Selasa, 28 Mei 2013

VAKSINASI DAN IMUNISASI DALAM KAJIAN SYAR’I

disertai pengenalan kaidah: Jalbul Masholih wa Dar’ul Mafasid
(Pendatangan maslahat-maslahat dan penolakan mudarat-mudarat)

Ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy Al-Minangkabawy
-Semoga Alloh mengampuni dosa dan kesalahannya-

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد


Sebagaimana dimaklumi bersama, vaksinasi adalah proses penanaman bibit penyakit -yang sudah dilemahkan- ke dalam tubuh manusia atau binatang, agar tubuh bisa beradaptasi dan membentuk antibody yang akhirnya diharapkantubuh orang atau binatang tersebut menjadi kebal terhadapjenis penyakit tersebut. Adapun imunisasi adalah proses pengebalan tubuh dimana vaksinasi adalah salah satu metodenya.

Terkait dengan masalah ini, mungkin diantara kita menemukan sebagian orang yang berpendapat bahwa metode ini merupakan perbuatan terlarang, ada yang beralasan karena meniadakan rasa tawakkal, dan ada yang mengatakan bahwa perbuatan ini bentuk penjerumusan diri kepada kebinasaan melihat dampak-dampak jelek yang disinyalir akibat praktek vaksinasi.

PENCEGAHAN MERUPAKAN LANGKAH PENGOBATAN

Tindakan pencegahan atas penyakit yang dikhawatirkan bisa menimpa termasuk upaya pengobatan yang disyari’atkan. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من تصبح بسبع تمرات عجوة، لم يضره ذلك اليوم سم، ولا سحر

“Barangsiapa yang sarapan dengan tujuh butir kurma ‘ajwah (sejenis kurma Madinah), maka racun tidak akan membahayakannya pada hari itu, tidak juga sihir”. (HR Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqqosh Rodhiyallohu ‘Anhu)

Dengan dalil inilah Syaikh Ibnu Baaz Rahimahulloh menyatakan bolehnya imunisasi. Pendapat ini juga dikuatkan ulama yang lain seperti Syaikh ‘Abdurrozzaq ‘Afifi dan ‘Abdulloh bin Ghudayyan. [Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz 6/21, Fatawa Lajnah Ad-Da-imah, gel 2: 1/280]

Pengobatan maupun pencegahan tidaklah meniadakan tawakkal selama dia tidak bersandar sepenuhnya pada perkara yang ditempuhnya tersebut.[1]

Guru kami, Syaikh Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh mengatakan: “Saya tidak mengingkari orang yang melakukan imunisasi apabila dia bertawakkal kepada Alloh. Perbuatan ini tidak bertentangan dengan bentuk tawakkal yang benar.Al-‘Allamah Ibnu Baaz telah berfatwa bahwasanya perkara ini tidak bertentangan dengan tawakkal. Diantara dalil (bolehnya) perkara tersebut adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

من تصبح بسبع تمرات عجوة، لم يضره ذلك اليوم سم، ولا سحر

“Barangsiapa yang sarapan dengan tujuh butir kurma ‘ajwah (sejenis kurma Madinah), maka racun tidak akan membahayakannya pada hari itu, tidak juga sihir”.

Ini adalah bentuk pencegahan sebelum datangnya penyakit dan merupakan pendalilan yang bagus.Atas dasar ini, maka barangsiapa yang melakukan imunisasi maka tidak mengapa, dan barangsiapa yang tidak melakukannya tidaklah diingkari.


Terdapat fatwa lain yang menyelisihi fatwa ini yaitu fatwa Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh yang menyatakan bahwa hukum imunisasi adalah makruh, tidak haram karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. Hal tersebut menjadi makruh dari sisi timbulnya penyakit akibat penggunaan obat tersebut. Dimana mereka mengambilnya dari orang yang sakit kemudian meletakkannya pada jasad yang sehat, ini bisa menimbulkan demam, pembengkakan tempat dimasukkannya vaksin, atau dampak yang lainnya. Beliau mengatakan perbuatan ini hukumnya makruh tidak sampai kepada batas keharaman.

