Jumat, 05 Oktober 2012

SURAT TERBUKA UNTUK PARA ORANG TUA

oleh: Abu Ja’far Al-Harits bin Dasril Al-Andalasy
–Semoga Alloh Senantiasa Mengkaruniakan Hidayah Kepadanya dan Kedua Orang Tuanya-
Darul Hadits Dammaj – Yaman
Robi’uts Tsany 1433

بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Alloh Robb semesta alam, Aku bersaksi bahwa hanya Dia-lah yang berhak diibadahi, hanya Dia yang mampu memberikan taufik kepada orang yang jujur mencari kebenaran, dan memudahkan jalan ke surga bagi orang yang menempuh jalan menuntut ilmu agama-Nya. Sesungguhnya itu adalah keutamaan Alloh, yang dianugerahkan kepada orang-orang yang Dia kehendaki.    Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Alloh dan hambanya-Nya, beliaulah yang telah menyampaikan petunjuk dari Robbnya, tidak ada yang luput dari apa yang disampaikannya. Barangsiapa yang menyelisihi sunnahnya, maka sungguh orang itu berada dalam kesesatan yang nyata. Amma ba’du,
Sungguh Alloh telah menjaga agama ini dengan memunculkan ulama-ulama Robbani yang silih-berganti mengayomi ummat, serta membangkitkan pemuda-pemuda yang bersemangat untuk menuntut ilmu agama mereka, mengambil bagian dari warisan nabi mereka. Seorang lelaki dari Madinah datang kepada Abu Darda’ Rodhiyallohu ‘Anhu, ketika itu beliau sedang berada di Damaskus. Maka Abu Darda’ berkata: “Apa yang menyebabkan kedatanganmu, wahai saudaraku ?”. Maka orang itu menjawab: “Sebuah hadits. Telah sampai kepadaku bahwa engkau menyampaikan hadits tersebut dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam”. Beliau (Abu Darda’) berkata: “Apakah engkau datang karena keperluan lain ?”. Dia menjawab: “Tidak”. Beliau berkata lagi: “”Apakah engkau datang untuk berdagang ?”. Dia menjawab: “Tidak, aku datang hanya untuk meminta hadits tersebut”. Maka Abu Darda’ berkata: “Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
من سلك طريقا يبتغي فيه علما سلك الله له طريقا إلى الجنة وإن الملائكة لتضع أجنحتها رضاء لطالب العلم وإن العالم ليستغفر له من في السموات ومن في الأرض حتى الحيتان في الماء وفضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواب إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ بحظ وافر
Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Alloh akan  memudahkannya untuk menempuh jalan ke surga. Sesungguhnya para malaikat menurunkan sayap-sayap mereka karena ridho kepada para penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang alim (orang berilmu) dimintai ampunan oleh penduduk langit dan bumi, sampai-sampai ikan yang berada di air. Keutamaan seorang alim dibandingkan seorang ‘abid (orang yang rajin ibadah tapi ilmunya kurang) adalah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Dan sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka dia telah mengambil bagian yang cukup”. (HR At-Tirmidzi, dishohihkan Imam Al-Albany)

Tentunya ilmu yang dimaksud disini bukannya ilmu keduniaan namun ilmu akhirat, ilmu agama. Inilah yang dimaksud dalam ayat-ayat dan hadits-hadits apabila disebutkan masalah ilmu.
Di masa kita ini -walhamdulillah- dakwah Salafiyyah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyebar di seluruh dunia, walau para da’i dan pengikut kelompok-kelompok sesat terus berusaha untuk menghalanginya dan berupaya menciptakan pandangan jelek bagi masyarakat terhadap dakwah yang penuh berkah ini. Mereka tidak akan sadar, bahwa upaya mereka hanya akan merugikan mereka di di dunia maupun di akhirat. Mereka tidak akan mampu menghadang dakwah, karena dakwah ini akan ada sampai hari kiamat, dan ini sudah menjadi ketetapan Alloh. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لا يزال ناس من أمتي ظاهرين حتى يأتيهم أمر الله وهم ظاهرون
Senantiasa pada umat ini, terdapat sekelompok manusia yang menegakkan syari’at, sampai (menjelang) datangnya kiamat, sementara mereka tetap dalam keadaan tersebut”. (HR Bukhory-Muslim dari Al-Mughiroh bin Syu’bah Rodhiyallohu ‘Anhu).
Dakwah yang penuh berkah ini pun mendapat sambutan dari para pemuda, sebagaimana dulu dakwahnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Imam Ibnu Katsir Rahimahulloh dalam Tafsir surat Al-Kahfi menyebutkan: “Alloh Ta’ala menyebutkan bahwa mereka adalah para pemuda, mereka lebih menerima kebenaran dan jalan mereka lebih di atas petunjuk dari pada orang-orang tua yang angkuh dan keras dalam agama kebatilan. Karena itu kebanyakan orang yang menyambut seruan Alloh dan Rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah para pemuda. Adapun orang-orang tua Quraisy, kebanyakan mereka tetap pada agama mereka, tidak masuk islam kecuali sedikit”.
Namun yang disayangkan –terlebih di zaman-zaman ini- para pemuda yang ingin meniti jalan para salafush sholih[1] justru menemui banyak penentangan. Bahkan seringnya penentangan tersebut mereka dapatkan dari orang terdekat, orang tua yang semestinya menyokong anak-anaknya untuk mempelajari agamanya, mengetahui akidah dan hukum-hukum syari’at yang benar, mengetahui kesyirikan, bid’ah dan perbuatan-perbuatan dosa agar bisa menghindarkannya. Sesuatu yang semestinya menjadi kegembiraan malah dianggap mengkhawatirkan.
Kurangnya ilmu, jauhnya dari bimbingan ulama robbany[2], banyaknya da’i-da’i gadungan, diantara faktor yang menyebabkan masyarakat merasa asing dengan agama mereka sendiri, lebih cenderung kepada orang kafir, kelompok sesat -seperti sufi, khowarij, pergerakan-pergerakan diatas semangat jauh dari ilmu semisal Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir-, atau fanatik terhadap adat istiadat, yang semua itu tercermin dalam pola-pikir, perilaku dan penampilan.
Karena itulah artikel ini ditulis, sebagai kabar gembira bagi para orang tua yang menyokong anak-anaknya yang sholih dan sholihah, sekaligus mengingatkan orang tua yang lalai dari tanggung jawabnya.
KEWAJIBAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN AGAMA  ANAK-ANAKNYA
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةُ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلِدِهِ وَهِيَ مَسْؤُوْلَةٌ عَنْهُمْ
“Seorang lelaki adalah adalah penanggung jawab atas keluarganya, dialah yang akan ditanya tentang mereka. Seorang perempuan adalah penanggung jawab atas rumah suaminya dan atas anak-anaknya, dialah yang akan ditanya tentang mereka” (HR Bukhory-Muslim dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu)
Ath-Thiby Rahimahulloh -sebagaimana dalam Tuhfatul Ahwazy- berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa penanggung jawab tidaklah dituntut secara mutlak (setiap perkara-pent), akan tetapi (yang dituntut) adalah tanggung jawab untuk menjaga apa yang disuruh Al-Malik (Yang Maha Memiliki) untuk dijaga. Maka semestinya dia hanya bertindak pada apa-apa yang diizinkan pemilik syari’at”
Orang tua merupakan penanggung jawab bagi anak-anaknya, terlebih seorang bapak yang sangat berperan dalam menafkahi keluarganya. Alloh -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Sementara kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut” (QS Al-Baqoroh Ayat 233)
Hindun Ummu Mu’awiyah datang mengadu kepada Rosululloh dan mengatakan bahwa suaminya (Abu Sufyan) adalah seorang selaki yang pelit, tidak memberi nafkah yang cukup. Maka apakah boleh baginya untuk mengambil hartanya dan izin dan tanpa diketahuinya ?. Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
“Ambillah dari hartanya sepatutnya, apa-apa yang mencukupimu dan anak-anakmu” (HR Bukhory-Muslim dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha)
Imam Ibnul Qoyyim[3] Rahimahulloh mengatakan: “Pada hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mafkah anak adalah tanggung jawab bapak yang tersendiri, ibu tidak ikut dalam tanggung jawab nafkah. Dan perkara ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama)”
Jika seorang bapak mengharapkan pahala dalam menafkahi keluarganya, sesungguhnya dia telah mengerjakan amalan yang sangat besar. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَدِينَارٌ فِي الْمَسَاكِينِ وَدِينَارٌ فِي رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ فِي أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الدِّينَارُ الَّذِي تُنْفِقُهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Dinar yang engkau nafkahkan di jalan Alloh. Dinar yang engkau nafkahkan untuk membebaskan budak. Dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu” (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Disamping kewajiban orang tua terhadap anaknya dalam nafkah jasmani, orang tua pun berkewajiban untuk memberikan nafkah rohani bagi anak-anaknya. Orang tua haruslah membimbing anaknya dalam mengenal agamanya dan mengontrol sang anak dalam amalan-amalannya. Kalau si orang tua memiliki kendala, mungkin karena kurangnya ilmu, mudah-mudahan bisa ditutupi dengan mencari pengajar yang baik bagi anaknya, pengajar yang berada di atas pemahaman yang benar, pemahaman salaf agar anaknya tidak menyimpang. Alloh Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah diri dan keluarga kalian dari api neraka” (QS At-Tahrim Ayat 6)
Syaikh Nashir As-Sa’dy Rahimahulloh dalam tafsirnya terhadap ayat ini mengatakan: “Anak-anak adalah barang wasiat di sisi kedua orang tua mereka. Maka apakah mereka akan menjalankan apa yang diwasiatkan kepada mereka, ataukah mereka akan menyia-nyiakannya sehingga mereka berhak mendapatkan ancaman dan azab”.
Kelalaian dalam menunaikan tanggung jawab tersebut bukan perkara yang sepele. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ما من عبد يسترعيه الله رعية فلم يحطها بنصحه إلا لم يجد رائحة الجنة
“Tidak seorangpun dari seorang hamba yang Alloh minta untuk menjaga yang menjadi tanggung jawabnya namun dia tidak menjaganya dengan nasehatnya, kecuali (balasannya) dia tidak mendapatkan bau surga”. (HR Bukhory-Muslim dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallohu ‘Anhu, lafazh hadits ini di Bukhory)
Maka jadilah orang tua yang baik bagi anak-anaknya baik dalam dunianya, terlebih dalam akhiratnya. Rosululloh bersabda:
خيركم خيركم لأهله
“Sebaik-baik kalian adalah sebaik-baik seseorang bagi keluarganya” (HR Tirmidzi dari ‘Aisyah, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Al-Munawy Rahimahulloh mengatakan: “Yaitu bagi istri-istri, anak-anak dan kerabatnya”. [Faidhul Qodir 3/466]
KENAPA MESTI SALAFY?
Kaum muslimin pada zaman shohabat dan zaman yang masih dekat dengan mereka, tidak memiliki penamaan tertentu yang menjadi ciri bagi mereka. Yaitu zaman sebelum munculnya perpecahan dan kelompok-kelompok dengan pemahaman baru di dalam Islam. Hal ini dikarenakan karena mereka menjalankan Islam dengan sebenarnya maka muslimin dan mukminin hakiki adalah mereka dan merekalah muslimin dan mukminin hakiki[4].  Maka setelah munculnya perpecahan dan pemahaman-pemahaman yang menyimpang, maka maka-kata muslimin dan mukminin juga mencakup Ahlul Ahwa’ (orang-orang yang berpemahaman sesat) karena cenderungnya mereka kepada hawa nafsu dalam beragama. Demikian juga mencakup Ahlul Bid’ah karena mereka mengikuti perkara-perkara baru yang berasal dari luar agama. Ahlul Syubhat juga termasuk kedalamnya, yaitu orang-orang yang menyamarkan antara kebenaran dan kebatilan sebagai pondasi bagi mereka untuk meninggalkan sunnah ketika mereka berpegang kepada dasar yang tidak jelas dan rusak.
Akibat berkembangnya orang-orang dengan menyimpang tersebut, muncullah perpecahan dan kelompok-kelompok dalam yang semuanya menyandarkan diri kepada Islam. Sehingga muncullah penamaan bagi orang-orang yang betul-betul menjalankan Islam sebagaimana jalan yang ditempuh oleh kaum pertama lagi terdahulu, untuk menunjukkan bahwa bukan mereka yang berpecah dari jalan asal dan mereka bukanlah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dalam beragama. Penamaan-penaman itu muncul baik dengan penamaan yang datang langsung dari syari’at seperti: Al-Jama’ah, Jama’atul muslimin, Firqotun Najiyyah, dan Ath-tho’ifah Al-Manshuroh. Atau penamaan itu muncul dari sisi konsistennya mereka dalam menjalankan sunnah di tengah kebid’ahan yang berkembang, dengannya mereka memiliki hubungan dengan generasi pertama lagi terdahuhu, sehingga mereka pun dinamakan kaum Salaf, Ahlul Hadits, Ahlut Atsar, Ahlus Sunnah wal Jama.ah. Penamaan-penamaan ini adalah penamaan yang syar’i berbeda dengan penamaan kelompok lainnya.[5]
Adapun salafy adalah orang-orang yang memahami Al-Qur’an dan Sunnah di atas pemahaman generasi salaf (terdahulu) tersebut. Sebagaimana dikatakan “Si A Shufy” maksudnya pengikut tarikat sufiyyah, atau “Si B Ikhwany“, maksudnya pengekor Ikhwanul Muslimin dan sebagainya.
Generasi terdahulu tersebut –yang dikenal juga dengan Salafus Sholih- adalah orang-orang yang menjalankan syari’at Islam sesuai petunjuk yang diarahkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dari kalangan shohabat, tabi’in (orang-orang yang mengambil ilmu dari para shohabat) dan Atba’ut Tabi’in (orang-orang yang mengambil ilmu dari para tabi’in).
Maka dakwah salafiyyah adalah dakwah di atas pemahaman Salafus Sholih, dakwah kepada Islam yang hakiki, yang Alloh perintahkan bagi kita untuk mengikutinya. Alloh berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
“Barangsiapa yang menyelisihi Rosul (Muhammad) setelah jelas petunjuk baginya, serta mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka Kami biarkan dia dengan (kesesatan) yang dipilihnya” (QS An-Nisa’ ayat 125)
Jalannya orang-orang beriman adalah jalannya mereka, jalannya para salafush sholih karena merekalah generasi terbaik dan cerminan umat ini. Seorang lelaki bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Siapakah sebaik-baik manusia?”. Maka beliau menjawab:
الْقَرْنُ الَّذِى أَنَا فِيهِ ثُمَّ الثَّانِى ثُمَّ الثَّالِثُ
“Kurun yang aku ada padanya, kemudian (kurun) yang kedua[6], kemudian (kurun) yang ketiga[7] (HR Muslim dari ‘Ummul Mukminin ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha)
Dalam riwayat lain, beliau bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia manusia adalah kurunku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya” (HR Bukhory-Muslim dari ‘Abdulloh bin Mas’ud, dan ‘Imron bin Husain Rodhiyallohu ‘Anhuma)
Jadi kenapa mesti salafy ?? Karena beginilah hakikat salafy
KENAPA ANEH SENDIRI?
Mungkin inilah pertanyaan yang banyak terlintas di benak orang tua: “Kenapa putraku berbeda dengan teman sebayanya, kenapa berbeda dengan orang-orang kampungnya, kenapa dia tidak mau memotong jenggotnya, tidak mau memakai pakaian di bawah mata kaki, tidak mau nonton TV, tidak mau mendengarkan musik. Kenapa putriku berhijab, berpakaian menutupi seluruh tubuhnya, kenapa tidak mau bergaul dengan sepupu laki-lakinya, tidak mau bersalaman dengan mereka, kenapa malah mengatakan ini haram … itu haram ??”.
Bahkan kenapa mereka tidak mau menghadiri acara-acara keagamaan yang sudah berkembang di masyarakat, yang digencarkan kiyai-kiyai, “Kenapa tidak mau menghadiri peringatan Maulud Nabi, Isro’ Mi’roj, dzikir bersama, kenapa malah berkata, ini bid’ah … itu bid’ah ??”.
“Kenapa mereka tidak mau dia ajak berurusan dengan dengan dukun, entah untuk berobat, mencari barang hilang, kenapa malah berkata, ini syirik … itu syirik ??”.
Sungguh mengherankan …
Ketahuilah -Wahai para orang tua yang menginginkan kebaikan bagi anak-anaknya- keasingan bukanlah tolak ukur suatu kebenaran, karena kebenaran adalah sesuatu yang dikembalikan kepada pokok-pokok syari’at, apa yang Alloh dan Rosululloh benarkan, maka itulah yang benar.
Dulu tanggapan yang sama telah terlontar dari kaum musyrikin:
وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ ¯ أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ ¯ وَانْطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَى آَلِهَتِكُمْ إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ ¯ مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآَخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ
“Mereka merasa heran ketika datang kepada mereka pemberi peringatan. Orang-orang kafir berkata: “Orang ini adalah penyihir yang pendusta. Apakah dia menginginkan sembahan (yang diibadahi) cuma satu saja ?? Sungguh ini adalah perkara yang mengherankan”. Maka pergilah para pemuka mereka mengatakan: “Berjalanlah kalian dan sabarlah dalam mengibadahi sembahan-sembahan kalian, sesungguhnya inilah yang Alloh kehendaki. Kita tidak pernah mendengar perkataan seperti ini pada agama yang terakhir. Sungguh perkara ini hanyalah sesuatu yang diada-adakan” (QS Shod Ayat 4-7)
Mereka menghukumi benar tidaknya sesuatu, dengan tingkat kecocokan yang ada pada mereka. Kalau seperti mereka berarti benar, kalau berbeda berarti sesat.
Sebagai seorang muslim hendaknya kita senantiasa berusaha untuk jujur dan obyektif dalam bersikap. Apakah kita merasa yakin bahwa komunitas yang ada sekarang berada di atas kebenaran ?? Apakah kita memiliki alasan untuk itu di depan Alloh kelak ??
Alloh bahkan telah menjelaskan bahwa mayoritas bukanlah acuan kebenaran, justru kebanyakan manusia telah hanyut mengikuti hawa nafsunya. Alloh berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُون
“Apabila engkau kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu, yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka. Mereka hanyalah membuat kebohongan” (QS Al-An’am Ayat 116)
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh dalam Miftah Daaris Sa’adah (1/ 147) mengatakan: “Jangan sampai engkau tertipu dengan apa-apa yang menipu orang-orang bodoh. Karena mereka mengatakan: “Kalau memang mereka di atas kebenaran tentulah mereka tidak menjadi kelompok manusia yang paling sedikit jumlahnya, sementara orang-orang justru menyelisihi mereka !!”. Ketahuilah merekalah yang betul-betul manusia, adapun yang menyelisihi mereka hanyalah mirip manusia, mereka bukan manusia[8]. Manusia itu hanyalah pengikut kebenaran walaupun sedikit jumlahnya. Ibnu Mas’ud mengatakan: “Janganlah seseorang diantara kalian menjadi bunglon, mengatakan: “Saya bersama orang-orang”. Hendaklah seseorang diantara kalian memutuskan untuk beriman, walau orang-orang mengingkarinya …”.
Bacalah Al-Qur’an dan hayati, bacalah Shohih Al-Bukhory, Shohih Muslim dan biografi para sahabat, maka anda akan bisa mengetahui bagaimana cara mereka berpikir, bersikap dan seperti apa penampilan mereka. Sekarang, lihatlah kondisi orang-orang yang mengikuti arus masyarakat, yang mengikuti kebanyakan orang, bandingkan dengan kondisi para sahabat, apa yang anda lihat ??
Padahal komunitas shohabat adalah komunitas yang diridhoi Alloh, dipuji Rosul-Nya, komunitas yang ada ketika turun wahyu, komunitas yang dibina oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Alloh Jalla wa ‘Ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang terdahulu yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshor, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh meridhoi mereka dan mereka pun ridho kepada Alloh. Dan Dia telah menyiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah kemenangan yang agung” (QS At-Taubah Ayat 100)
Jelaslah siapa sebenarnya yang pantas diikuti karena Alloh meridhoi orang-orang yang yang mengikuti mereka dengan baik. Terus apakah ada sesuatu yang lebih bernilai, yang memalingkan seseorang untuk menggapai ridho-Nya ??
Kalau dikatakan: “Masa mereka berbeda dengan masa kita sekarang”
Memang berbeda, dulu mereka naik unta sekarang kita naik mobil, dulu mereka mengutus orang untuk menyampaikan pesan sekarang kita tinggal menekan nomor. Tapi syari’at tetap. Islam yang dulu adalah Islam yang sekarang, karena Alloh telah menyempurnakan agama-Nya.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Aku sempunakan bagi kalian agama kalian” (Al-Ma’idah Ayat 3)
Kalau sudah sempurna berarti tidak perlu ditambah lagi, tidak adalah istilahnya agama mesti mengikuti perkembangan, tapi perkembangan itulah yang mesti ditimbang dengan syari’at. Bukanlah agama yang mengikuti adat masyarakat, tapi adatlah yang mesti disesuaikan dengan agama.
Dahulu Ma’qil bin Yasar Rodhiyallohu ‘Anhu makan siang, maka makanan yang ada ditangannya jatuh. Kemudian dia mengambilnya dan menyingkirkan yang kotor padanya, kemudian memakannya. Maka penduduk kampung (dari kalangan A’jam -bukan Arab-) saling mengisyaratkan dengan mata mereka. Orang-orang pun menyampaikan perkara tersebut kepadanya: “Apa pendapatmu tentang perkataan orang-orang A’jam itu?, mereka mengatakan: “Lihatkah pada makanan yang ada di tangannya, dan apa yang dilakukan dengan suapannya itu?”. Maka Ma’qil menjawab: “Saya tidak akan meninggalkan apa yang saya dengar dari Rosululloh gara-gara perkataan para A’jam itu. Sesungguhnya dahulu kami diperintahkan, jika terjatuh suapan salah seorang dari kami, maka dia singkirkan yang kotor padanya, kemudian dia memakannya”. (HR Ad-Darimy, dishohihkan Imam Muqbil di Jami’us Shohih)
Adapun kalau perbuatan anak anda menyelisihi para kiyai dan para da’i kebanyakan, maka itu bukanlah patokan kesalahannya. Betapa banyak orang yang mengaku berdakwah atas nama Islam, banyak metode dan beragam pemikiran.
Apakah semuanya benar ? Jawabnya: “Tidak, kebenaran hanya satu tidak berbilang”. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِه
“Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah. Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, sehingga kalian bercerai-berai dari jalan-Nya”. (QS Al-An’am Ayat 153)
Mujahid Rahimahulloh berkata: “Jalan-jalan adalah bid’ah-bid’ah dan syubhat-syubhat (kerancuan-kerancuan. Sesuatu yang dikira bisa sebagai dalil padahal tidak)”. (Atsar ini shohih, diriwayatkan Ibnu Jarir).
Keasingan kebenaran di kalangan manusia bukanlah perkara yang mustahil, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam ini mulai dalam keadaan asing, dan akan kembali asing. Maka thuba bagi orang-orang yang asing” (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Imam An-Nawawi Rahimahulloh dalam penjelasan hadits tersebut mengatakan: “Para ulama berselisih tentang makna firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala:
طُوبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآَب
“Thuba bagi mereka dan tempat kembali yang baik” (QS Ar-Ro’d Ayat 29)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhuma bahwa (thuba) maknanya adalah kegembiraan dan penyejuk mata. ‘Ikrimah mengatakan: “Kenikmatan bagi mereka”. Adh-Dhohhak mengatakan: “Kesenangan bagi mereka”. Qotadah mengatakan: “Yang terbaik bagi mereka”, juga diriwayatkan bahwa dia mengatakan: “Mereka mendapatkan kebaikan. Ibrohim mengatakan: “Kebaikan dan kemuliaan bagi mereka”. Ibnu ‘Ajlan mengatakan: “Kebaikan yang terus-menerus”. Disebutkan juga maknanya adalah sebuah pohon yang ada di surga[9]. Seluruh pendapat ini mungkin pada makna hadits ini, wallohu a’lam”.
Keasingan mereka, bukan karena mereka ingin nyentrik, ingin tampil beda, baik di sisi keyakinan ataupun amalan-amalan lahiriyah. Namun keasingan itu muncul dikarenakan mereka ingin mempertahankan agama sebagaimana yang disyari’atkan, sementara orang-orang di sekitar mereka banyak yang lalai dalam menjalankan agama mereka. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
طوبى للغرباء ، قيل : ومن الغرباء يا رسول الله ؟ قال : ناس صالحون قليل في ناس سوء كثير من يعصيهم أكثر ممن يطيعهم
“Thuba bagi orang-orang yang asing. Dikatakan kepada beliau: “Siapakah orang-orang yang asing itu, wahai Rosululloh ?”. Beliau menjawab: “Orang-orang sholih yang sedikit di kalangan orang-orang jelek yang banyak. Orang-orang yang menentang mereka lebih banyak dari yang taat (mengikuti dakwah) mereka” (HR Ibnu ‘Asakir (12/ 8/ 1) dari ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al-Ash Rodhiyallohu ‘Anhu, sebagaimana disebutkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh dalam Ash-Shohihah 1619 dan sanadnya jayyid)
Maka bersyukurlah bahwa putra Bapak dan putri Ibu, terasing karena mempertahankan agamanya, tidak hanyut dan tenggelam bersama kelalaian manusia terhadap agama mereka.
MIRIP TERORIS
Alloh Ta’ala berfirman:
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ¯ وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan sesungguhnya manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya” (QS An-Najm Ayat 38-39)
Di zaman kita sekarang ini, terorisme memang lagi berkembang. Dan yang paling tenarnya adalah para teroris yang mengatas-namakan Islam -‘Iyadzan billah-. Sebagian orang merasa senang dengan keberadaan mereka, sebagian mengatakan ini hanya sandiwara orang kafir untuk mencoreng nama islam, dan sebagian lagi merasa resah namun justru berpandangan jelek terhadap orang-orang yang konsekwen menjalankan agamanya.
Memang bukanlah sesuatu yang mustahil kalau orang-orang kafir turut berperan dalam masalah ini, namun demikian tak perlu heran dengan keberadaan kelompok seperti ini dalam Islam. Pemikiran mereka sudah muncul sejak zaman Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada orang yang bernama Dzul Khuwaisiroh, yang sembunyi-sembunyi sampai kasus pembunuhan ‘Utsman kemudian berani terang-terangan di kekholifahan ‘Ali. Mereka dikenal dengan nama Al-Khowarij, Al-Azariqoh (pengikut Nafi’ bin Al-Azroq) atau Al-Haruriyyun (nisbat kepada tempat bernama Haruro). Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhu mengisahkan:
Ketika kami bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, waktu itu beliau sedang membagi-bagi harta rampasan, Dzul Khuwaisiroh -dia adalah seorang lelaki dari Bani Tamim- mendatangi beliau, lalu berkata: “Wahai Muhammad, adillah !!”. Maka Rosululloh berkata: “Celaka engkau, siapa lagi yang bisa berbuat adil kalau aku tidak berbuat adil. Kamu gagal dan rugi kalau aku tidak berlaku adil[10]. Maka ‘Umar berkata: “Wahai Rosululloh izinkan aku untuk menebas lehernya”. Maka beliau berkata: “Biarkan dia. Sesungguhnya dia akan memiliki pengikut, yang kalian merasa sholat kalian kurang dibanding sholat mereka, puasa kalian kurang dibanding puasa mereka, mereka membaca Al-Qur’an tapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama ini sebagaimana anak panah menembus buruannya[11]. Ketika dilihat ujung besi panah, tidak didapatkan apa-apa. Kemudian ketika dilihat tangkainya, tidak didapatkan apa-apa. Lalu dilihat bulu panah, tidak didapatkan apa-apa, tidak menempel sedikitpun isi perut atau darah. Ciri-ciri mereka, terdapat seorang lelaki hitam yang salah satu lengannya seperti payudara atau seperti segumpal daging yang terayun-ayun. Mereka keluar ketika terjadi perpecahan di kalangan manusia”. Kemudian Abu Sa’id berkata: “Saya bersaksi bahwa saya mendengar hadits ini dari Rosululloh, dan saya bersaksi bahwa ‘Ali bin Abi Tholib memerangi mereka, ketika itu saya bersamanya. Lalu dia (‘Ali) meminta lelaki tersebut, maka dicari dan ditemukan, kemudian didatangkan padanya, sampai saya melihat orang tersebut dengan ciri yang disifatkan oleh Rosululloh”.  (HR Bukhory-Muslim)
Hazawwar Abu Gholib Rahimahulloh mengisahkan: “Ketika kepala-kepala pengikut Al-Azariqoh didatangkan dan ditancapkan di tangga masjid Damaskus, Abu Umamah datang. Maka air matanya menetes ketika melihat mereka, beliau berkata: “Anjing-anjing neraka -sebanyak tiga kali-. Mereka adalah sejelek-jelek korban pembunuhan di bawah kolong langit. Sementara sebaik-baik korban pembunuhan adalah yang mereka bunuh”. -Pada akhir hadits- Saya bertanya kepada Abu Umamah: “Apakan engkau mendengarnya dari Rosululloh?”. Beliau berkata: “Kalau aku tidak mendengarnya dua, tiga, empat, lima, enam atau tujuh kali, maka aku tidak akan menyampaikannya kepada kalian”. (HR Ibnu Majah dan Ahmad -lafadz ini di riwayat Ahmad-. Hadits dihasankan Imam Al-Albany Rahimahulloh)
Sa’id bin Jumhan Rahimahulloh mengisahkan: “Saya mendatangi Abdulloh bin Abi Aufa dan dia matanya telah buta, maka saya menyalaminya. Dia lantas berkata kepada saya: “Siapa kamu?”. Saya katakan: “Saya Sa’id Jumhan”. Dia berkata: “Apa yang dikerjakan bapakmu?”. Saya katakan: “Al-Azariqoh telah membunuhnya”. Dia berkata: “Semoga Alloh melaknat Al-Azariqoh, semoga Alloh melaknat Al-Azariqoh, semoga Alloh melaknat Al-Azariqoh. Rosululloh mengatakan kepadaku bahwasanya mereka adalah anjing-anjing neraka”. Saya katakan: “Al-Azariqoh saja atau khowarij seluruhnya”. Dia katakan: “Bahkan khowarij seluruhnya”. Saya katakan: “Sesungguhnya Sulthon (penguasa) menzholimi masyarakat membuat mereka menderita”. Maka dia menarik tanganku dan memegangnya dengan keras, kemudian berkata: “Celaka engkau wahai Ibnu Jumhan, wajib bagimu untuk bersama kaum muslimin. Apabila Sulthon mendengarmu, maka datangilah dia dirumahnya dan ceritakan kepadanya apa yang engkau ketahui. Itu kalau dia mau mendengar, kalau tidak maka biarkanlah dia, karena engkau tidak lebih tahu darinya”. (HR Ahmad dihasankan Imam Muqbil Rahimahulloh di Al-Jami’us Shohih)
Penyebab penyimpangan kaum ini, tidak lain disebabkan oleh penyelisihan mereka terhadap pemahaman para shohabat dan orang-orang yang konsisten berjalan di atas pemahaman mereka. Karena itulah Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu ketika mendatangi Al-Haruriyun yang tengah mengasing pada suatu tempat (Haruro) karena tidak mau tunduk kepada Amirul Mukminin ketika itu ‘Ali bin Abi Tholib, awal kalimat yang disampaikan Ibnu ‘Abbas kepada kaum Khowarij itu adalah: “Saya mendatangi kalian dari sisi para shohabat Nabi, kaum Muhajirin dan Anshor, serta dari anak paman Rosululloh sekaligus menantunya. Kepada merekalah Al-Qur’an turun[12], maka merekalah yang lebih mengetahui tentang tafsir Al-Qur’an dari pada kalian. Dan tak seorang pun dari mereka yang bersama kalian” (Diriwayatkan An-Nasa’i dalam Khosho’is Amiril Mukminin ‘Ali bin Abi Tholib, dihasankan Syaikh Muqbil Rahimahullohu Ta’ala).
Adapun penampakan mereka dengan sebagian syi’ar-syi’ar kaum muslimin seperti membiarkan jenggot, memakai jubah atau pakaian di atas mata kaki, tidak cukup menjadi alasan bagi kita untuk meninggalkannya atau menuduh orang yang seperti itu sama dengan mereka. Bukankah diantara pelaku pemboman untuk ada yang berdagu licin dan berstelan necis?.
Para teroris yang mengatas-namakan Islam tersebut bergerak di atas pemahaman dan keyakinan baru yang mereka munculkan. Mereka berjalan dengan dugaan dan persangkaan, sebagaimana halnya kebanyakan orang, bukan di atas ilmu dan pemahaman yang benar terhadap Kitab Alloh dan Sunnah Nabi-Nya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَاب
“Apakah orang-orang yang mengetahui apa yang diturunkan oleh Robbmu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta ? sesungguhnya orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran” (QS Ar-Ro’d Ayat 19)
Imam Asy-Syinqithy Rahimahulloh mengatakan dalam tafsirnya Adhwa’ul Bayan: “Tidak diragukan bahwa orang yang dibutakan penglihatannya dari cahaya, bertindak serampangan dalam kegelapan. Barangsiapa yang tidak Alloh berikan cahaya, maka tidak akan ada cahaya baginya. Dengan ini kamu –Wahai muslim yang berpikiran objektif- mengetahui bahwasanya wajib bagimu untuk bersungguh-sungguh dan berusaha keras dalam mempelajari Kitabulloh dan sunnah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan cara yang bermanfaat dan membuahkan hasil. Kemudian engkau beramal dengan ilmu yang Alloh berikan kepadamu dengan amalan yang benar”.
