Minggu, 22 April 2012

RISALAH TETANG ASAL HUKUM JAM’IYYAH

Ditulis oleh:

Abu Ja’far Al Harits bin Dasril Al Indunisy – 16 Rojab 1431 Hijriyah

TAQDIM  :
Asy Syaikh Al Fadhil Abu Abdillah Muhammad Bin Hizam Al Fadhly Al Ba’dany Hafizhohulloh
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله ومن والاه أما بعد
Saya telah menelaah isi kitab ini yang berjudul “Ar Risalah Fi Hukmi Ashlil Jam’iyyah[1] yang dikumpulkan oleh saudara kami yang mulia, da’i kepada Allah, Abu Ja’far Al Harits bin Dasril Al Indunisy, dan saya melihatnya sebagai sebuah buku yang bermanfaat. Penulisnya telah mengumpulkan di dalamnya faidah-faidah yang penting dan penjelasan yang bermanfaat. Kami memohon kepada Allah agar memberikan manfaat kepada agama Islam dan kaum muslimin melalui penulis dan bukunya ini.
Ditulis oleh:
Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al-Fadhly Al-Ba’dany
Kamis 23 Robiiul Akhir 1431
MUQODDIMAH
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله، نحمده، ونستعينه، ونستغفره، ونعوذ به مِن شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل، فلا هادي له. وأَشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد,
Beberapa ikhwah masih mempermasalahkan tentang hukum asal Jam’iyyah. Sebagian mereka mengatakan hukum asalnya adalah boleh, sebagian mengatakan bid’ah, dan yang lainnya mengatakan ada perincian hukumnya. Oleh karena itu maka saya meminta pertolongan kepada Allah dalam menjelaskan mana (yang lebih mendekati ) kebenaran dalam permasalahan ini.
Saya berterima kasih kepada dua syaikh yang mulia Abu ‘Amr Abdul Karim Al-Hajury dan Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Hafizhohumalloh atas kerendahan hati mereka untuk memeriksa isi risalah ini. Demikian juga kepada Syaikh ‘Abdul Hamid Al-Hajury atas masukannya yang berharga.
Saya memohon kepada Allah agar menjadikan amal ini ikhlas mengharapkan wajah-Nya yang mulia, dan bermanfaat untuk diri saya dan kaum muslimin.
الحمد لله رب العالمين, وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
Ditulis oleh:
Abu Ja’far Al Harits bin Dasril Al Indunisy
16 Rojab 1431
PASAL
KATA JAM’IYYAH ADALAH KATA YANG BERMAKNA MUJMAL[2]
SEJARAH JAM’IYYAH
Berikut ini saya nukilkan secara ringkas dari tulisan saudara kami Abul Husein Muhammad bin Muhyiddin Al-Indunisy pada bukunya yang berjudul: “Al Jam’iyyah Harokah bilaa Barokah”Yayasan, Sarana Dakwah tanpa Barokah”). (Telah diterjemahkan dengan judul: “
Jam’iyyah adalah metode terdepan yang digunakan oleh Yahudi untuk menyebarkan pemahaman mereka yang beracun yaitu Al-Maasuuniyyah (freemansory). Sampai akhirnya mereka sukses -dengan perantaraan Jam’iyyah Al-Ittihad Wat Taroqqy di Turki yang didirikan pada tahun 1898 M/1316 H- mengakhiri Khilafah Turki Utsmany )kerajaan Islam Al Utsmaniyyah). Jam’iyyah ini memiliki cabang di sebagian besar negara-negara Arab.[3]
Kemudian pemikiran ini diambil oleh Jamaluddin Al-Afghony dan orang-orang yang semisalnya lalu disebarkan di tengah-tengah kaum muslimin, lantas diambil oleh muridnya Muhammad Abduh, yang kemudian diikuti oleh muridnya, Muhammad Rosyid Ridho.

DEFINISI JAM’IYYAH

Jam’iyyah adalah suatu perkumpulan yang terdiri dari beberapa orang dengan tujuan menyatukan pikiran dan usaha mereka dengan bentuk yang berkesinambungan, tanpa tujuan untuk mengambil laba[4]
Jam’iyyah adalah perkumpulan yang terdiri dari bagian-bagian dengan tujuan tertentu dan kesatuan pendapat [5].
SISI KE MUJMALAN KATA JAM’IYYAH
Sisi kemujmalan kata tersebut dapat dilihat pada kalimat “Tanpa tujuan untuk mengambil laba” dan kalimat “dengan tujuan tertentu”.
Sebagaimana telah disebutkan, bahwasanya definisi jam’iyyah dikaitkan dengan tujuan tertentu. Maka apakah tujuan atau maksud jam’iyyah tersebut sehingga kita bisa menghukuminya dengan hukum boleh atau tidak secara mutlak?
Sebab merupakan suatu hal yang telah dimaklumi bahwa perbedaan tujuan menyebabkan perbedaan hukum.
KESIMPULAN PASAL INI
Meskipun yang tampak dari sejarah bahwa jam’iyyah ini termasuk perkara muhdats -yaitu secara bahasa -karena bid’ah lebih khusus daripada muhdats- tapi tidak semua perkara muhdats bisa dihukumi sebagai bid’ah, kecuali jika asal perkara tersebut adalah perkara ibadah[6]..
Adapun dari dua definisi ini bisa diketahui bahwa jam’iyyah asalnya bukan murni ibadah, maka tidak bisa kita menghukuminya sebagai bid’ah secara mutlak. Begitu pula tidak dikatakan sebagai adat kebiasaan secara mutlak karena ia dikaitkan dengan tujuan tertentu[7], sedangkan tujuan ini tidaklah memiliki batasan yang jelas.
PASAL
PENGGUNAAN KATA YANG BERMAKNA MUJMAL ADALAH SALAH SATU CARA AHLI BID’AH UNTUK MEMBENARKAN BID’AHNYA
Syaikhul Islam Rahimahulloh berkata[8]: “Orang-orang yang menentang Al-Kitab dan As-Sunnah dengan sesuatu yang mereka namakan sebagai ‘aqliyyat (logika) berupa ilmu kalam, ilmu filsafat, dan yang sejenisnya, sebenarnya mereka hanyalah membangun perkara mereka tersebut di atas dasar kalimat-kalimat yang bermakna tidak jelas dan yang bermakna mujmal yang mengandung beberapa makna. Ketidakjelasan kata dan makna pada kalimat-kalimat tersebut menyebabkannya bisa dibawa kepada makna haq dan makna batil. Dikarenakan makna haq yang terkandung pada kalimat-kalimat inilah maka kebatilan yang terkandung padanya pun jadi diterima disebabkan karena adanya ketidakjelasan dan kesamaran pada kalimat-kalimat tersebut. Kemudian mereka mempertentangkan kalimat-kalimat yang mengandung kebatilan tersebut dengan perkataan para nabi Sholawatullahi wa salamuhu ‘alaihim.
Inilah asal mula kesesatan orang-orang yang telah sesat dari kalangan umat-umat sebelum kita, dan ini adalah sumber munculnya bid’ah. Karena kalaulah bid’ah itu berbentuk kebatilan murni maka dia akan tampak jelas dan terpisahkan (dari al haq), serta tidak akan diterima. Apabila dia berbentuk kebenaran murni dan tidak ada kejelekannya maka ia pasti mencocoki As- Sunnah, karena As-Sunnah tidak bertentangan dengan kebenaran murni yang tak ada kebatilan padanya. Akan tetapi bid’ah itu mengandung kebenaran dan kebatilan. Kami telah uraikan tentang masalah ini secara panjang lebar pada selain kitab ini.” Selesai penukilan.
Beliau Rahimahulloh berkata[9]: “Adapun menyikapi ungkapan-ungkapan yang bermakna mujmal dengan menolaknya atau menerimanya tanpa melakukan perincian terlebih dahulu akan menjerumuskan (seseorang) kepada kejahilan dan kesesatan, fitnah dan kerusakan, dan  pembicaraan yang tak bermanfaat.” Selesai penukilan.
Beliau Rahimahulloh juga berkata[10]: “Disebabkan oleh kemujmalan dan persamaan makna yang terdapat dalam beberapa kata, baik dalam hal penolakan kata (tersebut) ataupun penetapannya, kamu mendapatkan kelompok-kelompok muslimin saling membenci, bermusuhan, mendendam, atau bertengkar dalam menetapkan suatu kata atau menolaknya. Kelompok yang menetapkan kata tersebut mensifati kelompok yang menolaknya dengan sesuatu yang tidak mereka inginkan, dan kelompok yang menolaknya mensifati kelompok yang menetapkannya dengan sesuatu yang tidak mereka inginkan. (Semua ini disebabkan) karena pada kata tersebut terdapat kemujmalan dan persekutuan makna (dalam sebuah kata atau kalimat) yang mengandung makna yang benar dan makna yang salah. Orang yang menetapkan menafsirkan kata tersebut dengan makna yang benar, dan orang yang menolak menafsirkannya dengan makna yang batil. Kemudian orang yang menetapkan mengingkari orang yang menolak dengan mengatakan bahwa dia telah menentang kebenaran, dan (sebaliknya) orang yang menolak kata tersebut mengingkari orang yang menetapkannya dengan mengatakan bahwa dia telah berkata batil terhadap Allah.” Selesai penukilan.
PASAL
SIKAP YANG BENAR TERHADAP KATA-KATA YANG BERMAKNA MUJMAL
Syaikhul Islam Rahimahulloh berkata[11]: “Adapun metode salaf dan para imam, mereka memperhatikan makna-makna yang benar yang dikenal oleh syari’at dan akal. Mereka menjaga kata-kata (ungkapan-ungkapan) yang syar’i dan menggunakannya sebisa mungkin. Barangsiapa yang berbicara dengan menggunakan makna batil yang terkandung dalam ungkapan tersebut yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah maka ulama akan membantahnya. Dan barangsiapa yang berbicara dengan menggunakan ungkapan bid’ah yang mengandung kebenaran dan kebatilan maka ulama akan menisbahkan orang tersebut kepada bid’ah pula dan mengatakan bahwa orang ini pada hakikatnya telah melawan bid’ah dengan bid’ah, dan membantah yang batil dengan kebatilan.” Selesai penukilan.
Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-‘Abbad Al-Badr Hafizhohulloh berkata[12]: “Ini adalah metode Ahlussunnah wal Jama’ah dalam permasalahan ungkapan-ungkapan yang bermakna mujmal yang tidak terdapat di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka menetapkan makna yang haq dan tidak mengungkapkan dengan ungkapan yang mujmal yang mengandung kebenaran dan kebatilan. Mereka menolak makna yang batil dan ungkapan yang digunakan untuk mengungkapkan makna tersebut.” Selesai penukilan.

Ungkapan-ungkapan yang memiliki makna mujmal yang mengandung berbagai macam makna akan diketahui hukumnya jika diperinci.