Pendapat pertama -pendapat Syaikh bin Baaz- lebih tepat karena kuatnya dalil. Hanya saja dalam masalah ini, yang melakukan vaksinasi tersebut adalah orang yang punya keahlian dengannya, bersamaan dengan sikap kehati-hatian, sehingga tidak berulang kasus yang terjadi di sebagian daerah di Yaman berupa pemberian obat diabetes sebagai ganti suntikan imunisasi. Akibatnya, anak-anak terbunuh dengan jumlah yang tak sedikit, yang berdampak takutnya orang-orang (kejadian sama) menimpa anak-anak mereka”. [Al-Ajwibatur Rodhiyyah 25-26]

Apa yang diperingatkan beliau adalah langkah kepatutan, karena memang kewajiban seorang tenaga medis untuk mengambil langkah hati-hati dan mengetahui dengan pasti kondisi pasien sehingga tidak terjadi malapraktik.

KAIDAH FIQHIYYAH: SYARI’AH INI ADALAH UNTUK MENDATANGKAN KEMASLAHATAN HAMBA, SERTA MENJAUHKANNYA DARI APA-APA YANG MEMUDARATKANNYA DI DUNIA MAUPUN DI AKHIRAT

Ini adalah kaidah yang besar dimana hukum-hukum syari’at beredar di seputarnya. Maslahat tersebut bisa berupa maslahat murni atau maslahat rojih (memiliki sisi mudarat, namun kadarnya -menurut syari’at- tidak bernilai dibanding maslahat yang didapatkan). Demikian juga mudarat yang dijauhkan oleh syari’at, bisa berupa mudarat murni atau mudarat rojih (memiliki sisi maslahat, namun kadarnya -menurut syari’at- tidak bernilai dibanding mudarat yang didapatkan)

Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Apabila anda merenungkan (hukum) syari’at-syari’at agama-Nya yang Dia tetapkan antara para hamba-Nya, maka anda akan mendapatkan syari’at-syari’at tersebut tidak terlepas dari pendatangan maslahat murni atau rojih sebisa mungkin. Apabila berbenturan antar maslahat (yakni tidak bisa didapatkan semuanya) maka dikedepankan yang paling penting dan mulia walaupun harus meluputkan maslahat yang lebih rendah.

(Demikian juga syari’at-syari’at tersebut tidak terlepas dari) penghilangan mudarat murni atau rojih sebisa mungkin. Apabila berbenturan antar mudarat (yakni tidak ada jalan untuk menghilangkan semuanya) maka dikedepankan penghilangan mudarat yang paling parah kerusakannya walaupun harus menempuh kerusakan yang lebih rendah”. [Miftah Daaris Sa’adah 2/362. Lihat juga perkataan para ulama seputar kaidah ini: Qowa’idil Ahkam fi Masholihil Anam - Al-‘Izz bin ‘Abdissalam 1/11, Majmu’ Fatawa -Ibnu Taimiyyah 28/591, Al-Muwaafaqot - Asy-Syathiby 5/42, Adabuth Tholab -Asy-Syaukany 229-233]

PENENTUAN MASLAHAT DAN MUDARAT DALAM MASALAH AKHIRAT DAN URUSAN DUNIA

Al-‘Allamah Al-‘Izz bin ‘Abdissalam Rahimahulloh mengatakan: “Maslahat-maslahat (pada perkara yang terkait dengan) dunia dan akhirat, sebab-sebabnya, dan mudarat-mudaratnya tidak diketahui kecuali dengan syari’at. Apabila ada sesuatu yang tersembunyi (maslahat atau mudaratnya dipertanyakan -pent) maka dituntut untuk mendatangkan sesuatu dari dalil-dalil syar’i, yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, qiyas yang memenuhi syarat dan pendalilan yang sah.

