ditulis oleh:
Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy Waffaqohulloh
Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy Waffaqohulloh
21 Rajab 1434
Darul Hadits – Dammaj – Yaman
Darul Hadits – Dammaj – Yaman
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه
ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده
ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد
Syaikh Muqbil Rahimahulloh mengatakan:
“Engkau, jika mampu menikahkan dirimu dengan lelaki yang sholih maka
lakukanlah. Bukan maksudku engkau menikahkan dirimu sendiri langsung,
karena Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan
wali” (HR Abu Daud dan selainnya dari Abu Musa Al-Asy’ary, dishohihkan
Syaikh Muqbil dan Al-Albany)
Akan tetapi pilihlah lelaki yang sholih
dan mukmin, terus katakan kepada ibumu: “Aku mau menikah dengan fulan”.
Karena seorang lelaki yang sholih akan bertakwa kepada Alloh dalam
mengurusmu dan dia akan mengajarimu”. [Muhadhoroh Nashihaty lin Nisa’ 2]
Mencari pasangan yang sholih adalah
perkara yang disyari’atkan dalam agama ini, karena kadar keagamaan teman
yang senantiasa menyertai memiliki pengaruh besar terhadap keagamaan
seseorang.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِل
“Seseorang berada pada agama orang yang
dicintainya maka lihat oleh salah seorang diantara kalian siapa yang mau
dicintainya”. (HR Ahmad dan selainnya dengan sanad yang hasan dari Abu
Hurairoh Rodhiayallohu ‘Anhu)
Dari hadits ini dipahami bahwa
pensyari’atan perkara tersebut (memilih pasangan yang sholih) tidak
hanya diperintahkan pada lelaki saja yang memang biasanya berperan
sebagai “pembuka jalan”, akan tetapi juga berlaku bagi pihak perempuan
karena hal tersebut akan kembali kepada maslahatnya. Tidaklah rasa malu
-bisa menjadi alasan yang tepat- menghalangi seorang dari kebaikan. Malu
yang terpuji adalah malu untuk terjatuh kepada maksiat dan keharaman
sementara untuk mendapatkan kebaikan justru yang mengalahkan rasa malu
layak mendapat pujian.
Bahkan Imam Al-Qurthuby Rahimahulloh mengatakan:
“Diantara perkara yang terpuji adalah seorang lelaki menawarkan wanita
di bawah kewaliannya -dan seorang wanita menawarkan dirinya- kepada
lelaki yang sholih dalam rangka meneladani para salafus sholih”. [Tafsir Al-Qurthuby 13/271]
MENAWARKAN KERABAT WANITA KEPADA LELAKI SHOLIH UNTUK DINIKAHI
Alloh Ta’ala menyebutkan kisah orang tua yang sholih dari Madyan yang dijumpai Nabi Musa ‘Alaihis Salaam di perjalanannya:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْن
“Dia berkata: “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku”. (QS Al-Qoshosh 27)
Pada kisah ini terdapat hukum: disyari’atkannya bagi wali perempuan untuk menawarkannya kepada lelaki sholih untuk dinikahi. [Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 13/271, Fathul Qodir - Asy-Syaukany 4/195]
Imam Al-Bukhory Rahimahulloh
dalam “Shohih”nya, menulis: “Bab Seseorang Menawarkan Anak Perempuannya
atau Saudara Perempuannya Kepada Lelaki Yang Baik”. Kemudian beliau
menyebutkan hadits dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu:
“Sesungguhnya ‘Umar Bin Al-Khoththob,
ketika Hafshof bintu ‘Umar ditinggal mati suaminya Khunais bin Hudzafah
As-Sahmy yang merupakan salah seorang shohabat Rosululloh yang meninggal
di Madinah, ‘Umar Bin Al-Khoththob berkata: “Aku mendatangi ‘Utsman bin
‘Affan lalu menawarkan Hafshoh kepadanya, maka dia berkata: “Aku
pikirkan dulu”. Aku menunggu beberapa malam samapi kemudian dia
menemuiku dan mengatakan: “Telah nampak bagiku (keputusannya) bahwa aku
tidak akan menikah di hari-hariku ini”.
‘Umar berkata; “Maka aku menemui Abu
Bakr Ash-Siddiq dan aku katakan: “Kalau engkau mau, aku nikahkan engkau
dengan Hafshoh bintu ‘Umar”. Maka Abu Bakr diam dan tidak menimpaliku
sedikitpun. Ketika itu aku merasa marah kepadanya daripada ‘Ustman. Lalu
aku melalui beberapa malamku, kemudian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melamar Hafshoh maka aku menikahkannya dengan beliau.
