disertai pengenalan kaidah: Jalbul Masholih wa Dar’ul Mafasid
(Pendatangan maslahat-maslahat dan penolakan mudarat-mudarat)
Ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy Al-Minangkabawy
-Semoga Alloh mengampuni dosa dan kesalahannya-
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد
Sebagaimana dimaklumi bersama, vaksinasi
adalah proses penanaman bibit penyakit -yang sudah dilemahkan- ke dalam
tubuh manusia atau binatang, agar tubuh bisa beradaptasi dan membentuk
antibody yang akhirnya diharapkantubuh orang atau binatang tersebut
menjadi kebal terhadapjenis penyakit tersebut. Adapun imunisasi adalah
proses pengebalan tubuh dimana vaksinasi adalah salah satu metodenya.
Terkait dengan masalah ini, mungkin
diantara kita menemukan sebagian orang yang berpendapat bahwa metode ini
merupakan perbuatan terlarang, ada yang beralasan karena meniadakan
rasa tawakkal, dan ada yang mengatakan bahwa perbuatan ini bentuk
penjerumusan diri kepada kebinasaan melihat dampak-dampak jelek yang
disinyalir akibat praktek vaksinasi.
PENCEGAHAN MERUPAKAN LANGKAH PENGOBATAN
Tindakan pencegahan atas penyakit yang dikhawatirkan bisa menimpa termasuk upaya pengobatan yang disyari’atkan. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من تصبح بسبع تمرات عجوة، لم يضره ذلك اليوم سم، ولا سحر
“Barangsiapa yang sarapan dengan tujuh butir kurma ‘ajwah
(sejenis kurma Madinah), maka racun tidak akan membahayakannya pada
hari itu, tidak juga sihir”. (HR Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqqosh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Dengan dalil inilah Syaikh Ibnu Baaz Rahimahulloh menyatakan
bolehnya imunisasi. Pendapat ini juga dikuatkan ulama yang lain seperti
Syaikh ‘Abdurrozzaq ‘Afifi dan ‘Abdulloh bin Ghudayyan. [Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz 6/21, Fatawa Lajnah Ad-Da-imah, gel 2: 1/280]
Pengobatan maupun pencegahan tidaklah meniadakan tawakkal selama dia tidak bersandar sepenuhnya pada perkara yang ditempuhnya tersebut.[1]
Guru kami, Syaikh Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh mengatakan: “Saya tidak mengingkari orang yang melakukan imunisasi apabila dia bertawakkal
kepada Alloh. Perbuatan ini tidak bertentangan dengan bentuk tawakkal
yang benar.Al-‘Allamah Ibnu Baaz telah berfatwa bahwasanya perkara ini
tidak bertentangan dengan tawakkal. Diantara dalil (bolehnya) perkara
tersebut adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
من تصبح بسبع تمرات عجوة، لم يضره ذلك اليوم سم، ولا سحر
“Barangsiapa yang sarapan dengan tujuh butir kurma ‘ajwah (sejenis kurma Madinah), maka racun tidak akan membahayakannya pada hari itu, tidak juga sihir”.
Ini adalah bentuk pencegahan sebelum
datangnya penyakit dan merupakan pendalilan yang bagus.Atas dasar ini,
maka barangsiapa yang melakukan imunisasi maka tidak mengapa, dan
barangsiapa yang tidak melakukannya tidaklah diingkari.
Terdapat fatwa lain yang menyelisihi
fatwa ini yaitu fatwa Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh yang menyatakan
bahwa hukum imunisasi adalah makruh, tidak haram karena tidak ada dalil
yang mengharamkannya. Hal tersebut menjadi makruh dari sisi
timbulnya penyakit akibat penggunaan obat tersebut. Dimana mereka
mengambilnya dari orang yang sakit kemudian meletakkannya pada jasad
yang sehat, ini bisa menimbulkan demam, pembengkakan tempat
dimasukkannya vaksin, atau dampak yang lainnya. Beliau mengatakan
perbuatan ini hukumnya makruh tidak sampai kepada batas keharaman.