Adapun maslahat-maslahat (pada perkara yang terkait dengan) dunia sebab-sebabnya, dan mudarat-mudaratnya maka diketahui dengan daruriyyah (perkara yang diketahui semua orang, seperti: Api bisa memanaskan -pent), percobaan, kebiasaan dan perkiraan yang memenuhi standar. Apabila ada sesuatu yang tersembunyi (maslahat atau mudaratnya dipertanyakan -pent) maka dituntut untuk mendatangkan bukti-bukti”. [Qowa’idil Ahkam fi Masholihil Anam 1/10]

TIDAK SEMUA YANG BISA MENCAPAI TUJUAN MERUPAKAN MASLAHAT

Syaikhul Islam Rahimahullohu Ta’ala mengatakan: “Tidaklah semata-mata do’a yang menghasilkan maksud menunjukkan akan kebolehan jenis do’a tersebut dalam syari’at. Karena banyak dari kalangan manusia yang berdo’a kepada selain Alloh -yakni- kepada bintang dan makhluk-makhluk yang lain, mereka mendapatkan apa yang mereka maksudkan. Sebagian orang menyengaja berdo’a di sisi arca-arca dan gereja-gereja, serta selainnya, mereka berdo’a kepada berhala yang ada di gereja-gereja, mereka mendapatkan maksud mereka.Sebagian orang lagi berdo’a dengan do’a yang haram -menurut ijma’ muslimin- dan mereka mendapatkan maksud mereka.”[Majmu’ Fatawa 64-265]

Karena itu orang yang mengatakan: “Ini maslahat dakwah … itu membahayakan dakwah …” perlu diikat dengan dalil-dalil, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Demikian juga dalam masalah dunia, percobaan yang diakui adalah percobaan yang bisa dibuktikan sebab-akibatnya, bukan sekedar dugaan apalagi berbau mistik.

Maka tidak bisa dikatakan percobaan, jika seorang tabib hanya mengurut batang pisang untuk meluruskan kaki pasien yang patah tulang, walau mereka mengatakan manjur.

Tidak juga diakui sebagai percobaan, ketika seseorang melakukan bedah ayam untuk mendiagnosa penyakit pasiennya, walau diklaim akurat.

PENENTUAN OBAT DAN DAMPAK ADALAH JENIS PENENTUAN MASLAHAT DAN MUDARAT YANG BISA DIKETAHUI DENGAN PERCOBAAN

Pengobatan adalah salah satu perkara dunia yang diperbolehkan oleh syari’at. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, percobaan adalah salah satu jalan untuk mengetahui maslahat dan mudarat suatu perkara yang terkait dengan dunia, hal ini jika perkara tersebut tidak terkait dengan akhirat. Adapun jika terkait dengan akhirat maka kita mesti merujuk kepada dalil dalam penentuan maslahat dan mudaratnya.

Karena itulah pemilik syari’at ini membolehkan pengobatan secara umum, dan hanya mengecualikan sebagiannya, sebagaimana di hadist Abu Darda’Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

إن الله خلق الداء و الدواء، فتداووا، ولا تتداووا بحرام

“Sesungguhnya Alloh menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah kalian.Dan janganlah kalian berobat dengan yang haram”. (HR Ad-Daulaby, dihasankan Syaikh AlbanyRahimahullohu Ta’ala)

Telah dimaklumi bahwasanya pengobatan medis dari dahulu dibangun di atas percobaan-percobaan. Kalaulah percobaan tidak bisa digunakan dalam penentuan maslahat dan mudarat dalam pengobatan, tentulah pemilik syari’at ini akan memperingatkan, sebagaimana diperingatkannya para hamba dari pengobatan dengan cara yang haram.

Maka dari hadits ini diambil faidah bahwasanya penentuan maslahat dan mudarat dengan percobaan bisa dijadikan patokan pada pengobatan selama tidak ada larangan syar’i pada objek percobaan. Ketika ada larangan, berarti syari’at telah menetapkan wujud mudarat secara syar’i pada objek tersebut, walaupun secara kasat mata manusia melihat besarnya maslahat yang dia peroleh dari objek tersebut.

Sebagai contoh, pengobatan dengan khamar.Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar (minuman yang memabukkan) dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. (QS Al-Baqoroh 219)

Ketika Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang pengkonsumsian khamar maka Thoriq bin Suwaid Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Sesungguhnya aku membuatnya untuk obat”. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ، وَلَكِنَّهُ دَاء

“Sesungguhnya dia bukan obat tapi penyakit” (HR Muslim dari Wa’il bin Hujr Rodhiyallohu ‘Anhu)

Imam An-Nawawy Rahimahulloh mengatakan: “Pada hadits ini terdapat pernyataan bahwasanya khamar bukanlah obat. Maka diharamkan melakukan pengobatan dengannya karena dia bukan obat, sehingga seolah-olah penggunaannya adalah pemakaian (khomr) tanpa sebab. Inilah yang shohih di sisi ashabuna (para ulama syafi’iyyah) bahwasanya diharamkan pengobatan dengannya, demikian juga meminumnya bagi orang yang kehausan.

Adapun jika tersekat segumpal makanan di tenggorokannya, sementara dia tidak mendapatkan apa pun –selain khamar- yang bisa membantunya untuk menelannya maka dia harus meminumnya (khamar) untuk membantu menelan makanan tersebut karena terjadinya kesembuhan dengannya meyakinkan, berbeda dengan pengobatan”. [Syarh An-Nawawy ‘Ala Muslim 13/ 153]

Dengan demikian, ketika tidak ada dalil syar’i yang terkait dengan masalah imunisasi ini, maka penentuan maslahat dan mudarat kita bangun di atas percobaan orang-orang yang ahli dalam masalah ini.

Memang tidak diragukan akan ada mudarat dalam imunisasi, sebagaimana terdapat juga mudarat berupa rasa perih bagi orang yang berbekam, atau sakit perut bagi orang yang minum madu, atau gatal-gatal pada orang yang alergi obat tertentu. Namun ketika maslahatnya rojih maka syari’at membolehkannya.

Adapun dijumpainya beberapa kasus yang menyimpang dari hasil percobaan para ahli, tidak serta merta bisa dijadikan alasan pelarangannya secara keseluruhan. Bukankan kita mendengar adanya kasus kematian yang mengenaskan diawali rasa nyeri di pinggang? Bukankah kita dengar seseorang sampai lumpuh setelah melakukan pengobatan padahal awalnya cuma perut yang tidak enak?

Kalaulah kegagalan-kegagalan ataupun kekeliruan dari petugas kesehatan yang semacam ini dijadikan acuan tentu akan menutup pintu pengobatan yang mayoritasnya terbukti berhasil -dengan izin Alloh- sesuai hasil percobaan.

Dengan demikian jelaslah bagi kita kuatnya pendapat ulama yang membolehkan imunisasi, Wallohu ta’ala a’lam.

PERTIMBANGAN MASLAHAT DAN MUDARAT AKHIRAT ADALAH PERKARA YANG LEBIH UTAMA

Setelah selesai dari masalah imunisasi, sekarang pembahasan kita beralih ke kelanjutan kaidah “Jalbul Masholih wa Daf’ul Mafasid” yang sudah disinggung sebelumnya dalam rangka penyempurnaan faidah.

Ketahuilah -semoga Alloh merahmati anda-, posisi maslahat dan mudarat akhirat lebih utama sebagai bahan pertimbangan ketimbang maslahat dan mudarat dunia. Pada ayat larangan tentang khamar terlihat jelas bahwasanya berbagai manfaat kamar yang disebutkan  -baik dari sisi penggunaan maupun bisnis- tidaklah senilai dengan dosa yang diancamkan. Karena apa-apa yang kita dapatkan di akhirat tidaklah setara dengan apa yang kita temukan di dunia.

Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahulloh mengatakan: “Sesungguhnya dosa keduanya (khamar dan judi) dalam perkara agama, sementara manfaat-manfaat adalah dalam perkara dunia, dari sisi padanya terdapat manfaat bagi badan, mencerna makanan, mengeluarkan kotoran badan, menajamkan pikiran, dan kelezatan yang menyenangkan yang ada padanya …

Demikian juga dari sisi penjualannya, bisa mengambil manfaat dari harganya. Apa-apa yang dikumpulkan sebagian mereka dari perjudian bisa digunakan untuk menafkai dirinya dan kaluarganya. Akan tetapi maslahat-maslahat ini tidak menyamai mudarat dan kerusakan yang rojih, karena mudarat-mudarat tersebut terkait dengan akal dan agama”.[Tafsir Ibni Katsir]

Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Beliau -yakni ‘Umar- menulis  surat kepada Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu: “Amma ba’du, sesungguhnya orang-orang bisa keluar dari penguasanya, maka aku berlindung kepada Alloh dari tertimpanya perkara itu kepadaku dan kamu. Tegakkanlah hukum walau sejenak di siang hari. Apabila datang kepadamu dua perkara, salah satu untuk akhirat dan lainnya untuk dunia, maka utamakanlah bagianmu dari Alloh. Karena sesungguhnya dunia akan  fana dan akhirat akan tersisa”. [Ahkamu Ahlidz Dzimmah 80-81]

Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh mengatakan: “Maslahat-maslahat dan mudarat-mudarat akhirat dikedepankan dalam pertimbangan daripada maslahat-maslahat dan mudarat-mudarat dunia, menurut ijma’ (ulama). Tidak sah mempertimbangkan maslahat dunia yang meninggalkan maslahat akhirat. Dimaklumi bahwa apa-apa yang meninggalkan maslahat akhirat tidaklah mencocoki tujuan Pemilik syari’at, dan merupakan sebuah kebatilan”.[Al-Muwaafaqoot 3/94]

Al-Allamah Al-‘Izz bin ‘Abdissalam Rahimahulloh mengatakan: “Tidaklah ada kadar maslahat-maslahat dunia dan mudarat-mudaratnya dalam maslahat-maslahat akhirat dan mudarat-mudaratnya. Karena maslahat-maslahat akhirat adalah kekekalan di surga-surga, keridhoan Ar-Rohman dan melihat wajah-Nya yang mulia.Betapa hal tersebut merupakan kenikmatan yang kekal.

Sementara mudarat-mudaratnya adalah kekekalan di neraka, kemurkaan Ad-Dayyaan (salah satu dai Asmaul-Husna-pent), dan terhalangnya dari melihat wajah-Nya yang mulia. Betapa hal tersebut merupakan azab yang menyakitkan.[Qowa’idil Ahkam fi Masholihil Anam 1/8-9]

Karena itu dalam sebuah hadits disebutkan, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

يؤتى بأنعم أهل الدنيا من أهل النار يوم القيامة، فيصبغ في النار صبغة، ثم يقال: يا ابن آدم هل رأيت خيرا قط؟ هل مر بك نعيم قط؟ فيقول: لا، والله يا رب ويؤتى بأشد الناس بؤسا في الدنيا، من أهل الجنة، فيصبغ صبغة في الجنة، فيقال له: يا ابن آدم هل رأيت بؤسا قط؟ هل مر بك شدة قط؟ فيقول: لا، والله يا رب ما مر بي بؤس قط، ولا رأيت شدة قط

“Didatangkan pada hari kiamat seorang penduduk dunia yang paling mendapat kenikmatan, dan dia adalah penghuni neraka. Lantas dia dicelupkan ke neraka dengan satu kali celupan, lalu dikatakan: “Wahai anak Adam, apakah engkau pernah melihat kebaikan sedikitpun? Apakah engkau pernah melewati kenikmatan sedikitpun?”. Dia berkata: “Tidak, demi Alloh wahai Robb”.

Didatangkan seorang penduduk dunia yang paling mendapat kesengsaraan, dan dia adalah penghuni surga. Lantas dia dicelupkan ke surga dengan satu kali celupan, lalu dikatakan: “Wahai anak Adam, apakah engkau pernah melihat kesengsaraan sedikitpun? Apakah engkau pernah melewati kesempitan sedikitpun?”. Dia berkata: “Tidak, demi Alloh wahai Robb. Aku tidak pernah melewati kesempitan sedikitpun dan aku tidak pernah melihat kesengsaraan sedikitpun”. (HR Muslim dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu)

Satu kali celupan saja di neraka tidak bernilai dibandingkan dengan seluruh kenikmatan dunia, maka bagaimana jika kekal di dalamnya??

Satu kali celupan saja di surga tidak bernilai dibandingkan dengan segenap kesengsaraan dunia, maka bagaimana jika kekal di dalamnya??

BEBERAPA BENTUK KEKELIRUAN DALAM PENERAPAN KAIDAH SYAR’IYYAH YANG AGUNG INI

Kasus satu: Mengumpulkan semua maslahat sebisa mungkin:

Sebagian orang menyangka bahwa menuntut ilmu mengharuskannya untuk memutuskan tali silaturrahmi, memaksakan dirinya untuk itu bahkan sampai berdalil dengan atsar ulama yang tidak membuka surat-surat yang sampai kepadanya selama masa menuntut ilmu.

Terlebih dahulu kita katakan bahwa amalan ulama orang-perorang bukanlah dalil. Atas dalil apa anda memilih pendapat ini dan meninggalkan perkataan ulama yang lain.

Menuntut ilmu maslahatnya ditetapkan syari’at, demikian juga menyambung tali silaturrahmi dengan keluarga. Maka tuntutan pertama adalah menggabung keduanya selama hal tersebut bisa dilakukan. Menghubungi keluarga dengan telpon, surat menyurat atau berkunjung jika memungkinkan, tidaklah mengganggu menuntut ilmu demikian juga sebaliknya. Selama sesuatu amalan dikerjakan sesuai porsinya -insyaalloh- tidak ada gangguan. Gangguan hanyalah akan muncul ketika ada sikap berlebih-lebihan.

Kasus dua: Menggapai maslahat rojih:

Sebagian orang beralasan dengan kaidah ini untuk terus menerus berkecimpung dengan riba, atau bertahan di perusahaan yang mengharuskannya mencukur jenggot, ikhtilath, melalaikan sholat jama’ah, dengan alasan bahwa pekerjaannya tersebut bisa mencukupi kebutuhannya, menafkahi keluarganya dsb.

Padahal maslahat yang dicapainya itu mesti menghadapi mudarat di akhirat yang tidak ringan. Justru sebaliknya mudarat yang dia dapatkan lebih rojih dari maslahat yang dia kumpulkan. Alloh dan Rosul-Nya telah memerintahkan untuk mencari rezki dengan cara yang halal.

Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَكُنْ عَبْدٌ لَيَمُوتَ حَتَّى يَبْلُغَ آخِرَ رِزْقٍ هُوَ لَهُ، فَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، أَخْذُ الْحَلَالِ وَتَرْكُ الْحَرَام

” Janganlah kalian merasa lama datangnya rezki, karena sesungguhnya suatu jiwa tidak akan mati sampai mendapatkan akhir rezki yang telah ditetapkan baginya. Maka carilah nafkah dengan baik. Ambillah yang halal dan tinggalkanlah yan haram” (HR Al-Hakim dari Jabir Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)

Maka seharusnya dalam kondisi ini dia mesti menolak mudarat rojih, dan mencari rezki di tempat lain yang insyaalloh akan mendapatkan maslahat yang disertai keberkahan.