Setelah itu Abu Bakr menemuiku dan
mengatakan: “Sepertinya engkau merasa marah kepadaku ketika engkau
menawarkan Hafshoh kepadaku dan aku tidak menjawabmu sedikitpun”. ‘Umar
berkata: “Ya”. Abu Bakr berkata: “Sesungguhnya tidak ada yang
menghalangiku untuk menjawabmu tentang penawaranmu kepadaku, melainkan
karena aku mengetahui bahwa sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan Hafshoh (ingin menikahinya), dan aku bukanlah orang yang menyebarkan rahasia Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Seandainya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menginggalkannya, maka aku akan menerimanya”. (HR Bukhory)
Ibnu Hajar Rahimahulloh mengatakan:
“Pada hadits ini terdapat hukum bolehnya bagi seseorang menawarkan
anak perempuannya atau selainnya yang berada di bawah perwaliannya,
kepada orang yang dia yakini kebaikan dan kesholihannya. Karena pada hal
tersebut terdapat manfaat yang kembalinya kepada wanita yang
ditawarkan, dan tidak perlu malu untuk itu. “Pada hadits ini juga
terdapat hukum bolehnya menawarkannya kepada lelaki walaupun sudah
beristri, karena Abu Bakr ketika itu sudah beristri. [Fathul Bari 9/178]
Adapun ‘Utsman, sebagian ulama mengatakan bahwa ketika itu beliau masih sendiri setelah kematian istrinya Ruqoyyah binti Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, dan sebelum Nabi menikahkannya dengan Ummu Kultsum binti Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, wallohu a’lam.
Ummu Habibah binti Abi Sufyan Rodhiyallohu ‘Anhuma berkata kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rosululloh nikahilah saudariku binti Abi Sufyan”, Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
“Apakah engkau menginginkan hal tersebut?”. Ummu Habibah berkata: “Ya,
aku bukanlah istri tunggal bagimu. Orang yang paling aku inginkan untuk
bergabung bersamaku dalam kebaikan adalah saudariku”. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Hal tersebut tidak halal bagiku”. (HR Bukhory Muslim)
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
tidak mengingkari Ummu Habibah dalam menawarkan saudarinya untuk
sama-sama mendapatkan kebaikan sepertinya, akan tetapi yang beliau
ingkari aadalah dugaan Ummu Habibah bahwa beliau memiliki kekhususan
dengan pengecualian dalam masalah ini. Karena itu beliau menyatakan
bahwa menikahi dua orang bersaudara sekaligus juga terlarang baginya. [Lihat: Ihkamul Ahkam - Ibnu Daqieqil ‘Ied 2/172]
Ibnu Abi Wadi’ah Rahimahulloh mengatakan:
“Dahulu aku bermajelis bersama Sa’id bin Al-Musayyab, lalu dia
kehilanganku selama beberapa hari. Ketika aku mendatanginya, dia
berkata: “Darimana engkau?”. Ibnu Abi Wadi’ah berkata: “Istriku
meninggal dan aku tersibukkan dengannya”. Dia (Sa’id) berkata: “Kenapa
engkau tidak mengabarkan kepada kami sehingga kami bisa menghadiri
prosesi jenazahnya”.
Ibnu Abi Wadi’ah berkata: “Kemudian
ketika aku ingin berdiri, Sa’id berkata: “Apakah engkau ingin mencari
istri yang baru?”. Aku berkata: “Semoga Alloh merahmatimu, siapakah yang
mau menikahkanku sementara aku hanya memiliki dua atau tiga dinar?”.
Dia berkata: “Saya”.
Kemudian Sa’id menikahkan Ibnu Abi
Wadi’ah dengan anak perempuannya yang pernah dilamar Sang Kholifah
‘Abdul Malik bin Marwan untuk anak lelakinya, namun Sa’id menolaknya. [Hilyatul Auliya’ 2/167-168]
Demikian juga yang dikisahkan Syaikh ‘Abdurroqib Al-Ibby Hafizhohulloh dalam biografi beliau dimana dahulu beliau menikahi putri tertua Syaikh Muqbil setelah Sang Guru menawarkan kepadanya. [Karomatul Auliya’ 747-748]
SEORANG WANITA MENAWARKAN KEPADA LELAKI SHOLIH UNTUK DINIKAHI
Imam Al-Bukhory Rahimahulloh
dalam “Shohih”nya, menulis: “Bab Seorang Wanita Menawarkan Dirinya
Kepada Lelaki Yang Sholih”. Kamudian beliau membawakan dua hadits, yang
pertama: Sa’id Al-Bunany Rahimahulloh mengatakan: “Dahulu aku
bersama Anas dan ada anak perempuannya di sisinya. Anas berkata:
“Datang seorang perempuan kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan
mengatakan: “Wahai Rosululloh apakah engkau berhajat kepadaku (untuk
menikah)?”. Anak perempuan Anas berkata: “Betapa kurang rasa malunya, wa sauatah !! wa sauatah !! (ungkapan sedih ketika seseorang melihat sebuah perbuatan mesum)”. Anas berkata: “Dia lebih baik darimu, dia menginginkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam maka dia menawarkan dirinya padanya”.