Orang berakal adalah orang yang bisa menempatkan akalnya pada tempatnya, tidak disetir emosi, perasaan atau semangat yang membabi buta. Akal dipakai untuk memahami dalil bukan untuk menghakimi dalil. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا ¯ أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
“Apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sembahannya, maukah kamu menjadi pelindungnya ? Ataukah kamu mengira bahwa mereka mendengar dan berakal ? Mereka itu hanyalah seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat” (QS Al-Furqon Ayat 43-44)
Imam Ibnu Katsir Rahimahulloh mengatakan dalam tafsirnya: “Maksudnya, setiap kali dia melihat baik pada sesuatu dan dia memandang itu adalah cocok dengan keinginannya maka itu menjadi agama dan mazhabnya”
Perlu diketahui, bahwa Islam tidak pernah mengajarkan bom bunuh diri. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Janganlah kalian membunuh diri-diri kalian. Sungguh Alloh adalah Rohiim (Maha Pemberi rahmat) bagi kalian” (QS An-Nisa’ Ayat 29)
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كان فيمن كان قبلكم رجل به جرح فجزع فأخذ سكينا فحز بها يده فما رقأ الدم حتى مات قال الله تعالى بادرني عبدي بنفسه حرمت عليه الجنة صحيح مسلم
“Dahulu terdapat seorang lelaki pada zaman orang-orang sebelum kalian, dia memiliki luka dan tidak bisa sabar menahan sakitnya. Maka dia mengambil pisau dan memotong tangannya, darah terus mengucur sampai dia mati. Alloh Ta’ala mengatakan: Hambaku tergesa-gesa menginginkan kematiannya”. (HR Bukhory dan Jundab bin ‘Abdillah Al-Bajali Rodhiyallohu ‘Anhu)
Dan beliau juga bersabda:
مَنَ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِى يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بِهَا فِى بَطْنِهِ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ شَرِبَ سَمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَحَسَّاهُ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَرَدَّى فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sebilah besi, maka besinya itu berada ditangannya menusuk perutnya di api neraka kekal di dalamnya selamanya. Barangsiapa yang meminum racun sehingga membunuh dirinya maka dia akan meminumnya di api neraka kekal di dalamnya selamanya. Barang siapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung sehingga membunuh dirinya maka dia akan menjatuhkan dirinya di api neraka kekal di dalamnya selamanya”. (HR Bukhory Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu ,dan ini adalah lafazh di riwayat Muslim)
Penumpahan darah tanpa hak adalah perkara besar yang diharamkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Alloh berfirman:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُون
“Katakanlah (wahai Muhammad): Marilah aku bacakan apa yang diharamkan oleh Robb kalian atas kalian. Janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Berbuat baiklah kepada ibu-bapak janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena miskin, Kamilah yang memberi rezki kalian dan mereka. Janganlah kalian mendekati perbuatan keji baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Janganlah kalian membunuh orang yang diharamkan Alloh kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia wasiatkan kalian, agar kalian mengetahui” (QS Al-An’am Ayat 151)
Kaum muslimin baik itu para pelaku maksiat, demikian juga dengan orang-orang kafir yang dilindungi pemerintah muslim atau orang-orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin, tidak diperkenankan syari’at untuk dibunuh. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَهُ عَلِيمًا حَكِيمًا ¯ وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Tidak boleh bagi seorang mukmin membunuh mukmin yang lain kecuali tanpa unsur kesengajaan. Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin tanpa sengaja maka wajib baginya memerdekakan budak yang beriman, serta membayar diyat (tebusan) yang diserahkan kepada keluarga korban kecuali jika pihak keluarga tersebut membebaskan pembayaran. Apabila yang terbunuh adalah orang beriman yang berasal dari kaum yang memusuhi kalian maka bebaskanlah seorang budak yang beriman. Apabila yang terbunuh berasal dari kaum kafir yang terikat perjanjian damai dengan kalian, maka bayarlah diyat (tebusan) yang diserahkan kepada keluarga korban serta bebaskanlah seorang budak yang beriman. Barangsiapa yang tidak mendapatkan budak, maka berpuasalah selama dua bulan berturut-turut sebagai tobatmu kepada Alloh. Alloh ‘Aliim  (Yang Maha Mengetahui) lagi Hakiim (Yang Maha Bijaksana). Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka ancaman balasannya adalah jahannam kekal di dalamnya. Alloh murka padanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya” (QS An-Nisa’ 92-93)
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencaci seorang muslim adalah perbuatan kefasikan sementara membunuhnya adalah perbuatan kekafiran”. (HR Bukhory-Muslim  dari ‘Abdulloh bin Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
من قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها توجد من مسيرة أربعين عاما
“Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang terikat perjanjian (dilindungi pemerintah) maka dia tidak akan mencium bau syurga. Sesungguhnya bau syurga bisa bisa disapatkan dari tarak empat puluh tahun perjalanan”.(HR Bukhory dari ‘Abdulloh bin ‘Amr Rodiyallohu ‘Anhu)
Islam tidak juga mengajarkan berbagai bentuk pemberontakan terhadap pemimpin yang masih muslim. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Alloh, dan taatilah rosu serta pemegang urusan dari kalangan kalian. Apabila kalian berselisih maka kembalikanlah perkara yang diperselisihkan itu kepada Alloh dan rosul-Nya apabila kalian beriman kepada Alloh dan Hari Akhir. Yang demikian lebih utama dan lebih baik akibatnya”. (QS An-Nisa’ 59)
Yang dimaksud dengan pemegang urusan adalah para pemerintah kaum muslimin dan para ulama. Kewajiban dalam mentaati mereka adalah dalam perkara kebaikan yang kembali ke Al-Quran dan sunnah di atas pemahaman salaf.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَة
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk mendengar dan taat (kepada pemimpin) walaupun dia seorang hamba dari Habasyah (Ethiopia). Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup, akan melihat –sepeninggalku- pereselisihan yang banyak. Baka wajib bagi kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rosyidin yang diberi petunjuk sepeninggalku. Gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan geraham balian. Menjauhlah dari perkara-perkara baru (dalam agama) karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah sesat”. (HR Ahmad, dari ‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil)
Hudzaifah Ibnul Yaman Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadanya:
يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ
“Akan terdapat –sepeninggalku- pemimpin-pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku. Pada mereka terdapat sekelompok lelaki yang hati-hati mereka seperti hati para setan dalam jasad manusia”.
Hudzaifah berkata: “Apa yang aku perbuat wahai Rosululloh jika aku menjumpai hal yang demikian?”. Beliau mengatakan:
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Engkau mendengar dan taat (selama tidak dalam kemaksiatan kepada Alloh) kepada pemimpin. Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, mendengar dan taatlah”. (HR Muslim)
Adapun dalil-dalil yang dibawakan para teroris tersebut untuk mendukung perbuatan anarkis tersebut, tak lain hanyalah penempatan dalil selain dari tempatnya yang disebabkan pemahaman mereka yang menyimpang. Karena kaum salaf tidak ada yang berpemahaman dan berbuat demikian sementara di zaman mereka banyak orang-orang kafir maupun para pelaku maksiat yang tinggal di negara Islam, sebagaimana juga ditemukan para pemimpin yang zholim.
Karena itu satu-satunya cara untuk mendeteksi apakah putera bapak atau putri ibu telah terseret ke dalam jaringan mereka atau kelompok menyimpang yang lain, adalah dengan mempelajari jalannya para Salaf dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah. Karena dengan mengetahui jalan mereka, bisa dikenal jalan-jalan selain mereka.
KERAS DAN KASAR
Kesan ini terkadang didapatkan beberapa orang tua dari anaknya yang baru mengenal dakwah salafiyyah, sehingga mereka pun membangun penilaian mereka terhadap dakwah yang penuh berkah ini, diatas dasar kesalahan yang diperbuat oleh anak mereka.
Memang jiwa muda gampang panas, terlebih jika itu disertai dengan kedangkalan ilmu, dan semangat ingkar mungkar yang menggebu-gebu. Namun itu bukanlah alasan yang membolehkan mereka untuk bersifat keras dan kasar apalagi kepada kedua orang tuanya, yang salah tetaplah salah.
Islam mengajarkan dan menekankan bahwasanya berbakti dan berlaku baik kepada kedua orang tua merupakan perkara penting yang wajib ditunaikan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Robb kalian telah memerintahkan agar kalian jangan beribadah kecuali kepada-Nya, dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua” (QS Al-Isro’ Ayat 23)
Maka ketika Rosululloh mengabarkan tentang dosa-dosa paling besar, beliau menyebutkan:
الإشراك بالله وعقوق الوالدين …
“Menyekutukan Alloh, durhaka kepada orang tua, …” (HR Bukhory dari Abu Bakroh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Makanya tidak ada alasan bagi si anak untuk berbuat jelek kepada salah satu dari kedua orang tuanya, bahkan walau anak itu berada di atas kebenaran. Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang wasiat Luqman kepada anaknya:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Apabila mereka berdua memaksamu untuk menyekutukan-Ku dengan sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka jangan kamu menaati mereka dan pergauilah mereka di dunia dengan baik” (QS Luqman Ayat 15)
Yang jelas kesalahan tak bisa diabaikan namun tidak bisa pula diarahkan kepada yang lain. Anak bersalah dengan kekasarannya, tapi dakwah salafiyyah yang dipelajarinya tidak bisa disalahkan karena memang tidak ada yang mengajarkannya untuk berbuat itu.