Al Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh berkata di dalam Al Qoshidatun Nuniyyah:
فـعليك بـالتفصيل و التمييز فـالـ
إطلاق و الإجمال دون بيان
“Wajib atasmu (untuk melakukan) perincian dan pembedaan (makna ungkapan mujmal), karena pemutlakan dan kemujmalan tanpa (adanya) keterangan …
قد أفسدا هذا الوجود و خبطا الـ
أذهــان و الآراء كــل زمان
… telah merusak alam ini dan mengacaukan akal dan pendapat di setiap zaman.”
Syaikh Sholih bin Fauzan Hafizhohulloh berkata dalam penjelasan bait pertama[13]: “Ini adalah bantahan terhadap orang-orang yang melakukan kemujmalan dalam permasalahan “Kata-Kata (suara pembaca) Al-Qur’an”[14]. Mereka mengatakan: ‘Kami tidak mengatakan bahwa kata-kata pembaca Al Qur’an adalah makhluk dan tidak pula mengatakan bahwa dia bukan makhluk.’ Kalimat yang mujmal tidak bisa bakal memperoleh maksud yang diinginkan, dan tidak bisa diketahui dengannya al haq. Bait ini adalah suatu kaidah yang patut dipegang oleh para penuntut ilmu di dalam pembahasan ilmiahnya.”
Beliau Hafizhohulloh juga mengatakan dalam penjelasan bait kedua: “Oleh karena itu harus dilakukan perincian makna. Barang siapa yang tidak mampu untuk memperinci haruslah diam karena pembicaraannya tidak memberi faidah. Setiap kesalahan yang terjadi sebabnya adalah karena tidak adanya perincian antara makna yang haq dan yang batil. Maka haruslah dilakukan perincian dan pembedaan makna tanpa adanya pencampuran. Bisa jadi pada pembicaraan lawan terdapat suatu kebenaran dan suatu kebatilan, maka jangan kamu anggap seluruh perkataannya salah dan jangan pula kamu anggap seluruhnya benar, tapi bedakanlah antara yang benar dan yang batil. Jangan kamu tolak semuanya dan jangan kamu terima semuanya! Akan tetapi bedakanlah antara kalimat yang terkandung padanya haq dan kebenaran dan antara yang terkandung padanya kebatilan dan kesalahan. Apabila kamu tidak mampu untuk melakukan perincian tersebut maka janganlah kamu memasuki bidang ini.” Selesai penukilan.
PASAL
PENJELASAN MASALAH
SEBAB PERBEDAAN BENTUK JAM’IYYAH
Ada dua poin penting yang berkaitan dengan perbedaan hukum bentuk-bentuk jam’iyyah. Yang pertama adalah ada atau tidaknya penyelisihan terhadap syariat, dan yang kedua adalah tujuan (dari jam’iyyah tersebut).
  1. Adapun masalah penyelisihan syariat maka ada dua bentuk kemungkinan: Penyelisihan yang tidak mungkin terlepas dari jam’iyyah dan penyelisihan yang terkadang ada dan terkadang tidak.
a. Adapun penyelisihan yang pertama adalah seperti ketundukan jam’iyyah terhadap perundang-undangan buatan. Karena pemerintah tidaklah menerima keberadaan jam’iyyah kecuali dengan menyetujui undang-undang buatan, baik undang-undang tersebut sesuai dengan syariat ataupun tidak. Penyelisihan ini dipersyaratkan pada waktu pendaftaran di notaris.
Jika ada yang mengatakan: “Ini hanyalah persyaratan di atas kertas”, maka kita jawab bahwa perbuatan ini adalah suatu kedustaan. Dengan ini berarti mereka telah berdusta kepada pemerintah. Padahal pada asalnya mereka memiliki pilihan[15] untuk tidak melakukan pendaftaran tersebut. Akan tetapi semua ini adalah hawa nafsu. Mereka sendiri condong untuk melakukan hal tersebut.
b. Adapun pola penyelisihan yang kedua adalah seperti hizbiyyah, menghinakan diri dengan meminta-minta, bermudah-mudahan dalam bermuamalah dengan bank, bermudah-mudahan dalam masalah foto makhluk yang bernyawa, voting, khianat dan penipuan, serta menyibukkan diri dalam pengelolaan harta Allah secara batil. Penyelisihan jenis yang kedua ini bisa terjadi pada sebagian jam’iyyah dan tidak terjadi pada sebagian yang lain.
  1. Adapun tujuan yang pertama adalah persangkaan mereka bahwa pendirian jam’iyyah ini termasuk perkara agama. Seperti orang yang menjadikan jam’iyyah sebagai jalan untuk berdakwah[16], atau persangkaan mereka bahwa pendirian jam’iyyah adalah salah satu bentuk tolong-menolong yang disunnahkan. Dan kami tidak mengetahui bentuk taqorrubjam’iyyah selain dari dua bentuk yang di atas, wallahu A’lam. Metode dakwah itu tauqifiyyah (terbatas kepada dalil), terlebih lagi permasalahan ibadah.[17] kepada Allah dengan
    1. Adapun yang kedua seperti perasaan kemanusiaan (semisal menolong orang-orang lemah dan yang lainnya), sebagai kemaslahatan untuk anggotanya, memudahkan sistem kerja, atau tujuan yang lainnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup manusia.
    2. Adapun yang ketiga seperti jam’iyyah untuk dakwah kristenisasi atau dakwah hizbiyyah, atau untuk tujuan meminta-minta, karena masyarakat tidak akan percaya kecuali dengan keberadaan jam’iyyah. Jenis yang ketiga ini hukumnya jelas (yaitu haram) dan tidak perlu untuk dibahas secara panjang dan lebar. Oleh karena itu, jenis ini tidak menjadi pembahasan saya di dalam risalah ini.
  2. Adapun masalah tujuan, maka tujuan mereka bisa jadi untuk taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah, untuk tujuan yang mubah (dibolehkan), atau untuk tujuan yang haram.
PERINCIAN HUKUM JAM’IYYAH
Berdasarkan penjelasan yang telah lalu, maka setiap bentuk jam’iyyah harus dihukumi sesuai dengan kondisinya masing-masing. Kondisi ini terbagi dalam tiga kemungkinan[18]:
1.    Kemungkinan pertama:
Bahwasanya tidaklah terdapat satu jam’iyyah pun melainkan terdapat padanya penyelisihan syari’at (yaitu penyelisihan yang tidak bisa dipisahkan dari jam’iyyah). Adapun bagi penyelisihan yang terkadang ada dan terkadang tidak, jika penyelisihan jenis ini didapati juga pada suatu jam’iyyah maka hal ini adalah suatu kejelekan di atas kejelekan) karena jam’iyyahjam’iyyah tidak akan ada jika penyelisihan tersebut tidak dilakukan[19]. Oleh karena itu hukum asal pada bentuk seperti ini adalah haram berdasarkan kaidah yang diakui oleh para ulama ushul fiqh: tidak akan ada tanpa adanya penyelisihan tersebut. Maka dengan ini diketahui bahwa
“ما لا يتم ترك الحرام إلا بتركه فتركه واجب”
(Apabila sebuah keharaman hanya bisa ditinggalkan dengan cara meninggalkan sebuah perkara, maka meninggalkan perkara tersebut hukumnya wajib) [20].
Allah telah melarang para sahabat dari berbincang-bincang di rumah Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa Sallam karena perbuatan ini menyakiti beliau. Allah Jalla wa ‘Ala berkata:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Tetapi jika kamu diundang maka masuklah. Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi.” [Al Ahzab: 53]
Asy Syaikh As Sa’dy Rahimahulloh berkata di tafsirnya: “Perkataan Allah Ta’ala:
﴿وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ﴾
Yaitu sebelum makan dan setelahnya. Kemudian Allah menerangkan hikmah dan faidah dari larangan tersebut dan berkata:
﴿إِنَّ ذَلِكُمْ﴾ yaitu penungguan kalian yang melebihi batas kebutuhan,
﴿كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ﴾ yaitu: membebani dan memberatkan beliau. Maka biarkanlah beliau dengan urusan rumahnya dan kesibukannya padanya.”
Menyakiti Nabi Sholallohu ‘alaihi wa Sallam adalah perbuatan yang terlarang. Allah Ta’ala berfirman:
﴿وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا﴾
“Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” [Al Ahzab: 53]
Maka tidaklah sempurna meninggalkan perbuatan menyakiti Nabi kecuali dengan meninggalkan perbincangan di rumah Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa Sallam م .
Ya, bila ada yang mengatakan: “Tidak sepatutnya melihat hanya kepada besarnya kerusakan yang bisa menyebabkan timbulnya larangan melainkan sepatutnya bersamaan dengan itu melihat pula kepada kebutuhan yang bisa menyebabkan dibolehkannya perkara tersebut, atau bahkan yang bisa menyebabkan timbulnya hukum mustahab atau wajib.”[21]
Maka dijawab: Apakah kebutuhan terhadap jam’iyyah lebih besar dari penyelisihan-penyelisihan yang terdapat padanya? Bahkan dakwah pada asalnya tidak butuh kepada jam’iyyah. Dakwah telah tersebar ke berbagai penjuru tanpa adanya jam’iyyah. Dan kemaslahatan syar’iyyah termasuk dari perkara-perkara yang tidak bisa dimasuki oleh akal dan tidak bisa diketahui dengan percobaan. Hal tersebut hanya bisa diketahui dengan timbangan syariat.
Hal it bisa ditempuh dengan menetapkan bahwa jam’iyyah termasuk di dalam keumuman dalil dengan pemahaman yang benar. Atau dengan menetapkan bahwa di dalam syariat ini ada perkara yang serupa dengan jam’iyyah sehingga bisa dilakukan qiyas yang benar. Adapun bila hanya sekedar kemaslahatan yang direka-reka maka hal ini tidaklah bisa diterima.
Al ‘Allamah Al ‘Utsaimin Rahimahulloh: “ … karena kemaslahatan-kemaslahatan ini bila diterima oleh syariat maka dia adalah bagian dari syariat, sebab Allah telah memerintahkan untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan. Dan bila tidak diterima oleh syariat maka hal tersebut bukanlah suatu kemaslahatan meskipun pelakunya menyangka bahwa itu adalah kemaslahatan.”[22]
Bahkan jika dakwah tidak diizinkan melainkan dengan melakukan beberapa penyelisihan syariat maka kita tidak boleh melakukannya karena dakwah merupakan perintah dan pelaksanaannya sebatas kemampuan. Adapun penyelisihan syariat merupakan hal yang dilarang, dan meninggalkannya harus dilakukan secara keseluruhan. Nabi Sholallohu ‘alaihi wa Sallam telah berkata -sebagaimana di Shohih Muslim-:
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فافعلوا منه ما استطعتم فإنما أهلك الّذين من قبلكم كثرة مسائلهم واختلافهم على أنبيائهم
“Apa saja yang aku larang darinya maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan maka lakukanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang yang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan mereka dan penyelisihan mereka terhadap para nabi mereka.”
Perkara yang lain, bahwasanya metode dakwah yang syar’i itu banyak, sehingga tidaklah mungkin bagi seseorang untuk melarangnya secara keseluruhan. Metode itu tidak hanya terbatas dengan mengajar atau muhadhoroh saja.