Adapun hadits kedua adalah hadits Sahl bin Sa’ad Rodhiyallohu ‘Anhu tentang seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk dinikahi.
Banyak kisah-kisah shohabiyyah yang menawarkan dirinya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bisa
dijadikan dalil tentang bolehnya seorang wanita menawarkan dirinya
kepada lelaki yang sholih untuk dinikahi. Dan pendalilan ini tidak
bertentangan dengan firman Alloh Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا
أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا
مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ
وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي
هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا
لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ
مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِين
“Wahai Nabi, Sesungguhnya Kami telah
menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas
kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu
peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu. Demikian pula
anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan
dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu
yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan
dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan
bagimu, bukan untuk semua orang mukmin”. (HR Al-Ahzab 50)
Perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi yang dikenal dengan Wahibah, maksudnya adalah yang merelakan dirinya untuk dinikahi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tanpa mahar dan tanpa wali. Inilah yang menjadi kekhususan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Kedua hadits yang disebutkan Imam
Bukhory di atas termasuk landasan untama bagi para ulama akan bolehnya
seorang wanita menawarkan dirinya untuk dinikahi.
Al-Muhallab Rahimahulloh mengatakan:
“Pada hadits tersebut terdapat pembolehan bagi seorang wanita untuk
menawarkan dirinya kepada lelaki yang sholih, bolehnya dia memberi tahu
si lelaki akan keinginannya, karena kesholehan dan keutaman lelaki
tersebut, ilmu dan kemuliaannya, atau karena perkara lain yang terkait
dengan agama. Tidak ada celaan baginya dalam perbuatannya tersebut dan
tidak ada kerendahan, bahkan hal tersebut adalah nilai tambah bagi
keutamaannya berdasarkan perkataan Anas kepada putrinya: “Dia lebih baik
dari kamu”. [Syarh Shohihil Bukhory - Ibnu Baththol 7/227]
Al-‘Ainy Rahimahulloh
menyatakan dengan perkataan yang sama dan menambah: “Adapun wanita yang
menawarkan dirinya kepada seorang lelaki karena tujuan dari
tujuan-tujuan dunia maka itu adalah sejelek-jelek dan tercelanya
perbuatan”. [‘Umdatul Qory Syarh Shohih Al-Bukhory 20/113]
Demikian juga pendapat para pensyarah
hadits yang lain seperti Imam An-Nawawy, Ibnu Daqieqil ‘Ied, Ibnu Hajar,
Ash-Shon’any, Ibnul Qoyyim, Al-Qostholany dll, Rahimahumullohu Ta’ala. [Syarh
Shohih Muslim - An-Nawawy 9/212, Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatul Ahkam
2/183, Fathul Bary 9/175, Subulus Salaam 2/168, Tahdzibus Sunan
(Tergabung dalam Al-‘Aunul Ma’bud) 6/102, Irsyadus Sari 8/44]
Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Hafizhohulloh mengatakan:
“Pada hadits ini terdapat pembolehan perempuan menawarkan dirinya
kepada lelaki yang sholih untuk menikahinya, akan tetapi dengan mahar
tidak boleh dengan hibah (tanpa mahar)”. [Syarh Sunan Abi Daud 26/243]
Al-Lajnah Ad-Da-imah (Syaikh bin Baaz,
Syaikhh ‘Abdulloh bin Ghudayyan, Syaikh ‘Abdurrozzaq ‘Afifi, Syaikh
‘Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh, Syaikh ‘Abdulloh bin Qu’ud Ghofarohumulloh) ditanya: Bolehkan seorang gadis maju untuk minta dinikahi kepada seorang saudara fillah
yang mulia, Karena gadis tersebut mendapatkan padanya sifat-sifat
seorang muslim yang konsisten? Sebagaimana dahulu dilakukan oleh
Sayyidah Khodijah bintu Khuwailid Rodhiyallohu ‘Anha? Apabila
Islam membolehkannya, apakah hal tersebut tidak menjatuhkan kehormatan
gadis tersebut setelah perbuatan itu atau Apa syarat-syarat yang
dilakukan seorang gadis jika dia tertarik dengan seorang saudara fillah karena faktor akhlak keislaman dan sikap konsistennya dalam mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam?