Namun anak tetaplah anak, mereka memiliki hak dari orang tuanya, tentunya nasehat yang sesuai dengan syari’at. Terkadang sesuatu yang dianggap nasehat oleh seseorang, pada hakikatnya bukanlah nasehat. Kebenaran nasehat mesti ditinjau dari kecocokannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Kalau semua yang mengaku sebagai pemberi nasehat bisa diterima, terus bagaimana dengan yang dikatakan Syaithon ketika membujuk Adam dan Hawa ??
إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِين
“Sesungguhnya aku hanyalah diantara penasehat bagi kalian” (QS Al-A’rof Ayat 21)
Karena itulah sebagai orang tua, semestinya anda pun menimba ilmu syar’i, sehingga anda bisa mengetahui apa yang sedang dipelajari anak anda. Apakah dia betul-betul salah, atau memang anda yang tidak mengetahui. Jangan sampai ketika anda menyuruhnya untuk meneruskan pendidikan di sekolah campur lelaki dan perempuan, kemudian si anak tidak mau, terus anda mencap dia tidak patuh, semakin dikerasi dia pun semakin ngotot sehingga anda merasa tidak dihormati, merasa dikasari.
Tanya dulu si anak tentang alasannya ketika menolak permintaan, karena memang tidak semua permintaan orang tua bisa dituruti. Tidak ada ketaatan kepada orang tua jika mereka memerintahkan untuk berbuat maksiat dan itu justru merupakan bentuk berbaktinya seorang anak kepada orang tuanya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Telah Kami wasiatkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Apabila mereka berdua memaksamu untuk menyekutukan-Ku dengan sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka jangan kamu menaati mereka. Kepada-Kulah kalian dikembalikan dan akan Kukabarkan kepada kalian apa-apa yang telah kalian lakuan” (QS Al-Ankabut 8)
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
لا طاعة في المعصية إنما الطاعة في المعروف
“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, ketaatan hanyalah pada perkara ma’ruf (kebajikan)”. (HR Bukhory-Muslim dari ‘Ali bin Abi Tholib Rodhiyallohu ‘Anhu)
MENGENYAMPINGKAN DUNIA?
Sebagian orang tua mengeluhkan. “Anakku sibuk ngaji terus, sekolah diabaikan … kuliahnya ditelantarkan …”
Wahai para orang tua yang semoga senantiasa dilimpahkan hidayah oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya kehidupan dunia hanya sekejap mata, kita semua akan menghadapi kehidupan yang kekal yang tiada akhirnya.  Akankah kita berupaya keras  untuk mendapatkan segala yang ada di dunia ataukah kita bersungguh-sungguh mempersiapkan bekal untuk menjawab pertanggung-jawaban kita??
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ ¯ وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ
Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata: Seandainya kita memperoleh seperti yang diberikan kepada Qorun, sesungguhnya dia memperoleh keberuntungan yang besar. Sementara orang-orang berilmu berkata: Celaka kalian, pahala Alloh lebih baik bagi orang yang beriman dan beramal sholih, yang pahala itu hanya didapatkan oleh orang yang sabar”. (QS Al-Qoshos 79-80)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ¯ وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Apabila sholat telah ditunaikan, maka menyebarlah kalian di muka bumi, carilah karunia Alloh dan banyaklah dzikrulloh agar kalian beruntung. Apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, maka mereka segera menuju kepadanya meninggalkanmu (Muhammad) berdiri (berkhuthbah). Katakanlah (Wahai Muhammad): “Apa yang ada di sisi Alloh lebih baik dari permainan dan perniagaan, Allohlah sebaik-baik pemberi rezki” (QS Al-Jumu’ah Ayat 10-11)
Memang Alloh membolehkan manusia untuk berusaha di muka bumi mencari karunia-Nya bahkan Alloh memang menciptakan apa-apa yang ada di bumi bagi manusia, akan tetapi bersamaan dengan itu Alloh juga menjelaskan bahwa mengharap pahala di sisi-Nya lebih utama dari itu semua.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ ¯ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ¯ يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Wahai orang-orang yang beriman, maukah kalian Kutunjukkan kepada sebuah perdagangan yang dapat menyelamatkan kalian dari azab yang pedih ? Yaitu: kalian beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya, serta berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian. Itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Niscaya Alloh akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, serta memasukkan kalian ke tempat-tempat tinggal yang baik di syurga ‘Adn. Itulah kemenangan yang agung” (QS Ash-Shof Ayat 10-12)
Perlu dihayati, bahwasanya dalam ayat-ayat ini Alloh menyebutkan salah satu amalan besar yang bisa menyelamatkan seseorang dari azab yang pedih, Alloh menyebutkan jihad, sesuatu yang mesti ditempuh dengan mengorbankan dunia, baik jiwa, harta atau tenaga, sesuatu yang berat bagi manusia kecuali bagi orang-orang yang Alloh rahmati dan Dia beri petunjuk. Dianugerahkannya kedudukan yang tinggi bagi orang-orang yang jihad walau dengan mengorbankan dunia menunjukkan bahwa dunia tidak ada apa-apanya dibanding menjalankan ketaatan kepada Alloh.
Aslam Abu ‘Imron Rodhiyallohu ‘Anhu mengisahkan ketika mereka berperang dari Madinah menuju Konstantinopel, di dalam rombongan mereka terdapat ‘Abdurrohman bin Kholid bin Walid. Ketika itu pasukan Romawi berlindung dengan menempelkan punggung-punggung mereka di pagar Madinah. Maka seorang lelaki (dari kaum muslimin) maju menerobos musuh, sehingga orang-orang mengatakan: “Apa-apaan ini, Laa ilaha illalloh dia telah melemparkan dirinya sendiri kepada kebinasaan”. Maka Abu Ayyub Al-Anshori mengatakan: “Sesungguhnya ayat ini turun kepada kami orang-orang Anshor. Ketika Alloh menolong Nabi-Nya dan Islam berjaya, kami berkata: “Ayo kita mengurus harta-harta kita dan mengelolanya”. Maka Alloh Ta’ala menurunkan:
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Berinfaklah kalian di jalan Alloh dan janganlah kalian melemparkan diri sendiri kepada kebinasaan” (QS Al-Baqoroh Ayat 195)
Maka pelemparan diri sendiri kepada kebinasaan adalah kita mengurus harta-harta kita, mengelolanya dan meninggalkan jihad”. Abu ‘Imron mengatakan: “Abu Ayyub terus-terusan berjihad di jalan Alloh sampai dia dimakamkan di Konstantinopel”. (HR Abu Daud dan At-Tirmidzy dishohihkan Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil Rahimahumalloh Ta’ala).
