Senin, 23 April 2012

HUKUM KHITAN BAGI WANITA


بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh : ‘Abdul Qodir al-Minangkabawiy, di DarulHadits Dammaj, Yaman

Soal : “ Bismillah, assalaamu’alaikum. Ana mau tanya, apa hukum khitan
bagi wanita?, mohon penjelasannya dengan rinci. Jazakumullohu khoir.
(Ummu Kholid, Sulawesi Selatan)

Jawabannya:
Wa'alaikum salam
“Hukum khitan bagi perempuan adalah sunnah, tidak wajib. Adapun bagi
laki-laki maka hukumnya wajib. Berkata Rosululloh shollallohu 'alaihi
wa sallam:
الفِطْرَةُ خَمْسٌ: الخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَنَتْفُ الإِبْطِ،
وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ

“Fitrah itu ada lima: Khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu
ketiak, menggunting kumis dan memotong kuku”. (HR. Bukhori 6297 dan
Muslim 257, dari Abu Huroiroh rodhiallohu 'anhu)


Berkata Imam Annawawi rahimahulloh di syarh Muslim: “Adapun fitrah
disini, maka diperselisihkan maksudnya, berkata Abu Sulaiman
Alkhottobi: “Jumhur ulama berpendapat bahwa dia adalah sunnah, seperti
itu juga yang dikatakan oleh sekelompok ulama selain Khottobi, mereka
berkata: “maknanya adalah: sesungguhnya fitrah tersebut adalah
termasuk sunnah-sunnah para Nabi shollallohu 'alaihim wa sallam”,
dikatakan juga: “fitrah tersebut adalah agama”, dan juga sesungguhnya
kebanyakan yang disebut di dalam fitrah tersebut tidak lah wajib
disisi para ulama, dan pada sebagiannya yang lain terjadi
khilaf(perselisihan) tentang hukum wajibnya, seperti khitan,
madhmadhoh dan istinsyaq (sebagaimana di dalam hadits yang lain), dan
tidaklah terhalang untuk digandengkan penyebutan sesuatu yang wajib
dengan selainnya sebagaimana perkataan Alloh subhanahuwata’ala:
﴿كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ﴾

“Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan
tunaikanlah haknya di hari pemetikan hasilnya (dengan disedekahkan
kepada fakir miskin)”. (QS. Al-an’am 141)

Penunaian haknya wajib, akan tetapi memakannya tidak wajib, Allohu
A’lam. (selesai penukilan perkataan Imam Annawawi rohimahulloh)
Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahulloh di kitabnya “Almughni”:
“pembahasan: Adapun khitan, maka hukumnya adalah wajib bagi laki-laki
dan makrumah (disenangi/dihormati) bagi perempuan, dan tidaklah
diwajibkan bagi perempuan. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama.
Berkata Imam Ahmad: “hukumnya pada laki-laki lebih ditekankan, karena
laki-laki apabila tidak berkhitan, maka kulit tersebut membungkus
pucuk kemaluan, dan tidaklah bersih apa-apa yang ada disekitar kulit
tersebut. Adapun pada perempuan,maka perkaranya gampang”,…”.

Kemudian beliau –Ibnu Qudamah- rohimahulloh berkata: “Dan
disyari’atkan juga khitan bagi perempuan, berkata Abu ‘Abdillah (Imam
ahmad): " Hadits Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:
«إذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَجَبَ الْغُسْلُ»
“apabila dua khitan bertemu, maka diwajibkan mandi”. (HR.Muslim 349
dan lafaz ini dari riwayat Ibnu Majah 608, lihat Silsilah Ashohihah
karya Imam Al-albani rohimahulloh 1261)

Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa perempuan dahulu
berkhitan, dan hadits ‘Umar rodhiallohu 'anhu: “sesungguhnya seorang
wanita tukang khitan mengkhitan”, berkata Umar:
"أَبْقِي مِنْهُ شَيْئًا إذَا خَفَضْت"
“jika kamu memotongnya maka sisakan sebagian daripadanya”