Jawab: Apabila kondisinya sebagaimana
yang disebutkan, maka disyari’atkan baginya (si gadis) untuk menawarkan
dirinya kepada lelaki tersebut atau yang semisalnya dan tidak keslahan
dalam masalah itu. Khodijah Rodhiyallohu ‘Anha telah melakukannya, demikian juga para wahibah sebagaimana disebutkan di surat Al-Ahzab.’Umar Rodhiyallohu ‘Anhu juga melakukannya dengan menawarkan putrinya Hafshoh kepada Abu Bakr dan ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhuma. Wabillahit Taufiq wa Shollallohu ‘Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Sohbihi wa Sallam”. [Fatwa no 6400 pertanyaan pertama, Gel 1 jilid 18/48]
Tentunya apabila seorang wanita ingin
menawarkan dirinya kepada seorang lelaki yang baik dan sholih, si wanita
mesti menempuhnya dengan memperhatikan batasan-batasan syar’i.
Hendaknya dia membicarakannya dengan orang yang aman yang bisa menjadi
perantara seperti ibu atau mahram si laki-laki agar selanjutnya lelaki
sholih yang diinginkan tersebut berhubungan dengan wali perempuan, dan
yang lebih utama lagi dia meminta kerabatnya untuk berhubungan dengan
pihak laki-laki. Adapun aling berkomunikasi langsung dengan lelaki yang
bukan mahram tersebut baik via telpon, sms, chatting, surat-suratan dsb,
maka dikhawatirkan hal-hal tersebut bisa membuka pintu fitnah dan
maksiat.
Hendaknya seorang wanita tidak membuka
dirinya untuk menyendiri dengan seorang lelaki yang bukan mahramnya,
walaupun dalam jangka waktu yang pendek. Karena tidak terjaminnya
keamanan terlebih lagi disertai dengan kerusakan zaman. Sebagian Salaf
mengatakan:
شَيْطَانٌ مُغْوِيٌّ وَأُنْثَى حَاضِرَةٌ
“Syaithon menggoda ketika betina ada”. [Syarh Al-Muwaththo’- Az-Zarqony 4/622]
Hal ini sebagaimana larangan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
“Janganlah diantara kalian menyepi
dengan perempuan (bukan mahram) karena sesungguhnya syaiton menjadi yang
ketiganya”. (HR Ahmad dll, dari ‘Umar bin Al-Khoththob Rodhiyallohu ‘Anhu, dengan sanad yang shohih)
SEORANG WANITA MENAWARKAN DIRI LEWAT BIRO JODOH?
Dari penjelasan di atas juga bisa
dinilai kekeliruan sebagian wanita yang bergabung dengan biro jodoh,
karena dia menawarkan dirinya kepada siapa saja yang ingin melakukan
penjajakan. Apalagi jika dia menyertakan fotonya, maka hal tersebut
semakin dalam memerosokkan dirinya kepada perendahan diri sendiri.
Al-Lajnah Ad-Da-imah (Syaikh bin Baaz,
Syaikhh ‘Abdulloh bin Ghudayyan, Syaikh Sholih Al-Fauzan, Syaikh ‘Abdul
‘Aziz Alusy Syaikh, Syaikh Bakr Abu Zaid Ghofarohumulloh)
ditanya: “Apa hukum bagi gadis-gadis yang mengiklankan diri-diri mereka
di koran dan majalah -bersamaan penyebutan sifat-sifat mereka- untuk
orang-orang yang tertarik melamar dan menikahi mereka?
Jawab: Pengiklanan seorang wanita di
koran dan majalah akan hasratnya untuk menikah serta menyebutkan
sifat-sifatnya, maka hal tersebut bertentangan dengan rasa malu dan
kehormatan serta bukan merupakan adatnya kaum muslimin, maka hal ini
wajib ditinggalkan. Perbuatan ini juga bertentangan dengan hak wali
dimana proses lamaran mesti melalui dan sesuai kesepakatannya”. [Fatwa no 17930 pertanyaan pertama, Fatwa Al-Lajnatud Da-imah, Gel 1, jlid 18/40]
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك