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari tempat tenggelamnya, niscaya
Alloh akan menerima taubatnya”(HR Muslim)
Saudaraku,
para pembaca _Rohimakumulloh_, menuntut ilmu syar’I adalah perkara yang telah
Alloh wajibkan atas kaum muslimin, Rosululloh _Sholallohu ‘alaihi wa salam_ telah
bersabda :
طلب العِلْم فريضة عَلَى كل مسلم
“Menuntut
ilmu itu wajib atas setiap muslim”(HR. Baihaqi dan lainnya dari Anas bin Malik,
dishohihkan ileh Al Bani, shohihul jami’ No. 3913)
Dan
Alloh _Subhanahu wata’ala_ akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu
sebagaimana Firman-Nya:
يا أيها
الذين آمنوا إذا قيل لكم تفسحوا في المجالس فافسحوا يفسح الله لكم وإذا قيل انشزوا
فانشزوا يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات والله بما تعملون خبير
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”(Al Mujadilah : 11)
Demikianlah
Rosululloh _Sholallohu ‘alaihi wa salam_pun senantiasa menghasung ummatnya
untuk menuntut ilmu dengan memberikan ilustrsi yang gamblang tentang keutamaan ilmu. Diantara
keutamaan ilmu tersebut adalah :
1.
Ilmu adalah warisan para Nabi, sebagaimana
dalam hadits:
العلْماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياءلم يورثوا دينارا ولا د رهما
ولكن ورثواالعِلْم فمن أخذه أخذ بحظ وافر
“…Para Ulama adalah pewaris para Nabi,
dan sesungguhnya para ulama tidak mewariskan dinar maupun dirham, tetapi mewariskan ilmu, maka
barangsiapa yang mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang cukup (HR.
Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dishohihkan Al Bani dalam shohihul jami’ No. 6297)
2. Ilmu adalah amalan yang tidak terputus
meskipun pemiliknya telah meninggal dunia, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
إذامات
الإنسان إنقطع عنه عمله إلامن ثلاث صدقة جارية أوعِلْم ينتفع به أو ولد
صالح يدعو له
“Jika seorang manusi meninggal dunia
maka amalannya akan terputus, kecuali tiga perkara; shodaqoh jariyah, ilmu yang
bermanfaat atau anak sholih yang berdo’a untuknya.”(HR. Muslim)
3.
Ilmu merupakan tanda keinginan baik Alloh
terhadap orang tersebut, sebagaimana dalam hadits disebutkan:
من
يريد الله به خيرايفقهه في الدين
“….Barangsiapa yang Alloh inginkan kebaikan padanya, Alloh akan fahamkan dia dalam agama.”(HR. Ahmad, Ibnu Majah dari Muawiyah dalam shohi jami’ no. 6612)
4.
Ilmu akan memudahkan jalan menuju surga,
sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ
عِلْماً سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ
فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ
بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ،
وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Dari Abu Hurairah
radhiallahuanhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : barang
siapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, akan Allah mudahkan baginya
jalan ke syurga. Dan tidaklah duduk (bermajelis) suatu kaum di salah satu rumah
Allah,mereka membaca kitab-kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka,
niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka
rahmat, dan mereka dikelilingi malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada
makhluk disisi-Nya.”(HR. Muslim)
Dan masih banyak lagi keutamaan ilmu yang lainnya.
Para pembaca _Zaadaniyallohu ‘ilman nafi’an_, telah gamblang
ilustrasi tentang keutamaan ilmu yang dikhobarkan oleh Rosululloh_Sholallohu
‘alaihi wa salam_, maka selayaknya bagi kita untuk semangat di dalam menuntut
ilmu, akan tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana kita bisa
mengaplikasikan ilmu yang telah kita peroleh dalam kehidupan pribadi kita.
Karena jika kita hanya menuntut ilmu tanpa mengamalkan ilmu tersebut ibarat
pohon yang tak berbuah, sia-sialah apa yang telah kita cari selama ini.
Dan tidaklah ilmu itu dicari / dipelajari kecuali agar seseorang
itu bertaqwa kepada Alloh dengan ilmu tersebut, sebagaimana atsar yang datang dari
Imam Ats Tsauri:
قَالَ
سفيان
الثوري_رحمه الله تعالي_" إِنَّمَايتعلْم العِلْم ليتقي الله به"
“Berkata Sufyan Ats Tsauri
_Rohimahullohu Ta’ala_:”Bahwasanya ilmu itu dipelajari agar seseorang bertaqwa
kepada Alloh dengan ilmu tersebut”
Dan
yang dimaksud dengan taqwa adalah mengamalkan amalan ketaatan kepada Alloh di
atas ilmu karena mengharap pahala dari Alloh, dan menjauhi
larangan-larangan-Nya di atas ilmu karena takut akan iqob dari Alloh.
Demikianlah
ilmu itu dicari agar kita dapat beramal dengan ilmu tersebut dan
bersungguh-sungguh untuk dapat menerapkan ilmu tersebut dalam kehidupan kita
sehari-hari. Dan sungguh, Alloh _Azza wa Jalla_ akan meminta pertanggungjawaban
dari kita apa yang telah kita amalkan dari ilmu yang selama ini kita cari.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits;
لاتزول
قدماعبد يوم القيا مة حتي يسأ ل عن عمره فيما أفناه, وعن علْمه فيما فعل به, وعن ماله من
أين اكسبه وفيما أنفقه, وعن جسمه فيما أبلاه
“Tidak
akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari qiyamat sampai ia
ditanya tentang umurnya “Dalam perkara apa dia habiskan?”, dan tentang ilmunya
“Apa yang telah dia amalkan dengan ilmu tersebut?”, dan tentang hartanya
“Darimana dia peroleh dan untuk perkara apa dia infaqan harta tersebut ?”, dan
tentang jasadnya “Untuk perkara apa dia gunakan?”.”(HR. At Tirmidzi di dalam
Sunnan(4/612) dan dia berkata hadits hasan shohih)
Seorang
alim (orang yang berilmu) hanya akan dikatakan berilmu jika dia telah mengamalkan
ilmu tersebut. Dan seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya pada hakikatnya
adalah orang yang bodoh. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abi
Darda’_Rodhiyallohu ‘anhu_:
لاتكون عالْما حتي تكون متعلْما, و لاتكون بالعِلْم عالْما حتي تكون به عا ملا
“Tidaklah
seseorang itu dikatakan berilmu sampai dia belajar, dan tidaklah seseorang yang
memiliki ilmu dikatakan sebagai seorang yang alim sampai dia mengamalkan ilmu
tersebut”
Dan
sebagaimana yang dikatakan oleh Fudhail bin Iyadh_Rohimahullohu Ta’ala_:
لاتزال
العالْم جاهلا بما
علْم حتي يعمل به فإذا عمل به كان عالْما
“Seorang
yang alim itu akan senantisa berada dalam kebodohannya terhadap apa yang telah
dia ketahui sampai dia mengamalkan ilmu tersebut, maka ketika dia mengamalkan
ilmu tersebut jadilah ia seorang alim”
Hanya
kepada Alloh semata kita memohon agar diberikan kekuatan untuk dapat mengamalkan
ilmu, sedikit akan tetapi continue lebih baik daripada kita meninggalkannya
sama sekali. Jangan sampai ilmu yang telah kita peroleh menjadi hujjah atas
kita dan kita akan datang kehadapan
Alloh sebagai orang yang bangkrut _Wal iyyadzubillah, _Nas’alulloha assalaamata
wal ‘aafiyah_.
Sebagai
penutup akan penulis bawakan perkataan dari Ibnul Jauzi _Rohimahullohu Ta’ala_
sebagai cambuk peringatan bagi kita para tholabatul ilmi syar’I, dimana beliau
mengatakan:
والمسكين
كل المسكين من ضاع عمره في علْم لم يعمل به,
ففته لذات الد نيا
وخيرات الأخره فقدم مفلسا مع قوة الحجةعَلَيه
“Orang
yang paling pantas untuk dikasihani adalah orang yang menghabiskan umurnya di
dalam mencari ilmu, akan tetapi tidak mengamalkannya, maka hilanglah darinya kelezatan-kelezatan
dunia dan kebaikan-kebaikan akhirat, maka dia dating kehadapan Alloh dalam
keadan bangkrut bersama dengan kuatnya hujjah yang menghujjahinya.”
Ya Alloh inilah untaian do’a
hamba-Mu yang penuh dengan kezholiman:
اللهم إني ظلمت نفسي ظلما كثيرا و
لا يغفرالذنوب إلا أنت فاغفرلَى
مغفرة
من عند ك وارحمني إنك أنت الغفر الرحيم
Ya
Alloh, sesungguhnya aku telah menzholimi diriku dengan kezholiman yang banyak, dan tidak ada yang
mengampuni dosa kecuali Engkau. Ampunilah diriku dengan pengampunan dari
sisimu. Engkaulah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Mukhtashor Al
bukhori:433)
Amiin yaa Mujibas Saa’iliin.
Maroji’
‘Awaaiquth Tholab karya
‘Abdus Salam Barjas Al ‘Abdil kariim
Selesai disusun di Walahar,
5 Rojab 1433 H / 26 Mei 2012
Oleh Al Faqiiroh ila
Maghfiroti Robbihaa