Kasus tiga: Menolak mudarat rojih:

Sebagian orang enggan meluangkan waktunya untuk menuntut ilmu karena khawatir luput dari pekerjaannya dan hilang masa depannya. Padahal sebagian ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu yang wajib diketahuinya, terkait dengan peribadahan yang benar kepada Robbnya ‘Azza wa Jalla.

Dia menyangka bahwa kehilangan pekerjaannya akan memudaratkannya, padahal sebaliknya Alloh telah menjanjikan maslahat yang rojih dibalik pengorbanannya, serta menjelaskan bahkan ketergantungannya tehadap dunia justeru itulah yang akan memudaratkannya.

NabiShollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits Al-Qudsi:

يقول ربكم يا ابن آدم تفرغ لعبادتى أملأ قلبك غنى وأملأ يديك رزقا يا ابن آدم لا تباعد منى فأملأ قلبك فقرا وأملأ يديك شغل

“Robb kalian mengatakan: “Wahai anak Adam. Curahkanlah (tenaga, waktu, pikiran dll) untuk beribadah kepada-Ku maka akan kupenuhkan hatimu dengan kekayaan dan tanganmu dengan rezki. Wahai anak Adam janganlah engkau menjauh dari-Ku niscaya akan kupenuhi hatimu dengan kemiskinan dan (akan kupenuhi) tanganmu dengan kesibukan” (HR Al-Hakim dari Ma’qil bin Yasar Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Muqbil dan Al-Albany)

Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من كانت الدنيا همه فرق الله عليه أمره وجعل فقره بين عينيه ولم يأته من الدنيا إلا ما كتب له. ومن كانت الآخرة نيته جمع الله له أمره . وجعل غناه في قلبه وأتته الدنيا وهي راغمة

“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-citanya maka Alloh akan mencerai berai urusannya dan menjadikan kemiskinan di depan matanya. Dan dia tidak akan didatangi kenikmatan dunia kecuali yang telah tertulis baginya. Barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai niat (tujuan)nya maka Alloh akan jadikan kekayaan di hatinya dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan rendah” (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Zaid bin Tsabit Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Muqbil dan Al-Albany)

Kasus keempat: Menolak semua mudarat sebisa mungkin:

Anda mungkin mendengar ada yang memfatwakan bolehnya membeli televisi di rumah jika khawatir anak keluyuran nonton di rumah tetangga. Alasannya mereka, memilih menempuh mudarat yang lebih rendah di antara kedua mudarat.

Siapa bilang mudarotnya lebih rendah?

Asalnya malaikat tidak mau masuk ke rumah tetangga, sekarang juga tidak mau masuk ke rumahnya.

Dahulu istrinya tidak ikut nonton, sekarang ikutan nimbrung dengan alasan mengawasi tontonan anak. Walhasil sang istri jadi kesengsem sama cowok ber-make up yang dia lihat setiap hari. Mana kecemburuanmu terhadap keluarga?

Dahulu anaknya hanya bisa nonton film kartun saja, sekarang adegan tak senonohpun mulai diserapnya.

Bukankah dia bisa mengurung anaknya di rumah, mendidiknya dengan ilmu yang bermanfaat dan mengajarkan kreativitas yang mengasah nalarnya? Seorang anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, semestinyalah orang tua yang bijak mengarahkannya ke pengetahuan yang berguna.

Bukankah dia bisa mengantarkan anaknya ke ma’had tahfizh Al-Qur’an yang terjaga dari kerusakan lingkungannya?

Bukankah anak memiliki hak dari orang tuanya untuk memberikan waktu mengayominya? Bukankah kelak anda akan dimintai pertanggung jawaban atas pembinaannya?

Sungguh syari’at ini telah terang dan nyata, hanyasaja hawa nafsu terus senantiasa berusaha memperluas kadar kekurangan kita …
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا
“Wahai Robb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami,”. (QS Ali ‘Imron 8)

سبحنك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك


Darul Hadits Dammaj- Yaman
27 Jumadits Tsany 1434