Pendapat pertama -pendapat Syaikh bin
Baaz- lebih tepat karena kuatnya dalil. Hanya saja dalam masalah ini,
yang melakukan vaksinasi tersebut adalah orang yang punya keahlian
dengannya, bersamaan dengan sikap kehati-hatian, sehingga tidak berulang
kasus yang terjadi di sebagian daerah di Yaman berupa pemberian obat
diabetes sebagai ganti suntikan imunisasi. Akibatnya, anak-anak terbunuh
dengan jumlah yang tak sedikit, yang berdampak takutnya orang-orang
(kejadian sama) menimpa anak-anak mereka”. [Al-Ajwibatur Rodhiyyah 25-26]
Apa yang diperingatkan beliau adalah
langkah kepatutan, karena memang kewajiban seorang tenaga medis untuk
mengambil langkah hati-hati dan mengetahui dengan pasti kondisi pasien
sehingga tidak terjadi malapraktik.
KAIDAH FIQHIYYAH: SYARI’AH INI
ADALAH UNTUK MENDATANGKAN KEMASLAHATAN HAMBA, SERTA MENJAUHKANNYA DARI
APA-APA YANG MEMUDARATKANNYA DI DUNIA MAUPUN DI AKHIRAT
Ini adalah kaidah yang besar dimana
hukum-hukum syari’at beredar di seputarnya. Maslahat tersebut bisa
berupa maslahat murni atau maslahat rojih (memiliki sisi
mudarat, namun kadarnya -menurut syari’at- tidak bernilai dibanding
maslahat yang didapatkan). Demikian juga mudarat yang dijauhkan oleh
syari’at, bisa berupa mudarat murni atau mudarat rojih (memiliki sisi maslahat, namun kadarnya -menurut syari’at- tidak bernilai dibanding mudarat yang didapatkan)
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan:
“Apabila anda merenungkan (hukum) syari’at-syari’at agama-Nya yang Dia
tetapkan antara para hamba-Nya, maka anda akan mendapatkan
syari’at-syari’at tersebut tidak terlepas dari pendatangan maslahat
murni atau rojih sebisa mungkin. Apabila berbenturan antar
maslahat (yakni tidak bisa didapatkan semuanya) maka dikedepankan yang
paling penting dan mulia walaupun harus meluputkan maslahat yang lebih
rendah.
(Demikian juga syari’at-syari’at tersebut tidak terlepas dari) penghilangan mudarat murni atau rojih sebisa
mungkin. Apabila berbenturan antar mudarat (yakni tidak ada jalan untuk
menghilangkan semuanya) maka dikedepankan penghilangan mudarat yang
paling parah kerusakannya walaupun harus menempuh kerusakan yang lebih
rendah”. [Miftah Daaris Sa’adah 2/362. Lihat juga perkataan para
ulama seputar kaidah ini: Qowa’idil Ahkam fi Masholihil Anam - Al-‘Izz
bin ‘Abdissalam 1/11, Majmu’ Fatawa -Ibnu Taimiyyah 28/591,
Al-Muwaafaqot - Asy-Syathiby 5/42, Adabuth Tholab -Asy-Syaukany 229-233]
PENENTUAN MASLAHAT DAN MUDARAT DALAM MASALAH AKHIRAT DAN URUSAN DUNIA
Al-‘Allamah Al-‘Izz bin ‘Abdissalam Rahimahulloh mengatakan:
“Maslahat-maslahat (pada perkara yang terkait dengan) dunia dan
akhirat, sebab-sebabnya, dan mudarat-mudaratnya tidak diketahui kecuali
dengan syari’at. Apabila ada sesuatu yang tersembunyi (maslahat atau
mudaratnya dipertanyakan -pent) maka dituntut untuk mendatangkan sesuatu
dari dalil-dalil syar’i, yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, qiyas yang
memenuhi syarat dan pendalilan yang sah.
Adapun maslahat-maslahat (pada perkara yang terkait dengan) dunia sebab-sebabnya, dan mudarat-mudaratnya maka diketahui dengan daruriyyah (perkara
yang diketahui semua orang, seperti: Api bisa memanaskan -pent),
percobaan, kebiasaan dan perkiraan yang memenuhi standar. Apabila ada
sesuatu yang tersembunyi (maslahat atau mudaratnya dipertanyakan -pent)
maka dituntut untuk mendatangkan bukti-bukti”. [Qowa’idil Ahkam fi Masholihil Anam 1/10]
TIDAK SEMUA YANG BISA MENCAPAI TUJUAN MERUPAKAN MASLAHAT
Syaikhul Islam Rahimahullohu Ta’ala mengatakan:
“Tidaklah semata-mata do’a yang menghasilkan maksud menunjukkan akan
kebolehan jenis do’a tersebut dalam syari’at. Karena banyak dari
kalangan manusia yang berdo’a kepada selain Alloh -yakni- kepada bintang
dan makhluk-makhluk yang lain, mereka mendapatkan apa yang mereka
maksudkan. Sebagian orang menyengaja berdo’a di sisi arca-arca dan
gereja-gereja, serta selainnya, mereka berdo’a kepada berhala yang ada
di gereja-gereja, mereka mendapatkan maksud mereka.Sebagian orang lagi
berdo’a dengan do’a yang haram -menurut ijma’ muslimin- dan mereka
mendapatkan maksud mereka.”[Majmu’ Fatawa 64-265]
Karena itu orang yang mengatakan: “Ini
maslahat dakwah … itu membahayakan dakwah …” perlu diikat dengan
dalil-dalil, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Demikian juga dalam masalah dunia,
percobaan yang diakui adalah percobaan yang bisa dibuktikan
sebab-akibatnya, bukan sekedar dugaan apalagi berbau mistik.
Maka tidak bisa dikatakan percobaan, jika
seorang tabib hanya mengurut batang pisang untuk meluruskan kaki pasien
yang patah tulang, walau mereka mengatakan manjur.
Tidak juga diakui sebagai percobaan,
ketika seseorang melakukan bedah ayam untuk mendiagnosa penyakit
pasiennya, walau diklaim akurat.
PENENTUAN OBAT DAN DAMPAK ADALAH JENIS PENENTUAN MASLAHAT DAN MUDARAT YANG BISA DIKETAHUI DENGAN PERCOBAAN
Pengobatan adalah salah satu perkara
dunia yang diperbolehkan oleh syari’at. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, percobaan adalah salah satu jalan untuk mengetahui maslahat
dan mudarat suatu perkara yang terkait dengan dunia, hal ini jika
perkara tersebut tidak terkait dengan akhirat. Adapun jika terkait
dengan akhirat maka kita mesti merujuk kepada dalil dalam penentuan
maslahat dan mudaratnya.
Karena itulah pemilik syari’at ini
membolehkan pengobatan secara umum, dan hanya mengecualikan sebagiannya,
sebagaimana di hadist Abu Darda’Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
إن الله خلق الداء و الدواء، فتداووا، ولا تتداووا بحرام
“Sesungguhnya Alloh menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah kalian.Dan janganlah kalian berobat dengan yang haram”. (HR Ad-Daulaby, dihasankan Syaikh AlbanyRahimahullohu Ta’ala)
Telah dimaklumi bahwasanya pengobatan
medis dari dahulu dibangun di atas percobaan-percobaan. Kalaulah
percobaan tidak bisa digunakan dalam penentuan maslahat dan mudarat
dalam pengobatan, tentulah pemilik syari’at ini akan memperingatkan,
sebagaimana diperingatkannya para hamba dari pengobatan dengan cara yang
haram.
Maka dari hadits ini diambil faidah
bahwasanya penentuan maslahat dan mudarat dengan percobaan bisa
dijadikan patokan pada pengobatan selama tidak ada larangan syar’i pada
objek percobaan. Ketika ada larangan, berarti syari’at telah menetapkan
wujud mudarat secara syar’i pada objek tersebut, walaupun secara kasat
mata manusia melihat besarnya maslahat yang dia peroleh dari objek
tersebut.
Sebagai contoh, pengobatan dengan khamar.Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang
khamar (minuman yang memabukkan) dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya”. (QS Al-Baqoroh 219)
Ketika Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang pengkonsumsian khamar maka Thoriq bin Suwaid Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Sesungguhnya aku membuatnya untuk obat”. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:
إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ، وَلَكِنَّهُ دَاء
“Sesungguhnya dia bukan obat tapi penyakit” (HR Muslim dari Wa’il bin Hujr Rodhiyallohu ‘Anhu)
Imam An-Nawawy Rahimahulloh mengatakan: “Pada hadits ini terdapat pernyataan bahwasanya khamar
bukanlah obat. Maka diharamkan melakukan pengobatan dengannya karena
dia bukan obat, sehingga seolah-olah penggunaannya adalah pemakaian (khomr) tanpa sebab. Inilah yang shohih di sisi ashabuna (para ulama syafi’iyyah) bahwasanya diharamkan pengobatan dengannya, demikian juga meminumnya bagi orang yang kehausan.
Adapun jika tersekat segumpal makanan di tenggorokannya, sementara dia tidak mendapatkan apa pun –selain khamar- yang bisa membantunya untuk menelannya maka dia harus meminumnya (khamar) untuk membantu menelan makanan tersebut karena terjadinya kesembuhan dengannya meyakinkan, berbeda dengan pengobatan”. [Syarh An-Nawawy ‘Ala Muslim 13/ 153]
Dengan demikian, ketika tidak ada dalil
syar’i yang terkait dengan masalah imunisasi ini, maka penentuan
maslahat dan mudarat kita bangun di atas percobaan orang-orang yang ahli
dalam masalah ini.
Memang tidak diragukan akan ada mudarat
dalam imunisasi, sebagaimana terdapat juga mudarat berupa rasa perih
bagi orang yang berbekam, atau sakit perut bagi orang yang minum madu,
atau gatal-gatal pada orang yang alergi obat tertentu. Namun ketika
maslahatnya rojih maka syari’at membolehkannya.
Adapun dijumpainya beberapa kasus yang
menyimpang dari hasil percobaan para ahli, tidak serta merta bisa
dijadikan alasan pelarangannya secara keseluruhan. Bukankan kita
mendengar adanya kasus kematian yang mengenaskan diawali rasa nyeri di
pinggang? Bukankah kita dengar seseorang sampai lumpuh setelah melakukan
pengobatan padahal awalnya cuma perut yang tidak enak?
Kalaulah kegagalan-kegagalan ataupun
kekeliruan dari petugas kesehatan yang semacam ini dijadikan acuan tentu
akan menutup pintu pengobatan yang mayoritasnya terbukti berhasil
-dengan izin Alloh- sesuai hasil percobaan.
Dengan demikian jelaslah bagi kita kuatnya pendapat ulama yang membolehkan imunisasi, Wallohu ta’ala a’lam.
PERTIMBANGAN MASLAHAT DAN MUDARAT AKHIRAT ADALAH PERKARA YANG LEBIH UTAMA
Setelah selesai dari masalah imunisasi,
sekarang pembahasan kita beralih ke kelanjutan kaidah “Jalbul Masholih
wa Daf’ul Mafasid” yang sudah disinggung sebelumnya dalam rangka
penyempurnaan faidah.
Ketahuilah -semoga Alloh merahmati anda-,
posisi maslahat dan mudarat akhirat lebih utama sebagai bahan
pertimbangan ketimbang maslahat dan mudarat dunia. Pada ayat larangan
tentang khamar terlihat jelas bahwasanya berbagai manfaat kamar yang
disebutkan -baik dari sisi penggunaan maupun bisnis- tidaklah senilai
dengan dosa yang diancamkan. Karena apa-apa yang kita dapatkan di
akhirat tidaklah setara dengan apa yang kita temukan di dunia.
Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahulloh mengatakan:
“Sesungguhnya dosa keduanya (khamar dan judi) dalam perkara agama,
sementara manfaat-manfaat adalah dalam perkara dunia, dari sisi padanya
terdapat manfaat bagi badan, mencerna makanan, mengeluarkan kotoran
badan, menajamkan pikiran, dan kelezatan yang menyenangkan yang ada
padanya …
Demikian juga dari sisi penjualannya,
bisa mengambil manfaat dari harganya. Apa-apa yang dikumpulkan sebagian
mereka dari perjudian bisa digunakan untuk menafkai dirinya dan
kaluarganya. Akan tetapi maslahat-maslahat ini tidak menyamai mudarat
dan kerusakan yang rojih, karena mudarat-mudarat tersebut terkait dengan
akal dan agama”.[Tafsir Ibni Katsir]
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Beliau -yakni ‘Umar- menulis surat kepada Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu: “Amma ba’du,
sesungguhnya orang-orang bisa keluar dari penguasanya, maka aku
berlindung kepada Alloh dari tertimpanya perkara itu kepadaku dan kamu.
Tegakkanlah hukum walau sejenak di siang hari. Apabila datang kepadamu
dua perkara, salah satu untuk akhirat dan lainnya untuk dunia, maka
utamakanlah bagianmu dari Alloh. Karena sesungguhnya dunia akan fana
dan akhirat akan tersisa”. [Ahkamu Ahlidz Dzimmah 80-81]
Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh
mengatakan: “Maslahat-maslahat dan mudarat-mudarat akhirat dikedepankan
dalam pertimbangan daripada maslahat-maslahat dan mudarat-mudarat dunia,
menurut ijma’ (ulama). Tidak sah mempertimbangkan maslahat
dunia yang meninggalkan maslahat akhirat. Dimaklumi bahwa apa-apa yang
meninggalkan maslahat akhirat tidaklah mencocoki tujuan Pemilik
syari’at, dan merupakan sebuah kebatilan”.[Al-Muwaafaqoot 3/94]
Al-Allamah Al-‘Izz bin ‘Abdissalam Rahimahulloh
mengatakan: “Tidaklah ada kadar maslahat-maslahat dunia dan
mudarat-mudaratnya dalam maslahat-maslahat akhirat dan
mudarat-mudaratnya. Karena maslahat-maslahat akhirat adalah kekekalan di
surga-surga, keridhoan Ar-Rohman dan melihat wajah-Nya yang
mulia.Betapa hal tersebut merupakan kenikmatan yang kekal.
Sementara mudarat-mudaratnya adalah
kekekalan di neraka, kemurkaan Ad-Dayyaan (salah satu dai
Asmaul-Husna-pent), dan terhalangnya dari melihat wajah-Nya yang mulia.
Betapa hal tersebut merupakan azab yang menyakitkan.[Qowa’idil Ahkam fi Masholihil Anam 1/8-9]
Karena itu dalam sebuah hadits disebutkan, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يؤتى بأنعم أهل الدنيا من أهل النار يوم القيامة، فيصبغ في النار صبغة، ثم يقال: يا ابن آدم هل رأيت خيرا قط؟ هل مر بك نعيم قط؟ فيقول: لا، والله يا رب ويؤتى بأشد الناس بؤسا في الدنيا، من أهل الجنة، فيصبغ صبغة في الجنة، فيقال له: يا ابن آدم هل رأيت بؤسا قط؟ هل مر بك شدة قط؟ فيقول: لا، والله يا رب ما مر بي بؤس قط، ولا رأيت شدة قط
“Didatangkan pada hari kiamat seorang
penduduk dunia yang paling mendapat kenikmatan, dan dia adalah penghuni
neraka. Lantas dia dicelupkan ke neraka dengan satu kali celupan, lalu
dikatakan: “Wahai anak Adam, apakah engkau pernah melihat kebaikan
sedikitpun? Apakah engkau pernah melewati kenikmatan sedikitpun?”. Dia
berkata: “Tidak, demi Alloh wahai Robb”.
Didatangkan seorang penduduk dunia yang
paling mendapat kesengsaraan, dan dia adalah penghuni surga. Lantas dia
dicelupkan ke surga dengan satu kali celupan, lalu dikatakan: “Wahai
anak Adam, apakah engkau pernah melihat kesengsaraan sedikitpun? Apakah
engkau pernah melewati kesempitan sedikitpun?”. Dia berkata: “Tidak,
demi Alloh wahai Robb. Aku tidak pernah melewati kesempitan sedikitpun
dan aku tidak pernah melihat kesengsaraan sedikitpun”. (HR Muslim dari
Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu)
Satu kali celupan saja di neraka tidak
bernilai dibandingkan dengan seluruh kenikmatan dunia, maka bagaimana
jika kekal di dalamnya??
Satu kali celupan saja di surga tidak
bernilai dibandingkan dengan segenap kesengsaraan dunia, maka bagaimana
jika kekal di dalamnya??
BEBERAPA BENTUK KEKELIRUAN DALAM PENERAPAN KAIDAH SYAR’IYYAH YANG AGUNG INI
Kasus satu: Mengumpulkan semua maslahat sebisa mungkin:
Sebagian orang menyangka bahwa menuntut
ilmu mengharuskannya untuk memutuskan tali silaturrahmi, memaksakan
dirinya untuk itu bahkan sampai berdalil dengan atsar ulama yang tidak
membuka surat-surat yang sampai kepadanya selama masa menuntut ilmu.
Terlebih dahulu kita katakan bahwa amalan
ulama orang-perorang bukanlah dalil. Atas dalil apa anda memilih
pendapat ini dan meninggalkan perkataan ulama yang lain.
Menuntut ilmu maslahatnya ditetapkan
syari’at, demikian juga menyambung tali silaturrahmi dengan keluarga.
Maka tuntutan pertama adalah menggabung keduanya selama hal tersebut
bisa dilakukan. Menghubungi keluarga dengan telpon, surat menyurat atau
berkunjung jika memungkinkan, tidaklah mengganggu menuntut ilmu demikian
juga sebaliknya. Selama sesuatu amalan dikerjakan sesuai porsinya
-insyaalloh- tidak ada gangguan. Gangguan hanyalah akan muncul ketika
ada sikap berlebih-lebihan.
Kasus dua: Menggapai maslahat rojih:
Sebagian orang beralasan dengan kaidah
ini untuk terus menerus berkecimpung dengan riba, atau bertahan di
perusahaan yang mengharuskannya mencukur jenggot, ikhtilath, melalaikan sholat jama’ah, dengan alasan bahwa pekerjaannya tersebut bisa mencukupi kebutuhannya, menafkahi keluarganya dsb.
Padahal maslahat yang dicapainya itu
mesti menghadapi mudarat di akhirat yang tidak ringan. Justru sebaliknya
mudarat yang dia dapatkan lebih rojih dari maslahat yang dia kumpulkan. Alloh dan Rosul-Nya telah memerintahkan untuk mencari rezki dengan cara yang halal.
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَكُنْ عَبْدٌ لَيَمُوتَ حَتَّى يَبْلُغَ آخِرَ رِزْقٍ هُوَ لَهُ، فَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، أَخْذُ الْحَلَالِ وَتَرْكُ الْحَرَام
” Janganlah kalian merasa lama datangnya
rezki, karena sesungguhnya suatu jiwa tidak akan mati sampai mendapatkan
akhir rezki yang telah ditetapkan baginya. Maka carilah nafkah dengan
baik. Ambillah yang halal dan tinggalkanlah yan haram” (HR Al-Hakim dari
Jabir Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
Maka seharusnya dalam kondisi ini dia mesti menolak mudarat rojih, dan mencari rezki di tempat lain yang insyaalloh akan mendapatkan maslahat yang disertai keberkahan.
Kasus tiga: Menolak mudarat rojih:
Sebagian orang enggan meluangkan waktunya
untuk menuntut ilmu karena khawatir luput dari pekerjaannya dan hilang
masa depannya. Padahal sebagian ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu yang
wajib diketahuinya, terkait dengan peribadahan yang benar kepada
Robbnya ‘Azza wa Jalla.
Dia menyangka bahwa kehilangan pekerjaannya akan memudaratkannya, padahal sebaliknya Alloh telah menjanjikan maslahat yang rojih dibalik pengorbanannya, serta menjelaskan bahkan ketergantungannya tehadap dunia justeru itulah yang akan memudaratkannya.
NabiShollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits Al-Qudsi:
يقول ربكم يا ابن آدم تفرغ لعبادتى أملأ قلبك غنى وأملأ يديك رزقا يا ابن آدم لا تباعد منى فأملأ قلبك فقرا وأملأ يديك شغل
“Robb kalian mengatakan: “Wahai anak
Adam. Curahkanlah (tenaga, waktu, pikiran dll) untuk beribadah kepada-Ku
maka akan kupenuhkan hatimu dengan kekayaan dan tanganmu dengan rezki.
Wahai anak Adam janganlah engkau menjauh dari-Ku niscaya akan kupenuhi
hatimu dengan kemiskinan dan (akan kupenuhi) tanganmu dengan kesibukan”
(HR Al-Hakim dari Ma’qil bin Yasar Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Muqbil dan Al-Albany)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من كانت الدنيا همه فرق الله عليه أمره وجعل فقره بين عينيه ولم يأته من الدنيا إلا ما كتب له. ومن كانت الآخرة نيته جمع الله له أمره . وجعل غناه في قلبه وأتته الدنيا وهي راغمة
“Barangsiapa yang menjadikan dunia
sebagai cita-citanya maka Alloh akan mencerai berai urusannya dan
menjadikan kemiskinan di depan matanya. Dan dia tidak akan didatangi
kenikmatan dunia kecuali yang telah tertulis baginya. Barangsiapa yang
menjadikan akhirat sebagai niat (tujuan)nya maka Alloh akan jadikan
kekayaan di hatinya dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan
rendah” (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Zaid bin Tsabit Rodhiyallohu
‘Anhu, dishohihkan Syaikh Muqbil dan Al-Albany)
Kasus keempat: Menolak semua mudarat sebisa mungkin:
Anda mungkin mendengar ada yang
memfatwakan bolehnya membeli televisi di rumah jika khawatir anak
keluyuran nonton di rumah tetangga. Alasannya mereka, memilih menempuh
mudarat yang lebih rendah di antara kedua mudarat.
Siapa bilang mudarotnya lebih rendah?
Asalnya malaikat tidak mau masuk ke rumah tetangga, sekarang juga tidak mau masuk ke rumahnya.
Dahulu istrinya tidak ikut nonton,
sekarang ikutan nimbrung dengan alasan mengawasi tontonan anak. Walhasil
sang istri jadi kesengsem sama cowok ber-make up yang dia lihat setiap
hari. Mana kecemburuanmu terhadap keluarga?
Dahulu anaknya hanya bisa nonton film kartun saja, sekarang adegan tak senonohpun mulai diserapnya.
Bukankah dia bisa mengurung anaknya di
rumah, mendidiknya dengan ilmu yang bermanfaat dan mengajarkan
kreativitas yang mengasah nalarnya? Seorang anak memiliki rasa ingin
tahu yang besar, semestinyalah orang tua yang bijak mengarahkannya ke
pengetahuan yang berguna.
Bukankah dia bisa mengantarkan anaknya ke ma’had tahfizh Al-Qur’an yang terjaga dari kerusakan lingkungannya?
Bukankah anak memiliki hak dari orang
tuanya untuk memberikan waktu mengayominya? Bukankah kelak anda akan
dimintai pertanggung jawaban atas pembinaannya?
Sungguh syari’at ini telah terang dan nyata, hanyasaja hawa nafsu terus senantiasa berusaha memperluas kadar kekurangan kita …
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا
“Wahai Robb kami, janganlah Engkau
jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau memberi
petunjuk kepada kami,”. (QS Ali ‘Imron 8)
سبحنك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
Darul Hadits Dammaj- Yaman
27 Jumadits Tsany 1434