Syaikh kami Yahya Al Hajury Hafizhohulloh ditanya: “Berdakwah di negeri kami dilarang bila tanpa memiliki kartu resmi atau izin resmi dari pihak pemerintah. Apa nasehat anda kepada kami? Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.”
Beliau Hafizhohulloh menjawab: “
﴿فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾
“Bertakwalah kalian kepada Allah dengan semampu kalian.” [At Taghabun: 16]
﴿لَا يُكَلِّفُ اللهَ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا﴾
“Allah tidak membebani suatu jiwa melainkan (sesuai dengan batas) kemampuannya.” [Al Baqarah: 286]

Suatu hal tidak diragukan lagi bahwa seseorang bisa berdakwah di mobil, tidak ada yang membungkam mulutnya di mobil (agar tidak berdakwah), begitu pula di rumahnya. Demi Allah, kalaulah tidak bisa mengajari kecuali keluarganya, maka dia digolongkan orang yang beruntung dan berhasil, dan termasuk da’i kepada Allah. Sungguh dia telah menghasilkan kebaikan. Dakwah kepada yang datang berziarah ke rumahnya atau lewat telepon atau yang lainnya.
Allah Ta’ala berfirman:
﴿فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾
“Bertakwalah kalian kepada Allah dengan semampu kalian.” [At Taghabun: 16]
Demikian pula, jika mampu untuk menulis dan mengarang, hendaklah menulis yang bermanfaat bagi manusia dan menyebarkannya dan mengarahkan manusia ke tempat menuntut ilmu yang bermanfaat. Barangsiapa yang memberinya kartu izin untuk berdakwah kepada Allah maka ambillah, dan bila tidak diberi, atau mereka mewajibkan dengan sebagian perkara yang menyelisihi syariat, atau memberikan beban materi yang memberatkannya, maka berdakwahlah kepada Allah seperti yang kami sebutkan tadi dengan tetap menjaga sopan santun dan lemah lembut serta menetapi sebab-sebab diterimanya dakwah dari sisi ilmu dan sunnah, wabillahittaufiq.” [23]
Berdasarkan penjelasan yang telah lalu, maka disimpulkan bahwa jam’iyyah (untuk kemungkinan yang pertama) memiliki dua hukum:
  • Jika tujuannya adalah untuk taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah maka hukumnya adalah bid’ah. Sebab dengan ini berarti dia telah mengadakan suatu bentuk taqorrub[24] kepada Allah dengan sesuatu yang diharamkan-Nya.
Al ‘Allamah Al-Albany Rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya bid’ah yang telah ditetapkan kesesatannya oleh Allah adalah -lalu beliau menyebutkannya Diantaranya- semua perkara yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa Sallam telah melarang darinya.[25]
  • Jika tujuannya adalah perkara dunia maka hukumnya haram.
2. Kemungkinan kedua:
Bahwasanya pada jam’iyyah tidak terdapat penyelisihan syariat, baik bentuk penyelisihan yang tidak bisa dipisahkan dari jam’iyyah, ataupun penyelisihan yang terkadang ada dan terkadang tidak. Maka hukum asalnya adalah boleh karena ia termasuk adat kebiasaan[26]. Kemungkinan inilah yang “didendangkan” para pembela jam’iyyah untuk meng”gol”kan jam’iyyah mereka.
Maka saya katakan:
Pertama: Memang betul bahwa hukum asal dari perkara adat kebiasaan adalah boleh, akan tetapi kemungkinan (kedua) ini hanyalah kemungkinan yang ada di benak saja dan tidak ada di dalam kenyataan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilaly pada kunjungannya ke Darul Hadits Dammaj pada tanggal 22-24 Jumadits Tsany 1430: “Jam’iyyahhizbiyyah. Tidaklah aku melihat jam’iyyah melainkan terdapat padanya hizbiyyah. Meskipun pada awalnya ia terlihat jauh dari hizbiyyah, atau berusaha untuk meloloskan diri dari hizbiyyah namun taring-taring hizbiyyah telah mencengkeramnya, menggigitnya, dan memasukkannya Diantara kedua tulang rahangnya. Jam’iyyah seluruhnya hizbiyyah kecuali yang dirahmati oleh Allah dan jumlahnya sedikit sekali.” meskipun pada awalnya dibangun dalam rangka tolong-menolong, tapi perjalanannya menuju kepada
Kemudian beliau ditanya tentang maksud pengecualian tersebut. Beliau menjawab: “Maksud saya dari pengecualian ini: Jika ada yang mengetahui bahwasanya ada jam’iyyah yang bukan hizbiyyah maka hendaklah dia memberi tahu saya sehingga saya akan merubah pendirian saya terhadap jam’iyyah.” Selesai penukilan.
Memang betul perkataan beliau hafizhohulloh ini, karena sesungguhnya kemungkinan (kedua) ini bukanlah dalil bagi mereka (para pembela jam’iyyah), akan tetapi justru menjadi dalil atas kebatilan jam’iyyah-jam’iyyah mereka, karena mereka tidak mampu mendatangkan bukti atas keberadaan jam’iyyah yang mereka “dendangkan” tersebut (yaitu jam’iyyah yang bebas dari penyelisihan syariat).
Kedua: Anggaplah kemungkinan (kedua) ini dipakai, maka sesungguhnya jam’iyyah itu sendiri merupakan perkara yang dilarang karena ia adalah perantara kepada perkara yang haram jika ditinjau dari sisi kerusakan-kerusakannya[27].
Ibnul Qoyyim telah memaparkan di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in tentang larangan segala sesuatu yang bisa mengantarkan kepada keharaman walaupun asalnya mubah (boleh), dan beliau menyebutkan sembilan puluh sembilan dalil, Diantaranya:
Allah Ta’ala berfirman:
﴿يا أيها الذين آمنوا لاتقولوا راعنا وقولوا انظرنا﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna” dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” [Al Baqaroh: 104]
Allah Ta’ala melarang untuk mengucapkan perkataan (Raa’ina) ini  -meskipun maksud mereka baik- supaya perkataan mereka itu tidak menjadi jalan kepada tasyabbuh dengan orang-orang Yahudi dalam perkataan dan percakapan mereka. Sebab sesungguhnya mereka berbicara kepada Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam memakai perkataan ini dengan tujuan mencela karena yang mereka maksudkan adalah kalimat ru’uunah (yang berarti kebodohan yang sangat). Oleh karena itulah kaum muslimin dilarang untuk mengucapkan perkataan ini sebagai penutup jalan terjadinya tasyabbuh dengan mereka. Juga sebagai penutup jalan bagi orang-orang Yahudi untuk mengatakannya kepada Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk menyerupai kaum muslimin sedangkan yang mereka maksudkan bukanlah seperti apa yang dimaksudkan oleh kaum muslimin[28].
Beliau Rahimahulloh berkata: “Allah mengharamkan atas muhrim (orang yang melaksanakan ihram) untuk memakai minyak wangi karena hal itu termasuk sebab-sebab pendorong untuk melakukan persetubuhan. Jadi, pengharaman ini adalah cara untuk menutup jalan perantara (kepada perbuatan tersebut).” [29]
Beliau Rahimahulloh berkata: “Penguasa, hakim, dan pemberi syafaat dilarang menerima hadiah karena ini adalah penyebab rusaknya seorang alim dan merupakan penyerahan urusan kepada yang bukan ahlinya serta penyerahan kepemimpinan kepada para pengkhianat dan orang-orang yang lemah serta orang-orang yang tidak mampu. Dengan sebab ini terjadilah kerusakan-kerusakan yang tidak ada yang mampu untuk menghitung jumlahnya melainkan Allah. Tidaklah hal ini terjadi melainkan karena menerima hadiah dari orang yang tidak biasa memberi hadiah kepadanya adalah jalan perantara untuk menunaikan hajatnya. Kecintaan terhadap sesuatu bisa membuat (hati) buta dan tuli, sehingga bangkitlah karena hawa nafsunya untuk menunaikan hajatnya sebagai bentuk balas budi kepadanya bersamaan dengan keburukannya, dan tidak perduli bahwasanya hal ini tidaklah baik.”[30]
Beliau Rahimahulloh berkata: “Rasululah Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang dari duduk berkumpul di jalan-jalan. Tidaklah hal ini dilarang melainkan karena perbuatan ini adalah perantara untuk melihat kepada yang diharamkan. Ketika mereka mengatakan kepada beliau bahwa mereka harus melakukan hal tersebut beliau berkata: “Tunaikanlah hak jalan.” Mereka berkata: “Apakah haknya?” Beliau menjawab: “Menundukkan pandangan, menahan diri dari gangguan, dan menjawab salam.”[31]
Ya, ada yang mengatakan bahwa apa yang dilarang sebagai cara untuk menutup jalan (kepada keharaman), diperbolehkan ketika ada kebutuhan. Syaikhul Islam Rahimahulloh[32] berkata: “Sesungguhnya apa yang dilarang darinya dalam rangka untuk menutup jalan (kepada keharaman), maka diperbolehkan untuk kemaslahatan yang besar, sebagaimana diperbolehkan untuk melihat kepada calon pinangan wanita dan bepergian dengan dengan seorang perempuan jika khawatir akan keselamatannya (bila dia berpergian sendirian) seperti kepergiannya dari daerah peperangan, seperti safarnya Ummu Kultsum, dan seperti safarnya Aisyah bersama Shofwan bin Al-Mu’aththol ketika tertinggal dari rombongan. Hal ini tidaklah dilarang melainkan karena bisa menyebabkan kerusakan. Apabila hal ini mengandung kemaslahatan yang besar maka tidaklah akan menyebabkan kerusakan.”
Akan tetapi jika dicermati betul-betul, sesungguhnya dakwah pada asalnya tidaklah membutuhkan kepada jam’iyyah, apalagi sampai jam’iyyah ini menjadi suatu kemaslahatan yang besar sebagaimana yang telah saya sebutkan pada kemungkinan yang pertama.
Syaikh kami Yahya Hafizhohulloh ditanya: “Apa hukumnya mendirikan yayasan atau organisasi untuk menyebarkan dakwah salafiyah? Karena di negeri kami kalau yayasan atau organisasi ini tidak berdiri maka kebanyakan orang tidak tertarik kepadanya, bahkan mereka menuduhnya sebagai dakwah yang sesat. Oleh karena itulah sebagian da`i mendirikannya untuk kesinambungan da`wah ini. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.”
Beliau Hafizhohulloh menjawab: “Saya katakan kepadamu wahai saudaraku, ajarkanlah pelajaran di masjid dan tetaplah di dalamnya walaupun sendiri. Barangsiapa yang datang kepadamu di atas kebaikan dan sunnah walaupun hanya sepuluh orang bersamamu dan kamu ajari mereka kitab dan sunnah maka engkau dianggap sebagai da`i yang beruntung dan berhasil. Demi Allah, sepuluh orang yang datang kepadamu dan kamu mengajari mereka kitabullah dan sunnah Rasulullah Sholallohu “alaihi wa sallam sehingga mereka keluar sebagai ulama dan da`i maka sesungguhnya engkau telah beruntung. Tinggalkanlah keinginan untuk mencari pengikut yang banyak dan mengumpulkan pengikut dari sana dan sini dengan alasan: “Orang awam berkata demikian, mereka menginginkan demikian, dan mereka menyukai demikian.”
Wahai saudaraku, orang-orang awam sangat butuh pengarahan untuk diri mereka sendiri, bukannya mereka yang mengarahkanmu.”[33]
Dengan demikian maka perincian hukum pada kemungkinan (kedua) ini sama sebagaimana yang saya rinci pada kemungkinan (pertama) terdahulu. Apabila dijadikan sebagai qurbahjam’iyyah dalam kemungkinan (kedua) ini adalah karena pendiriannya termasuk pendekatan kepada Allah dengan adat kebiasaan dari sisi yang tidak diakui oleh syariat[34] meskipun ia masuk ke dalam keumuman dalil[35]. (pendekatan kepada Allah) maka hukumnya bid’ah, dan kalau bukan dengan tujuan tersebut maka hukumnya harom. Diantara yang memperkuat kebid’ahan
Syaikhul Islam Rahimahulloh berkata: “Ini adalah asas yang agung wajib (bagi kita) untuk mengetahuinya dan memperhatikannya, yaitu bahwasanya perkara-perkara yang hukum asalnya mubah, hukumnya tetap mubah jika dijadikan sebagai perkara-perkara yang mubah. Adapun jika perkara-perkara mubah tersebut dijadikan sebagai suatu kewajiban atau mustahab maka hal ini adalah perkara agama yang tidak disyariatkan oleh Allah. Menjadikan perkara yang tidak wajib atau mustahab menjadi wajib atau mustahab, sama halnya seperti menjadikan sesuatu yang tidak haram menjadi haram. Tidak ada perkara haram melainkan apa yang Allah haramkan, dan tidak ada agama melainkan apa yang disyariatkan oleh Allah. Oleh karena itu besar celaan Allah di dalam Al Qur’an terhadap orang membuat-buat syariat agama yang tidak diizinkan oleh Allah, dan terhadap orang yang mengharamkan sesuatu yang Allah tidak memberi izin untuk mengharamkannya. Jika ini dalam hal-hal yang mubah, maka bagaimana dengan hal-hal yang makruh dan haram.” Sampai pada perkataan beliau: “Sebab kaum muslimin telah bersepakat bahwasanya tidak boleh bagi seseorang untuk meyakini atau mengatakan bahwa suatu amalan tertentu adalah pendekatan, ketaatan, kebaikan, dan jalan kepada Allah hukumnya wajib atau mustahab, melainkan haruslah dengan perintah dari Allah dan Rasul-Nya Sholallohu ‘alaihi wa Sallam. Semua ini bisa diketahui dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan hal tersebut. Perkara yang diketahui bahwasanya umat bersepakat bahwa hukumnya bukan wajib, bukan mustahab, dan bukan pula pendekatan kepada Allah, maka tidak boleh diyakini atau dikatakan bahwa perkara itu adalah pendekatan kepada Allah dan ketaatan. Mereka juga telah bersepakat bahwasanya tidak boleh memaksudkan dengan amalan tersebut pendekatan kepada Allah dan ibadah kepada-Nya, tidak boleh menjadikannya bagian dari agama, dan tidak boleh meyakini bahwa mengamalkannya merupakan suatu kebaikan. Jadi, tidaklah boleh seorangpun menjadikannya bagian dari agama, tidak dengan keyakinan dan ucapan, dan tidak pula dengan keinginan dan perbuatan. Dengan sebab menyepelekan asas pokok ini, banyak ulama dan ahli ibadah yang terjatuh ke dalam kesalahan. Mereka menganggap sesuatu bila tidak diharamkan maka tidak boleh dilarang darinya, bahkan dikatakan hukumnya boleh. Mereka tidak membedakan antara menjadikan perkara itu sebagai agama, ketaatan, dan kebaikan, dan antara menjadikan perkara itu sebagai perkara hukumnya mubah semata. Merupakan hal yang telah diketahui bahwasanya menjadikan perkara itu sebagai agama dengan keyakinan, tujuan, atau keduanya, atau dengan ucapan, perbuatan, atau keduanya merupakan Diantara keharaman yang paling besar dan kejelekan yang paling besar. Ini termasuk bid’ah yang diingkari, yang lebih besar daripada perkara-perkara kemaksiatan yang telah diketahui bahwasanya hal-hal itu adalah kemaksiatan dan kejelekan.[36]
Imam Al-Bukhory Rahimahulloh berkata: Sa’id bin Abi Maryam berkata kepada kami: Muhammad bin Ja’far mengabari kami (dia berkata): Humaid bin Abi Humaid Ath Thowil mengabari kami (dia berkata): bahwasanya dia mendengar Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu berkata: Tiga orang lelaki mendatangi rumah istri-istri Nabi Sholallohu ‘alaihi wa Sallam menanyakan tentang ibadahnya Nabi Sholallohu ‘alaihi wa Sallam. Ketika mereka diberitahu (tentang ibadah beliau) sepertinya mereka mengganggap sedikit ibadah mereka. Lalu mereka berkata: “Di mana (kedudukan) kita dari (kedudukan) Nabi Sholallohu ‘alaihi wa Sallam? Sementara Allah telah mengampuni dosa beliau yang terdahulu dan yang akan datang.” Salah seorang dari mereka berkata: “Adapun aku akan sholat malam (sepanjang malam) selamanya.” Yang lainnya berkata: “Aku akan puasa sepanjang masa tanpa berbuka (satu haripun).” Yang lainnya berkata: “Aku akan meninggalkan wanita dan tidak akan menikah selamanya.” Lalu datanglah Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa Sallam dan berkata: “Apakah kalian yang mengatakan begini dan begini? Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan yang paling bertakwa kepada-Nya Diantara kalian, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, sholat (malam) dan tidur, serta menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka dia bukan dari (golongan)ku.”[37]
Diantara perkara lainnya yang menunjukkan bahwasanya jam’iyyah merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah dengan ibadah dari sisi yang tidak dianggap oleh syariat, bahwasanya Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa Sallam dan para salaf tidak melakukannya bersamaan dengan adanya tuntutan untuk melakukannya pada masa mereka dan tidak adanya penghalang yang menghalanginya. [38]
Seandainya dikatakan: Diantara para ulama ada yang mengatakan bolehnya mendirikan jam’iyyah, jika memenuhi syarat-syarat. Diantara syarat-syarat tersebut adalah[39]:
  • Keterkaitan mereka dengan ulama robbani, beramal di belakang mereka, dan tidak mendahului mereka.
  • Orang-orang yang melakukan amalan-amalan ini harus memiliki ilmu syar’i yang cukup sehingga menghindarkan mereka dari terjatuh ke dalam penyimpangan-penyimpangan.
  • Adanya kemampuan untuk mengendalikan diri dari ambisi untuk mencapai ketinggian dalam kepemimpinan, kepentingan pribadi, dan keinginan dunia. Semua itu berporos pada gerakan, perkataan, dan perbuatan yang berdasarkan atas ikatan wala’ dan baro’, mencintai dan membenci yang berlandaskan agama, bukan di atas hal-hal tersebut, karena hal itu tidak lain hanyalah sekedar sarana.
Baik, dengan pendapat seperti ini, apakah kalian mengetahui ada jam’iyyah yang memenuhi syarat-syarat tersebut? Datangkan! Maka saya ulangi lagi: Wahai para pembela jam’iyyah, pendapat ini bukanlah dalil bagi kalian, bahkan ia adalah dalil atas (kebatilan pendapat) kalian. Bagaimanapun juga hal ini sebatas ‘kalau ada’, maka janganlah kalian menjadikan hal yang seperti ini sebagai celah untuk mensahkan maksiat kalian, jika kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
3.   Kemungkinan ketiga:
Bahwasanya tidak terdapat pada jam’iyyah penyelisihan syariat yang tidak terpisahkan darinya, akan tetapi terdapat padanya penyelisihan yang terkadang ada dan terkadang tidak.
Kemungkinan yang ketiga ini lebih parah keadaannya daripada yang kedua karena adanya penyelisihan tersebut adalah dampak dari adanya jam’iyyah ini, sehingga jam’iyyah ini menjadi haram disebabkan adanya penyelisihan tersebut. Dan kebutuhan tidak menjadikan hal yang haram menjadi mubah. Perincian kemungkinan yang ketiga ini sama seperti perincian kemungkinan yang pertama.
Syaikh kami Yahya Hafizhohulloh berkata: “Pada jam’iyyah terdapat fitnah foto makhluk yang bernyawa, tasawwul (meminta-minta), tidak ada iffah (penjagaan diri dari hal-hal yang tidak terpuji), dan penyia-nyiaan waktu bersama orang-orang kaya. Barangsiapa yang menyibukkan diri dengannya akan terpalingkan dari ilmu syar’i, terfitnah dengan dunia, dan menjadi bersama-sama dengan hizbiyyun, bahkan menjadi sarang bagi para pengikut hizbiyyah. Kami tidak mengetahui seorang alim salafy pun yang menjadikan dirinya terfitnah dengan jam’iyyahhizbiyyah. Cukuplah baginya kejelekan bahwasanya dia itu dibangun di atas asas berbagai macam kemaksiatan, sedangkan Allah ‘Azza wa Jalla mengatakan: sebagaimana halnya para pengikut
﴿أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ﴾
“Ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam.” [At Taubah: 109]
Sampai pada perkataan beliau: “Maka kami menasehati untuk menjauh dari jam’iyyah-jam’iyyah ini. Jam’iyyah yang rusak lagi merusakkan. Jam’iyyah didirikan hanyalah untuk memerangi dakwah salafiyah dan memecah belahnya.”
Mirip dengan ini apa yang dimisalkan oleh Al ‘Allamah Al ‘Utsaimin Rahimahulloh : “Jika seandainya terdapat kompleks militer atau yang lainnya yang mana padanya tidak terdapat orang baik yang mengajarkan manusia tentang hukum-hukum agamanya mereka, dan tidak diizinkan bagi seorang pun untuk bekerja di tempat ini kecuali bila mencukur jenggotnya. Apakah boleh saya mencukur jenggot saya lalu saya berdakwah kepada Allah di tempat ini, ataukah saya tinggalkan mereka sama sekali? Jawabannya adalah saya tinggalkan mereka sama sekali karena Allah Ta’ala berfirman:
﴿لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ﴾
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk (hidayah), akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (hidayah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” [Al Baqarah: 272]
Alloh berkata:
﴿ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ﴾
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik” [An Nahl: 125]
Tidak mungkin sama sekali berdakwah kepada Allah dengan kemaksiatan. Jika kamu mencukur jenggotmu berarti kamu terjatuh ke dalam kemaksiatan, dan bukan tugasmu untuk memberi mereka hidayah. Kemudian kamu mungkin mencukur jenggotmu karena kamu mengira ada kemaslahatannya, namun kemaslahatan itu ternyata tidak bisa terwujud. Jadi engkau telah melakukan sesuatu yang telah jelas kerusakannya demi mencapai suatu maslahat yang tidak ada nyatanya.”[40]
Oleh karena itu, barang siapa yang terus-menerus berada di dalam keadaan ini hendaklah ia mengingat perkataan Allah Ta’ala :
﴿وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآَنَ﴾
“Tidaklah taubat itu diterima oleh Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan, lalu ketika datang ajal kepada seseorang Diantara mereka (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.” [An Nisa: 18]
Al-‘Allamah As Sa’dy Rahimahulloh berkata di dalam tafsirnya: “Maknanya, bahwasanya barang siapa yang bersegera melepaskan diri (bertaubat) dari waktu terjadinya dosa, kembali kepada Allah, dan menyesali dosa tersebut maka sesungguhnya Allah memberi taubat kepadanya. Berbeda dengan orang yang terus-menerus melakukan dosanya dan berkemauan kuat untuk tetap berada di dalam aibnya, sehingga hal-hal ini menjadi sifat yang tertanam kuat pada dirinya. Maka sesungguhnya orang seperti ini sulit baginya untuk bertaubat secara sempurna. Dan pada umumnya orang seperti ini tidak diberi taufiq untuk bertaubat dan tidak dimudahkan baginya sebab-sebab untuk bertaubat. Seperti orang yang melakukan suatu kejelekan dengan pengetahuan yang sempurna dan keyakinan (bahwasanya hal ini adalah dosa) dan menganggap remeh penglihatan Allah kepadanya, maka orang ini telah menutup atas dirinya pintu rahmat. Benar, Allah terkadang memberi taufiq kepada hamba-Nya yang senantiasa melakukan dosa dengan sengaja dan memmberikan keyakinan kepada taubat yang sempurna, taubat yang akan menghapus kejelekannya yang telah lalu dan kejahatannya yang akan datang, akan tetapi rahmat dan taufiq lebih dekat kepada (orang-orang yang termasuk ke dalam ayat) yang sebelumnya (yaitu ayat 17 surat An Nisa’). Oleh sebab ini Allah menutup ayat yang sebelumnya dengan perkataanNya:
﴿وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا﴾
“Sesungguhnya Allah itu ‘Alim (Dzat YangMaha Mengetahui) lagi Hakim (Dzat Yang Maha Bijaksana).” [An-Nisa: 17]
Maka termasuk dari ilmu-Nya, bahwasanya Allah mengetahui orang yang jujur dalam taubatnya dan orang yang tidak jujur, lalu Allah membalas keduanya dengan apa yang sepatutnya dengan hikmah-Nya. Dan termasuk dari hikmahnya, bahwasanya Allah memudahkan kepada orang -yang hikmah Allah dan rahmat-Nya memutuskan untuk memberinya taufiq- untuk bertaubat, dan menerlantarkan orang yang hikmah-Nya dan keadilan-Nya memutuskan untuk tidak memberinya taufiq. Wallahu a’lam.”
Terlebih lagi jika terjatuh ke dalam kemungkaran-kemungkaran tersebut dengan atas nama dakwah. Allah Ta’ala berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ۞ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ الله أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُون﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kalian mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” [Ash Shoff: 2-3]
Al ‘Allamah As Sa’dy Rahimahulloh berkata di dalam tafsirnya:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ﴾
Maknanya: Kenapa kalian mengatakan kebaikan dan menyeru kepadanya, dan bahkan kalian berusaha agar dipuji (oleh orang lain) dengan sebab ini, sedangkan kalian tidak melakukannya? (Kenapa pula) kalian melarang dari kejelekan dan terkadang kalian membersihkan diri kalian darinya (di hadapan orang lain), sedangkan diri kalian terkotori dengannya dan tersifati dengannya? Apakah keadaan yang tercela ini pantas bagi kaum mukminin? Apakah ada yang telah dibenci Allah dari seorang hamba yang mengatakan apa yang tidak dia lakukan? Oleh sebab ini sepatutnya bagi orang yang memerintah kepada kebaikan untuk menjadi orang yang paling pertama bersegera kepada kebaikan, dan bagi orang yang melarang dari kejelekan untuk menjadi orang yang paling jauh dari kejelekan. Allah Ta’ala berfirman:
﴿أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ﴾
“Mengapa kalian perintah orang lain untuk (melakukan) kebaikan, lalu kalian melupakan (kewajiban atas) diri kalian, padahal kalian membaca Al Kitab (Taurat)? Maka apakah kalian tidak berpikir?” [Al Baqarah: 44]
Dan Syu’aib ‘Alaihis Sholatu was Salam berkata kepada kaumnya:
﴿وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ﴾
“Dan aku tidak ingin menyelisihi kalian (dengan melakukan) apa yang aku larang kalian darinya.” [Hud: 88]
KESIMPULAN
  • Seluruh jenis jam’iyyah yang tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah[41] hukumnya adalah bid’ah yang sesat, baik terdapat padanya penyelisihan syariat atau tidak, baik dia merupakan tasyabbuh (penyerupaan) terhadap orang kafir atau tidak, dan baik dia dinamakan muassasah atau jam’iyyah[42].
  • Jenis-jenis jam’iyyah yang lainnya hukumnya harom. Diharamkan baik karena ada padanya penyelisihan yang mesti selalu terdapat padanya, atau karena dalam rangka menutup jalan menuju kepada keharaman, atau karena adanya penyelisihan yang tidak mesti selalu dijumpai padanya.
PASAL
APAKAH ASALNYA MUASSASAH ?
Sebagian penentang membawakan pertanyaan ini, dan istilah ini  pada hakikatnya adalah pendukung terbesar bagi mereka (untuk membolehkah jam’iyyah). Istilah ini lebih mujmal dari pada kata jam’iyyah karena kata muassasah juga digunakan untuk perusahaan. Lalu mereka menjadikan (bolehnya mendirikan) perusahaan sebagai dalil untuk (membolehkan) jam’iyyah padahal hukum keduanya berbeda.
Syaikh kami Al-Allamah Yahya bin Ali Al-Hajury Hafizhohulloh berkata[43]: “Apabila kalian mengungkapkan, ungkapkanlah dengan kata jam’iyyah, tinggalkan kata muassasah, kata yang terbuka dan luas maknanya. Kalau itu adalah jam’iyyah maka katakanlah jam’iyyah.
Kalau perusahaan yang berkaitan dengan  jual beli mobil, toko, makanan kaleng dan semisalnya, maka tidak apa kalau dinamakan muassasah atau dinamakan dengan lainnya. Secara umum semua ini (bisa juga) dinamakan jam’iyyah. Apabila mereka ingin menyamarkannya, mereka katakan muassasah, padahal hakikatnya adalah jam’iyyah. Mereka menginginkan dengannya untuk memperindah penampilan.” Selesai penukilan.
Maka betapa jauhnya orang-orang tersebut. Mereka hendak menyamakan antara bara api (jamroh) dengan kurma (tamroh).
PENUTUP
Allah Ta’ala telah berkata:
﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَان﴾
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan.” [An Nahl: 90]
Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit pernah berselisih tentang hukum wanita yang mengalami haid dan dia telah selesai melakukan tawaf di Ka’bah pada hari Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah). Ibnu Abbas berkata: “Dia boleh meninggalkan haji.” dan Zaid berkata: “Dia tidak boleh meninggalkannya.” Lalu Zaid mendatangi Aisyah dan bertanya kepadanya. Beliau menjawab: “Dia boleh meninggalkan haji.” Lalu Zaid keluar sambil tersenyum dan berkata (kepada Ibnu Abbas): “Jawabannya adalah seperti yang kamu katakan.”[44]
Abu Umar Ibnu Abdil Barr Rahimahulloh berkata: “Inilah yang namanya berlaku adil, dan Zaid adalah gurunya Ibnu Abbas. Maka mengapakah kita tidak mencontoh mereka? Wallahul musta’an.”[45]
Bila terjadi perselisihan Diantara kita janganlah sampai permusuhan, tujuan tertentu, dan hawa nafsu menjadi sebab untuk menolak perkataan orang lain. Kitabullah dan As Sunnah (adalah penentu kebenaran) Diantara kita, dan kebenaran lebih berhak untuk diikuti.
Ibnu Hazm Rahimahulloh berkata: “Bila sampai kepadamu suatu pembicaraan lisan atau kamu ingin membantah pernyataan yang ada di sebuah buku, maka janganlah kamu menghadapinya dengan sikap emosi untuk membantahnya sebelum tampak jelas kesalahannya dengan bukti yang pasti. Begitu pula janganlah kamu membenarkannya dan menganggapnya baik sebelum kamu mengetahui kebenarannya dengan bukti yang pasti. Ini dikarenakan kamu bisa mendhzolimi dirimu sendiri pada kedua sikap tersebut, dan kamu akan kesulitan untuk mengetahui hakikat perkara yang sebenarnya. Akan tetapi hadapilah ia dengan sikap seorang yang hatinya selamat dari perselisihan dan dari keinginan untuk ikut campur dalam hal tersebut. Sikap seorang yang dirinya ingin memahami apa yang dia dengar dan lihat, menambah ilmu dengan (mempelajari) hal tersebut, dan menerimanya bila hal tersebut benar, atau menolaknya bila hal tersebut salah.”[46]
Saya memohon kepada Allah Ta’ala  dengan karunia dan kemuliaan-Nya agar membimbing saya dan seluruh kaum muslimin kepada apa yang Dia senangi dan ridhoi, menerima amalan kita, dan mewafatkan kita dalam keadaan yang baik.
سبحانك وبحمدك, لا إله إلا أنت, أستغفرك وأتوب إليك.


[1] Penulisan risalah ini dibarengi dengan penterjemahannya, yang ketika itu –sebelum ada sedikit revisi dan perubahan redaksi-, diterjemahkan oleh Al-Akh Abu Ahmad Zaki bin Adnan Al-Acehy Hafizhohulloh
[2] Memiliki dua makna atau lebih, yang bisa ditarik kesana-sini
[3] Dengan fakta ini beberapa ikhwah berdalil bahwasanya jam’iyyah adalah bentuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang kafir. Adapun risalah ini membahas pendapat kelompok yang mengatakan bahwa jam’iyyah bukan termasuk tasyabbuh dengan orang kafir.
Faidah: Tasyabbuh terjadi pada dua keadaan:
  • Pada perkara yang merupakan kekhususan mereka baik dalam peribadatan maupun adat kebiasaan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh dalam kitab Iqtidhoush Shirothil Mustaqimmuhdats (diada-adakan) pada umat ini dan merupakan bid’ah.” (1/423) mengatakan: “Perkara pokok yang lain adalah, bahwa seluruh perkara yang mereka (muslimin) tiru, baik dalam perkara ibadah, adat kebiasaan ataupun keduanya, maka hal itu termasuk perkara yang
  • Pada perkara-perkara baru (muhdats) yang mereka (kaum kafir) buat dalam agama mereka.
As Suyuthy Rahimahulloh sebagaimana dalam kitab Al-Amru bittiba’ wa An-Nahyu ‘anil Ibtida’ (1/14) mengatakan: “Menyepakati mereka pada perkara yang telah dihapus oleh syariat kita adalah perkara yang tercela. Lebih jelek daripada itu adalah menyepakati mereka pada perkara-perkara baru yang mereka buat, baik berupa ibadah ataupun kebiasaan, karena hal tersebut adalah perkara yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Seluruh perkara yang menyerupai mereka dalam ibadah dan kebiasaan adalah suatu hal muhdats dan mungkar.”
Syaikhul Islam Rahimahulloh dalam kitab Iqtidhoush Shirothil Mustaqim (1/179-180) mengatakan: “Adapun jenis yang ketiga adalah perkara-perkara baru yang mereka buat berupa ibadah, adat kebiasaan, ataupun kedua-duanya. Maka perkara ini lebih jelek dan lebih jelek lagi. Sebab seandainya perkara ini diada-adakan oleh kaum muslimin pastilah ini menjadi suatu perkara yang jelek, maka bagaimana halnya jika perkara ini tidak pernah sama sekali disyariatkan oleh satu orang nabipun bahkan diada-adakan oleh orang-orang kafir?! Oleh karena itu, menyepakati mereka dalam hal ini jelas kejelekannya. Ini adalah satu kaidah pokok.”
[4] Al-Mausu’atull Muyassarah fil Adyan wal Ahzabil Mu’ashiroh. Penerbit An-Nadwatul ‘llmiyyah lisy Syababil Islamy (2/1048).
[5] Al-Mu’jamul Wasith. Huruf (ع م ج).
[6] Maksudnya dari satu sisi perkara tersebut ada asalnya dalam syariat (ibadah), tapi diada-adakan dari sisi sifatnya. Hal ini dinamakan oleh Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh sebagai Al-Bid’atul ‘Idhofiyyah (Bid’ah yang disandarkan ke perkara ibadah). Beliau berkata dalam kitabnya Al-I’tishom (1/266): “Adapun Al-Bid’atul ‘Idhofiyyah merupakan perkara yang memiliki dua sisi. Salah satu sisinya berkaitan dengan dalil, maka dari sisi ini dia tidak dinamakan bid’ah. Adapun sisi yang lainnya yang tidak berkaitan dengan dalil maka dia tidak berbeda dengan bid’ah yang hakiki. Maka ketika amalan tersebut memiliki dua sisi yang tidak bisa saling terlepas satu sama lainnya, maka kami menamakannya sebagai Al-Bid’atul ‘Idhofiyyah. Maknanya, jika ditinjau dari salah satu sisi maka dia adalah sunnah karena bersandar kepada dalil, namun bila ditinjau dari sisi yang lain maka dia adalah bid’ah karena bersandar kepada syubhat bukan kepada dalil, atau tidak bersandar kepada apapun.
Perbedaan antara kedua sisi tersebut secara makna: Dari sisi asal perkara, terdapat dalil yang mendukungnya, akan tetapi dari sisi pelaksanaan, kondisi, atau perinciannya tidak ada dalilnya. Padahal hal-hal seperti ini membutuhkan dalil karena kebanyakan hal ini terjadi di dalam masalah ibadah, bukan di dalam masalah adat kebiasaan murni.” Selesai penukilan.
Adapun bila bid’ah tersebut tidak memiliki asal sama sekali dalam ibadah maka dia dinamakan sebagai Al-Bid’atul Haqiqiyyah. Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya Al-Bid’atul Haqiqiyyah adalah perkara yang tidak ada dalil syar’inya, baik dari kitab, sunnah, ijma’, atau sisi pendalilan yang diakui oleh para ulama, baik secara umum maupun secara terperinci. Oleh karena itu dia dinamakan bid’ah -sebagaimana telah lewat penyebutannya- karena dia adalah suatu perkara yang diada-adakan tanpa adanya contoh yang terdahulu. Meskipun seorang mubtadi’ tidak mau dikatakan bahwa amalan tersebut telah keluar dari syari’at, karena dia menganggap bahwa perbuatannya tersebut masuk ke dalam konsekwensi yang terkandung di dalam dalil. Tapi pengakuan tersebut tidaklah benar, baik dilihat dari rincian perbuatan itu sendiri maupun dari yang tampak secara zhohir. Adapun dari sisi rincian perbuatan tersebut, maka dinilai dari tujuan perbuatan tersebut. Adapun secara zhohir, sebenarnya dalil-dalil yang digunakan hanyalah sekedar syubhat, bukan dalil. Itu kalau memang benar si mubtadi’ menggunakan dalil, kalau tidak maka perkara ini jelaslah sudah.” Selesai penukilan.
Sementara jam’iyyah bisa jadi asalnya adalah adat kebiasaan, dan bisa jadi pula hukumnya haram. Maka dia bisa masuk ke dalam kategori bid’ah (yaitu Al-Bid’atul Haqiqiyyah) apabila disertai dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Jika tidak maka ia tetap di dalam hukum asalnya. Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh dalam kitab Al I’tishom (1/400) mengatakan: “Tidaklah bid’ah itu memiliki makna melainkan jika pelaku bid’ah tersebut meyakini bahwa perbuatannya itu disyari’atkan, padahal kenyataannya ia tidak disyari’atkan.”
Adapun jika (dikatakan) asalnya jam’iyyah adalah ibadah maka tidak butuh untuk melihat kepada tujuannya karena ibadah itu mestilah diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Seandainya penyokong jam’iyyah tersebut memalingkan niatnya kepada selain Allah maka tentulah hal tersebut menjadi kesyirikan.
[7] Sekedar perkumpulan manusia mungkin bagi kita untuk mengatakannya sebagai adat kebiasaan. Akan tetapi siapa yang bisa mengatakan bahwa semua perkumpulan manusia itu dinamakan jam’iyyah? Perhatikanlah!
[8] Dar’u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql (1/120).
[9] Minhajus Sunnah (2/217).
[10] Naqdhut Ta’sis (2/14).
[11] Dar’u Ta’arudhil ‘Aql wa An Naql (1/145).
[12] Al-Intishor li Ahlis Sunnah wal Hadits fi Raddi Abathili Hasan Al Maliky (1/104).
[13] At-Ta’liqul Mukhtashor ‘Ala Al-Qoshidah An-Nuniyyah.
[14] Maksudnya, apabila seseorang membaca Al-Qur’an: Apakah lantunan Al-Qur’an tersebut adalah makhluk ?. Keyakinan Ahlussunnah bahwasanya suara yang didengar adalah suara makhluk sementara yang dibaca adalah perkataan Alloh. Jahmiyyah mengatakan seluruhnya adalah makhluk. Adapun orang yang bingung atau sengaja menutupi kesesatannya, sengaja memakai ungkapan mujmal yang dikira bisa selamat dari kesalahan. Sebagaimana akan disebutkan Syaikhul Islam setelah ini.
[15] Keluar dari makna ini adalah keterpaksaan. Dan keterpaksaan adanya jam’iyyah untuk berdakwah adalah sesuatu alasan yang dipaksa-paksakan, walaupun –anggaplah- pemerintah mengatakan yang ma’hadnya tidak ada jam’iyyah dipenjara seumur hidup. Ketahuilah ikhwati fillah yang namanya dakwah tidak mesti di ma’had, bisa di bus, ketemu orang di jalan atau yang lain, Dakwah juga tidak besti dengan lisan, bisa dengan tulisan atau tindak tanduk dan perilaku. Sesuatu yang luas jangan dipersempit.
[16] Sebagiannya dengan ungkapan kalau tidak ada jam’iyyah tidak bisa dakwah atau tidak berkembang
[17] Syaikhul Islam berkata di dalam kitab Iqtidho’ (2/375) pada ayat:
﴿إنا أرسلناك شاهدا ومبشرا ونذيرا وداعيا إلى الله بإذنه وسراجا منيرا﴾
“Allah mengabarkan kepadanya (Muhammad) bahwasanya Dia mengutusnya sebagai penyeru kepada-Nya dengan izin dari-Nya. Barangsiapa yang menyeru kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik, dan barangsiapa yang menyeru kepada Allah dengan tanpa izin dari-Nya maka dia telah berbuat bid’ah.” Selesai penukilan.
Syaikh kami Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh sebagaimana dalam kitab Al-Ifta’ hal. 47 berkata: “Perkara dakwah terbatas pada dalil. Allah Ta’ala berfirman:
﴿ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾
“Apapun yang dibawa Rasul padamu maka ambillah, dan apa yang dilarang maka tinggalkanlah.” [Al- Hasyr: 7]
Dan Allah Ta’ala berfirman:
﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلاَمَ دِينًا﴾
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan agama kalian dan Aku sempurnakan pula nikmat-Ku atas kalian dan Aku telah meridhai untuk kalian Islam sebagai agama kalian.” [Al-Maidah: 3]
Rasulullah Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«تركتكم على البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها إلا هالك»
“Aku telah tinggalkan kalian di atas cahaya yang mana malamnya seperti siangnya, dan tidaklah ada yang berpaling padanya kecuali binasa.”
Allah Ta’ala berfirman:
﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾
“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Allah waspada terhadap fitnah yang akan menimpa mereka atau siksaan yang pedih yang akan menimpa mereka.” [An-Nur: 63]
Dakwah ke jalan Allah adalah ibadah, dan ibadah itu caranya terbatas pada dalil. Hendaknya dakwah itu berada di atas tata cara Rasulullah Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam dan dalam perilaku beliau, baik yang berhubungan dengan orang dekat atau jauh, dengan musuh ataupun kawan dekat.” Selesai penukilan.
[18] Peringatan penting: Tiga kemungkinan ini adalah kondisi yang paling minimal berdasarkan atas pendapat yang mengatakan bahwa jam’iyyah bukanlah bentuk tasyabbuh (penyerupaan) terhadap orang kafir. Adapun berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa jam’iyyah adalah bentuk tasyabbuh dengan orang kafir maka hukumnya adalah haram. Syaikhul Islam berkata di dalam kitab Iqtidhoush Shirothil Mustaqim (1/82) setelah menyebutkan hadits ((من تشبه بقوم فهو منهم)) :
“Hadits ini minimal menunjukkan akan haramnya tasyabbuh dengan mereka, meskipun pada zhohirnya ia menunjukkan kekufuran orang yang bertasyabbuh dengan mereka.” Selesai penukilan.
Adapun perincian masalah ini (yakni apabila jam’iyyah dihukumi sebagai bentuk tasyabbuh) adalah sebagaimana yang akan kami sebutkan pada kemungkinan yang pertama.
[19] Imam Ibnul Qoyyim Rohimahulloh berkata sebagaimana terdapat di dalam kitab At-Tafsirul Qoyyim pada tafsir
﴿قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ﴾
“Katakanlah (wahai Muhammad): Apabila kalian (memang benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, maka Allah akan mencintai kalian”:
“Apabila cinta kepada Allah merupakan hakikat dan rahasia peribadatan kepada-Nya, maka cinta ini hanya bisa terwujud dengan mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka ketika (seseorang) mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya terlihatlah dengan jelas hakikat peribadatan dan kecintaannya kepada (Allah). Oleh karena ini Allah Ta’ala menjadikan ketaatan kepada Rasul-Nya sebagai tanda kecintaannya dan sebagai saksi bagi orang yang mengakuinya.