Dan Alkhollal meriwayatkan dengan sanadnya dari Syaddad bin Aus
rodhiallohu 'anhu, berkata Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:
«الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ، وَمَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ»
“Khitan adalah sunnah bagi laki-laki dan makrumah bagi perempuan”.
(HR. Aththobaroni 7113, didho’ifkan oleh Syaikh Al-albani rohimahulloh
di Silsilah Adho’ifah 1935)

Dan dari Jabir bin Zaid rodhiallohu 'anhu semisal hadits itu juga
secara mauquf dari perkataannya rodhiallohu 'anhu. Dan diriwayatkan
dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bahwa beliau shollallohu
'alaihi wa sallam berkata kepada perempuan yang mengkhitan perempuan:
«أَشِمِّي وَلَا تَنْهَكِي، فَإِنَّهُ أَحْظَى لِلزَّوْجِ، وَأَسْرَى
لِلْوَجْهِ»
“potonglah sebagian saja dan janganlah kamu memotong habis sampai
kepangkalnya, karena sesungguhnya dia lebih disenangi oleh suami dan
lebih mencerahkan wajah”. (HR. Abu Daud 5271, dari Ummu ‘Athiyyah
rodhiallohu 'anha, dishohihkan oleh Syaikh Al-albani rohimahulloh di
Silsilah Ashohihah 722)”. (Selesai penukilan perkataan Imam Ibnu
Qudamah rohimahulloh dari Kitab “Almughni”)

Kemudian Imam Ibnul Qoyyim rahimahulloh dikitabnya “TuhfatulMaudud”
membawakan lima belas buah dalil para ulama yang mewajibkan khitan,
dan dalil mereka yang kuat adalah:
1.      Perkataan Alloh Subhanahuwata’ala:
{ثمَّ أَوْحَينَا إِلَيْك أَن اتبع مِلَّة إِبْرَاهِيم حَنِيفا}
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim
seorang yang hanif". (QS. Annahl 123)  Dan khitan adalah merupakan
agama Ibrohim shollallohu 'alaihi wa
sallam, berkata Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:

«اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ
سَنَةً بِالقَدُّومِ»
“Ibrohim ‘alaihissalam berkhitan ketika dia berumur delapan puluh
tahun dengan menggunakan kapak”. (HR. Bukhori 3356 dan Muslim 2370,
dari Abu Huroiroh rodhiallohu 'anhu).
2.      Laki-laki apabila tidak berkhitan maka tidak bisa beristinja
dengan bersih karena najis akan tersisa didalam kulit yang tidak
dipotong  tersebut.

Dalil nomor dua ini adalah bantahan kuat atas sebagian ulama yang
tidak mewajibkan khitan.
Jika kita melihat pada kedua dalil ini maka kita dapatkan kesimpulan
bahwa kewajiban berkhitan adalah bagi laki-laki saja. Adapun perempuan
maka dikembalikan hukumnya kepada makna hadits-hadits yang telah
disebutkan di atas, yaitu hukumnya mustahab bagi perempuan, berkata
Syaikh Muhammad bin Hizam hafizhohulloh di syarh BulughulMarom 5/554:
“Imam ahmad berpendapat –sebagaimana didalam sebuah riwayat dari
beliau rohimahulloh- bahwa hukumnya wajib bagi laki-laki dan sunnah
bagi perempuan. Pendapat ini dirojihkan oleh Syaikh Al’allaamah
‘Utsaimin rohimahulloh di SyarhulMumti’ dikarenakan perempuan tidak
terpengaruh kesuciannya disebabkan tidak berkhitan, berbeda halnya
pada laki-laki, dan pendapat ini adalah yang benar. Allohu a’lam.”

- selesai- penukilan perkataan Syaikh Muhammad bin Hizam
hafizhohulloh, dan Syaikh Yahya hafizhohulloh juga merojihkan pendapat
ini.

Sumber:Di sini