Allah Ta’ala berfirman:
﴿قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ﴾
(Dalam ayat ini) Allah menjadikan ketaatan kepada Rasul-Nya sebagai syarat kecintaan mereka kepada Allah, dan menjadikan ketaatan kepada Rasul-Nya sebagai syarat kecintaan Allah kepada mereka. Keberadaan sesuatu yang dipersyaratkan (kecintaan) tidak akan terjadi tanpa adanya syarat (ketaatan), dan apabila syarat itu ada maka yang dipersyaratkan pun akan ada. Jadi bisa dipahami bahwa tidak adanya kecintaan tersebut diketahui dengan tidak adanya ketaatan kepada Allah, dan tidak adanya kecintaan mereka kepada Allah mengakibatkan tidak adanya ketaatan kepada Rasul-Nya. Tidak adanya ketaatan ini merupakan konsekuensi dari tidak adanya kecintaan Allah kepada mereka. Oleh karena itu mustahil mereka mencintai Allah dan Allah mencintai mereka dengan tanpa adanya ketaatan kepada Rasul-Nya.”
[20] Mudzakkiroh Ushulil Fiqh (hal.40).
[21] Majmu’ul Fatawa (26/181)
[22] Syarhu Mandhzumati Ushulil Fiqh wa Qowa’idih (hal. 134).
[23] Al Ifta’ (hal. 65-66).
[24] Al-Hafidh Ibnu Rajab Rahimahulloh berkata di dalam kitab Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/60): “Barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang mana Allah dan Rasul-Nya tidak menjadikan amalan tersebut sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya maka amalannya tersebut batil dan tidak diterima. Keadaannya sama seperti keadaan orang-orang yang sholat di Masjidil Haram dengan cara bersiul dan bertepuk tangan. Keadaannya juga sama seperti orang yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan cara mendengarkan lagu atau dengan tarian, atau dengan menyingkapkan kepala pada selain ihram, dan yang sejenisnya dari perkara-perkara ibadah yang diada-adakan (muhdats) yang tidak disyariatkan oleh Allah.”
Ibnu Abi Syamah Rahimahulloh berkata di dalam kitab Al-Ba’its ‘ala Inkarill Bida’ (1/39): “Semua ini adalah kerusakan yang timbul dari ahli ibadah yang menyesatkan. Jika demikian halnya, lalu bagaimanakah dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh orang-orang fasiq yang membangkang dan menghidupkan malam tersebut dengan berbagai jenis kemaksiatan baik yang jelas maupun yang tersembunyi?! Ini semuanya disebabkan oleh penyalaan api yang di luar kebiasaan yang disangka sebagai pendekatan kepada Allah, padahal perbuatan itu pada hakikatnya hanyalah sebagai penolong untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala, menampakkan kemungkaran, dan memperkuat syiar ahli bid’ah. Pada asalnya tidak ada datang di dalam syariat sunnah (mustahab) menyalakan api melebihi batas kebutuhan di tempat manapun. Demikian pula yang dilakukan oleh para jama’ah haji dari kalangan orang-orang awam pada hari Arafah di gunung-gunung Arafah dan pada malam Idul Adha di Masy’aril Haram adalah termasuk dalam jenis ini yang wajib (bagi kita) untuk mengingkarinya, dan mensifatinya sebagai bid’ah dan kemungkaran, dan menghukuminya sebagai perkara yang menyelisihi syariat yang suci.”
[25] Ahkamul Janaiz (hal. 305)
[26] Syaikhul Islam Rahimahulloh berkata di kitab Al-Qowa’idun Nuroniyyah (1/112): “Adapun adat kebiasaan adalah suatu perkara yang biasa dilakukan oleh manusia di dalam perkara dunia yang mereka butuhkan. Hukum asalnya adalah tidak haram. Sebab, tidaklah sesuatu itu haram melainkan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan. Hal ini dikarenakan perintah dan larangan adalah syariat Allah. Perkara ibadah haruslah ada perintahnya, dan perkara yang tidak ada perintahnya bagaimana mungkin bisa langsung dihukumi bahwa itu haram. Oleh karena itu Imam Ahmad dan yang lainnya dari kalangan ulama ahli hadits mengatakan bahwa asal ibadah itu adalah tauqifiyah (terbatas kepada dalil). Tidak suatu ibadah disyariatkan melainkan apa yang disyariatkan oleh Allah. Bila tidak demikian maka termasuklah kita ke dalam makna perkataan Allah Ta’ala:
﴿أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله﴾
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah“.
Adapun adat kebiasaan hukum asalnya adalah boleh, dan tidak diharamkan darinya melainkan apa yang diharamkan-Nya. Bila tidak demikian maka termasuklah kita ke dalam makna perkataan Allah:
﴿أرأيتم ما أنزل الله لكم من رزق فجعلتم منه حراما وحلالا﴾
“Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepada kalian, lalu kalian jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.”
[27] Asy Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Wadi’y Rahimahulloh berkata: “Jam’iyyah tidak ada pada masa Rasulullah Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam, akan tetapi dia datang dari pihak musuh-musuh Islam lalu kaum muslimin meniru-niru mereka. Dan banyak dari jam’iyyah yang terdapat padanya penyelisihan syariat … (sampai pada perkataan beliau) … Ya, kami tidak mengharamkan atas manusia sesuatu yang Allah halalkan bagi mereka akan tetapi kami khawatir terjadi penipuan di dalamnya … (sampai pada perkataan beliau) … Jam’iyyah ini, wahai saudara-saudaraku, dia adalah perantara -begitu pula kotak sumbangan- jalan menuju hizbiyyah dan perantara menuju hizbiyyah.” Selesai penukilan dari pertanyaan dari Bani Bakr di Yafi’ pada tahun 1421 H.
[28] I’lamul Muwaqqi’in (3/137).
[29] I’lamul Muwaqqi’in (3/141).
[30] I’lamul Muwaqqi’in (3/142).
[31] I’lamul Muwaqqi’in (3/149)
[32] Majmu’ul Fatawa (23/186-187).
[33] Al-Ifta, hal 46-47.
[34] Al-‘Allamah Al-Albany Rahimahulloh berbicara tentang hukum mencukur rambut kepala di majalah Al-Isholah 55, edisi kedua tanggal 15 Shofar 1415 sebagaimana dinukil di dalam kitab Qomusul Bida’ hal. 349-350. Beliau berkata: “Mencukurnya dalam rangka peribadatan, keagamaan, dan kezuhudan selain dari haji atau umroh, seperti menjadikan mencukur rambut sebagai syiar (tanda khusus) ahli ibadah dan agama, atau sebagai bentuk kesempurnaan zuhud dan ibadah, atau menganggap orang yang mencukur rambutnya lebih utama, lebih beragama, atau lebih zuhud daripada orang yang tidak mencukur, maka Syaikhul Islam Rahimahulloh telah berkata: “Ini adalah bid’ah yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula merupakan suatu kewajiban dan mustahab di kalangan seorangpun dari para ulama agama, dan tidak pula dilakukan oleh satu orang sahabatpun dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan …” Selesai penukilan.
[35] Hal ini disebabkan karena dalil tidak terlepas dari tiga jenis. Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh berkata di dalam kitab Al-Muwafaqot (3/252-280): “Semua dalil syar’i tidak terlepas dari salah satu kemungkinan berikut ini: dalil yang selalu atau sering diamalkan oleh para salaf yang terdahulu, atau dalil yang tidak diamalkan kecuali jarang atau pada waktu tertentu saja, atau dalil yang tidak diamalkan sama sekali. Jadi, dalil itu ada tiga jenis:
Pertama: Dalil yang selalu diamalkan atau sering. Tidaklah ada permasalahan untuk berdalil dengannya atau beramal dengan kandungannya, dan ini adalah sunnah yang diikuti dan jalan yang lurus. Dalil jenis ini ada yang mengandung hukum wajib, sunnah, atau hukum-hukum yang lainnya.
Kedua: Dalil yang tidak diamalkan kecuali jarang atau pada kondisi tertentu saja, bersamaan dengan adanya dalil lain yang lebih diutamakan dan selalu atau lebih sering diamalkan. Dalil yang lain inilah yang merupakan sunnah yang diikuti dan jalan yang ditempuh. Adapun dalil yang tidak diamalkan kecuali sedikit, maka wajib untuk melakukan pemastian (tatsabbut) dalam dalil tersebut dan dalam beramal dengan kandungannya. Adapun amalan, maka kita mengamalkan dalil yang lebih umum dan banyak digunakan. Karena kesinambungan para ulama terdahulu dalam menyelisihi dalil yang jarang diamalkan ini bisa jadi karena sebab yang syar’i atau bukan karena sebab yang syar’i. Adapun kalau bukan karena sebab yang syar’i maka hal ini tidaklah mungkin. Maka mestilah karena suatu sebab yang syar’i yang mereka berusaha untuk mendahulukannya. Apabila halnya seperti ini, maka beramal dengan kandungan dalil yang jarang diamalkan menjadi seperti bentuk penolakan terhadap makna dalil yang mereka berusaha untuk mengamalkannya, meskipun hal tersebut bukanlah penolakan dalil secara hakiki. Maka haruslah kita berusaha untuk mengamalkan apa yang mereka berusaha untuk mengamalkannya, dan mencocoki apa yang senantiasa mereka amalkan.
Ketiga: Dalil yang tidak didapatkan di kalangan para ulama terdahulu yang mengamalkan dalil tersebut sama sekali. Maka jenis ini lebih tegas (untuk ditolak) daripada jenis yang sebelumnya, dan dalil-dalil yang terdahulu lebih utama untuk diterapkan pada kondisi ini. Pada hakikatnya apa yang diperkirakan oleh orang-orang generasi akhir bahwasanya ia adalah dalil -menurut persangkaan mereka- bukanlah merupakan dalil sama sekali. Sebab, jika seandainya perkara itu adalah dalil atas suatu masalah, kenapa para sahabat dan tabi’in tidak bisa memahaminya lalu generasi akhir ini bisa memahaminya? Bagaimana mungkin amalnya generasi terdahulu bisa berbenturan dengan pemahaman konsekuensi dalil tersebut dan bertentangan dengannya? Apabila generasi terdahulu meninggalkan suatu amalan, maka apa yang dilakukan oleh generasi akhir dari jenis yang ketiga ini adalah merupakan penyelisihan terhadap ijma’ generasi yang terdahulu, dan siapa saja yang menyelisihi ijma’ maka dia bersalah. Sebab umat Muhammad sholallohu ‘Alaihi wa sallam tidak akan pernah bersatu di atas kesesatan. Maka apa saja yang mereka berada di atasnya baik berupa melakukan amalan atau meninggalkan amalan, maka ia adalah sunnah dan perkara yang dianggap, dan itulah petunjuk. Jadi, tidaklah ada kemungkinan kecuali benar atau salah. Siapa saja yang menyelisihi para salaf yang terdahulu berarti dia berada di atas kesalahan, dan ini cukup. Demikian pula hadits dho’if (lemah) yang tidak diamalkan oleh para ulama, pembahasannya seperti pembahasan permasalahan ini.”
Syaikhul Islam Rahimahulloh telah menganggap penyelisihan ijma’ salaf merupakan bagian dari bid’ah, sebagaimana yang beliau katakan ketika menjelaskan definisi mubtadi’ di dalam Majmu’ul Fatawa (8/420): “Barangsiapa yang mengatakan bahwa perkataan manusia atau perbuatan mereka lebih didahulukan, maka ia adalah mubtadi’ yang menyelisihi kitab, sunnah, dan ijma’ umat dan para imam yang terdahulu.”
Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh berkata di dalam fatwa beliau (hal. 250): “Perkara apa saja yang para salafush sholih tidak berada di atasnya maka ia bukanlah bagian dari agama. Mereka itu (salaf) lebih bersemangat terhadap kebaikan daripada mereka (generasi akhir). Jika seandainya pada suatu amal terdapat kebaikan pasti mereka telah melakukannya. Allah Ta’ala berfirman:
﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ﴾
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian.” [Al Maidah: 3]
Malik bin Anas berkata Rahimahulloh: “Perkara apa saja yang pada masa itu (masa salaf) bukan merupakan agama, maka pada masa ini bukanlah merupakan agama.”
Syaikh Al-Albany Rahimahulloh berkata di dalam kitab Ahkamul Janaiz (1/232): “Orang-orang yang menyalakan lampu di kubur memaksudkan dengan perbuatan tersebut hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala -menurut persangkaan mereka-, dan bukan tujuannya untuk menerangi orang menetap di sana atau para peziarah, dengan bukti bahwa mereka tetap menyalakannya meskipun matahari telah terbit di siang hari! Dengan sebab inilah dia menjadi bid’ah yang sesat.”
[36] Majmu’ul Fatawa (11/450).
[37] Dikeluarkan oleh Muslim di kitab Nikah, bab: Mustahab menikah bagi orang yang jiwanya telah menginginkannya, nomor (1401).
[38] Oleh karena itu, Al ‘Allamah Muqbil bin Hadi Al Wadi’iy Rahimahulloh di dalam kaset Al-Ghorotusy Syadidah ‘alal Jam’iyyatil Jadidah bagian A direkam pada malam tanggal 10 Shofar 1420 H berkata:
Pertanyaan: “Bila ada yang berkata: Sesungguhnya jam’iyyah untuk kepentingan dakwah telah ada tuntutan untuk mendirikannya di zaman Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak ada penghalang yang menghalanginya (tetapi beliau ‘Alaihi wa Sallam tidak melakukannya). Maka jika dilakukan setelah masa Nabi maka ia merupakan perkara yang muhdats. Apakah perkataan ini benar?”
Jawaban:
”الحمد لله وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه ومن والاه ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله أما بعد،
Pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan yang penting, dan karena sebab inilah kami sejak dari masa yang lama mengatakan bahwa meninggalkan (mendirikan) jam’iyyah lebih baik daripada keberadaannya karena Nabi dan para sahabatnya dahulu lebih butuh kepada harta daripada kita, bahkan mereka jauh lebih butuh daripada kita, namun dengan ini mereka tidak mendirikan jam’iyyah.”
Fadhilatusy Syaikh Rabi’ bin Hadi Hafizhohulloh berkata (sebagaimana dinukil oleh Syaikh Hasan bin Qosim Hafizhohulloh dalam kitab As Sihamul Wadi’iyyah hal. 55, ketika menjawab pernyataan orang yang menetapkan kemaslahatan dalam penyebaran dakwah dan menafikan adanya perpecahan yang disebabkan olehnya: “Sesungguhnya para salaf menyebarkan agama ini dan membuka dunia dengan cara saling tolong-menolong di atas kebaikan dan ketakwaan. Mereka dahulu saling tolong-menolong di dalam jihad dengan harta dan jiwa mereka, bukan dengan metode yang diatur yang diambil dari Barat.”
Syaikhul Islam Rahimahulloh berkata di dalam kitab Al Iqtidho’ (1/295): “Sesungguhnya hal ini tidak dilakukan oleh para salaf, padahal telah ada tuntutan untuk melakukannya dan tidak adanya penghalang darinya. Jika seandainya hal ini murni kebaikan atau lebih besar kebaikannya mestilah para salaf Rodhiyallohu ‘Anhum lebih berhak untuk melakukannya daripada kita karena sesungguhnya kecintaan dan pengagungan mereka terhadap Rasulullah Hafizhohulloh lebih besar daripada kita. Mereka itu lebih bersemangat terhadap kebaikan. Kesempurnaan kecintaan dan pengagungan terhadap beliau hanyalah tercapai dengan mengikuti beliau, mentaatinya, mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara batin dan zhohir, menyebarkan apa yang dibawa, dan bersungguh-sungguh di atasnya dengan hati, tangan, dan lisan. Maka inilah jalannya orang-orang awal yang terdahulu dari kalangan Muhajirin, Anshor, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.”
Orang tua dan syaikh kami Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh berkata: “Wahai saudaraku, pada masa dahulu mana jam’iyyah mereka pada masa Rasul Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam? Bukankah hak (orang-orang yang membutuhkan bantuan) sampai kepada orang-orang yang berhak untuk menerimanya? Adapun sekarang, jam’iyyah muhdats. Hendaklah orang yang menghadiri (majlis ini) menyampaikan kepada orang yang tidak hadir. Orang yang marah dengan ucapan ini, (hakim) antara kami dan dia adalah kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Sholallohu ‘Alai wa Sallam:
«من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد»
“Barangsiapa yang membuat-buat perkara baru (muhdats) di dalam urusan kami ini (agama) yang tidak ada di dalamnya, maka amalannya tertolak.” [HR. Bukhory dan Muslim]
Tuntutan untuk mendirikan jam’iyyah sungguh telah ada pada masa Rasul Sholallohu ‘Alai wa Sallam, tetapi Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf tidak mendirikannya. Sekelompok sahabat ada yang kaya dan yang lainnya fakir seperti ashab shuffah. Tetapi beliau Sholallohu ‘Alai wa Sallam tidak mengatakan: “Buatlah untuk mereka jam’iyyah dan kotak sumbangan.” Tidaklah umat ini menjadi bagus melainkan dengan apa yang membuat para pendahulu umat ini menjadi bagus. Orang-orang tidak bisa membuat kami menjadi segan (untuk mengingkari jam’iyyah) dengan banyaknya jam’iyyah. Kebatilan meskipun banyak tetaplah batil. Tidak boleh membiarkan kebatilan untuk bertambah atau menyebar. Bahkan jika kebatilan tersebar tidaklah menambah untuknya melainkan kejelekan dan bahaya.” Selesai penukilan
Jika ada yang mengatakan: “Bahkan ada penghalangnya, yaitu mereka (para salaf) dari asalnya memang tidak mengenal jam’iyyah karena ia adalah kebiasaan yang baru.”
Jawabannya: Dari sisi ini adalah perkara resmi dan pendaftaran kepada pemerintah mungkin benar. Adapun dari sisi pembentukan suatu kelompok yang terdiri dari beberapa anggota untuk tujuan dakwah maka tidak ada penghalang dari keberadaannya pada masa mereka. Apakah kalian memiliki bukti bahwasanya mereka melakukan hal tersebut? Apakah kalian mengira bahwasanya mereka akan melakukannya bila mereka mengenal hal-hal yang resmi dan pendaftaran kepada pemerintah dan hal-hal yang sulit lainnya?
Syaikh kami Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh berkata -sebagaimana dalam kitab Al-Ifta hal. 66:
Pertanyaan: “Apa hukumnya mendirikan ikatan para da’i salafiyah untuk melindungi dakwah dan menggabungkan dakwah di atas kalimat yang satu? Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.”
Jawaban: Perkara ini tidak diperlukan. Ikatan kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Nabi Sholallohu ‘Alai wa Sallam berkata:
« الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا »
“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seperti bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya.” [HR. Bukhory dan Muslim]
Allah Ta’ala berfirman:
﴿ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَة ٌ ﴾
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” [Al Hujurat: 10]
Nabi berkata:
« قضاء الله أحق وشرط الله أوثق »
“Keputusan Allah lebih berhak (untuk ditunaikan) dan syarat Allah lebih kokoh.” [HR. Bukhory dan Muslim]
Beliau berkata:
« لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ »
“Tidaklah sempurna keimanan salah seorang kalian sampai dia menyenangi untuk saudaranya apa yang dia senangi untuk dirinya.” [HR. Bukhory dan Muslim]
Maka ikatannya adalah Islam. Dan kita tidak membutuhkan ikatan-ikatan yang dibuat-buat ini yang tidak ada pada generasi salaf kita yang terdahulu.” Selesai penukilan.
[39] Hal ini disebutkan oleh Masyhur Hasan Salman pada catatan kaki risalah As Salafiyun wa Qodhiyah Al Filisthin, hal. 163.
[40] Syarh Mandzhumah Ushul Al Fiqh wa Qowa’iduh, hal. 137.
[41] Tentunya dengan ini jelaslah hukum bagi yayasan-yayasan dakwah, karena dakwah ilallohqurbah yang paling utama. Alloh Ta’ala berfirman: termasuk bentuk
﴿وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِين﴾
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah ilalloh serta beramal sholih dan mengatakan sesungguhnya aku termasuk orang-orang Islam” (Fushshilat ayat 33)
Baik dengan istilah-istilah payung dakwah, pemulus dakwah, tameng dakwah, barokah dakwah …
Atau nama-nama yang lebih wah … seperti (bahasa Indonesianya) “Pengagungan Sunnah”, “Cahaya Sunnah”, “Penghidupan Sunnah” …
﴿إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى﴾
“Tidaklah itu melainkan nama-nama yang kalian namakan, kalian dan bapak-bakak kalian sama sekali Alloh tidak menurunkan suatu keteranganpun tentangnya. Mereka hanyalah mengikuti persangkaan mereka dan keinginan jiwa mereka, padahal sungguh telah datang petunjuk dari Robb mereka” (An-Najm ayat 23)
[42] Orang tua dan syaikh kami Yahya Al Hajury حفظه الله تعالى berkata: “Penggunaan nama muassasah atas dakwah secara mutlak merupakan perkara yang muhdats. Tidak ada pada zaman dahulu yang namanya muassasah Sufyan Ats Tsaury, muassasah Ibnul Mubarak, muassasah fulan dan fulan. Mereka dahulu menamakannya dakwah, perkataan, pendapat, madrasah raiyyin (orang-orang yang menggunakan akal dan pendapat dalam menghukumi masalah agama), daar, dan lain sebagainya.” [Perkataan ini direkam pada malam Senin tangal 19 Ramadhan 1428 H].
[43] Al Jam’iyyah Harokah bi la Barokah, hal. 13-14.
[44] Diriwayatkan oleh Al Bukhory, nomor 1437.
[45] At Tamhid li ma fi Al Muwattho’ min Al Ma’any wa Al Asanid.
[46] Mudawah An Nufus, hal. 63.

Sumber : Disini