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ  فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ
“Demi Alloh, tidaklah dunia jika dibandingkan dengan akhirat melainkan sebagaimana seseorang diantara kalian memasukkan jarinya ke dalam laut, maka lihat seberapa air yang dia dapatkan” (HR Muslim dari hadits Al-Mustaurid bin Syaddad Rodhiyallohu ‘Anhu)
Dari Jabir bin ‘Abdillah Rodhiyallohu ‘Anhu, beliau mengisahkan:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ بِالسُّوقِ دَاخِلاً مِنْ بَعْضِ الْعَالِيَةِ وَالنَّاسُ كَنَفَتَهُ فَمَرَّ بِجَدْىٍ أَسَكَّ مَيِّتٍ فَتَنَاوَلَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِهِ ثُمَّ قَالَ « أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ ». فَقَالُوا مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَىْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ قَالَ « أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ ». قَالُوا وَاللهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ « فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ »
Bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewati pasar. Beliau masuk dari arah dataran tinggi Madinah sementara orang-orang berada di kiri-kanannya. Kemudian beliau melewati bangkai anak kambing yang terpotong telinganya. Beliau lantas menarik telinga kambing tesebut lalu berkata: “Siapa diantara kalian yang mau membeli ini dengan satu dirham”. Maka orang-orang menjawab: “Kami tidak mau menghargainya dengan apapun, apa yang akan kami perbuat dengannya?”. Beliau berkata: “Apa kalian mau ini untuk kalian?”. Mereka menjawab: “Demi Alloh, seandainya anak kambing ini masih hidup maka itu adalah cacat baginya, makabagaimana kalau sudah jadi bangkai ?”. Maka beliau mengatakan: “Demi Alloh, sesungguhnya dunia di sisi Alloh lebih hina daripada (hinanya bangkai anak kambing) ini di sisi kalian” (HR Muslim)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah memuji orang-orang yang lebih mengedepankan perkara akhirat ketimbang dunia. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ ¯ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ ¯ لِيَجْزِيَهُمُ اللهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Di rumah-rumah (masjid) yang telah diperintahkan Alloh untuk dimuliakan dan nama-nama-Nya disebut, serta bertasbih untuk-Nya di pagi dan petang. (Yaitu oleh) orang-orang yang tidak dilalaikan perdagangan dan jual beli dari mengingat Alloh, melaksanakan sholat dan menunaikan zakat. Mereka orang-orang yang takut kepada hari yang hati-hati dan penglihatan menjadi goncang (Hari Kiamat)” (QS An-Nur Ayat 36-38)
Yakinlah atas apa yang Alloh janjikan, dan sadarilah bahwa semua yang kita peroleh di dunia tidak lepas dari kekuasaan Alloh, kita hanya satu dari sekian makhluk yang berada dalam pengaturan-Nya. Ingatlah bahwasanya kita memiliki kewajiban-kewajiban sebagai seorang hamba. Janganlah demi kenikmatan sejenak menimbulkan penyesalan yang tidak berguna. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعْدَ اللهِ لَا يُخْلِفُ اللهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ¯ يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ ¯ أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ مَا خَلَقَ اللهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ ¯ أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَأَثَارُوا الْأَرْضَ وَعَمَرُوهَا أَكْثَرَ مِمَّا عَمَرُوهَا وَجَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا كَانَ اللهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ ¯ ثُمَّ كَانَ عَاقِبَةَ الَّذِينَ أَسَاءُوا السُّوأَى أَنْ كَذَّبُوا بِآَيَاتِ اللهِ وَكَانُوا بِهَا يَسْتَهْزِئُونَ ¯ اللهُ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“(Itulah) janji Alloh, Alloh tidak akan menyalahi janjinya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka mengetahui apa yang tampak dari kehidupan dunia sementara mereka lalai dari kehidupan akhirat. Mengapa mereka tidak memikirkan diri mereka sendiri ? Alloh tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada diantara keduanya kecuali dengan tujuan yang benar dan sampai waktu yang ditentukan (hari kiamat). Sesungguhnya banyak diantara manusia yang benar-benar mengingkari pertemuan dengan Robbnya. Tidakkah mereka bepergian di muka bumi kemudian melihat kesudahan orang-orang yang sebelum mereka ?. Orang-orang itu lebih kuat dari mereka. Orang-orang tersebut telah mengolah bumi dan memakmurkannya melebihi apa yang telah mereka makmurkan. Telah datang kepada mereka para Rosul yang membawa bukti-bukti yang jelas. Alloh sama sekali tidak menzholimi mereka, akan tetapi merekalah yang menzholimi diri mereka sendiri. Kemudia azab yang buruk adalah kesudahan bagi orang-orang yang berbuat kejahatan, karena mereka mendustakan ayat-ayat Alloh dan selalu memperolok-olokkannya. Allohlah yang memulai penciptaan makhluk lalu mengulanginya kembali, kemudian kepada-Nyalah kalian akan dikembalikan”. (QS Ar-Rum 6-11)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا وَمَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى أَفَلَا تَعْقِلُونَ ¯ أَفَمَنْ وَعَدْنَاهُ وَعْدًا حَسَنًا فَهُوَ لَاقِيهِ كَمَنْ مَتَّعْنَاهُ مَتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ هُوَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْمُحْضَرِين
“Apa saja yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan hidup duniawi dan perhiasannya, sedang apa-apa yang di sisi Alloh lebih baik dan lebih kekal. Tidakkah kalian mengerti ?. Maka apakah sama antara orang yang Kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) lalu dia memperolehnya, dengan orang yang Kami berikan kepadanya kesenangan hidup duniawi kemudian pada hari kiamat dia termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka) ?” (QS Al-Qoshosh Ayat 60-61)
Alloh juga telah menyebutkan bahwa menghabiskan diri untuk dunia dan melalaikan akhirat adalah sifat orang-orang kafir. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ هَؤُلَاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلًا
“Sesungguhnya mereka mencintai dunia dan meninggalkan Hari yang berat (kiamat) di belakang mereka” (QS Al-Insan Ayat 27)
Maka sudah semestinya bagi seorang muslim untuk memikirkan apa yang dia perbuat di dunia, karena dunia adalah tempat beramal. Kelak akan datang hari perhitungan tidak ada kesempatan lagi baginya untuk beramal. Janganlah dunia menjadi penghalang bagi dirinya untuk memperoleh ketenangan di akhirat, janganlah dunia menjadi sebab baginya untuk menghalangi orang mendapatkan kebaikan karena itu akan membahayakan dirinya kelak. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اللهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَوَيْلٌ لِلْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيدٍ ¯ الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآَخِرَةِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجًا أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ بَعِيدٍ
“Alloh yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Celakalah bagi orang-orang yang ingkar, bagi mereka azab yang pedih. Orang-orang yang lebih mencintai kehidupan dunia ketimbang akhirat, dan menghalang-halangi dari jalan ‘Alloh serta mengharapkan jalan kebenaran menjadi bengkok (sehingga tidak diikuti). Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh” (QS Ibrohim Ayat 2-3)
Kondisi yang bapak dapatkan pada putra bapak, atau yang ibu temukan pada putri ibu sesungguhnya adalah sebuah tanda kebaikan bagi mereka. Karena ilmu bagi pecintanya dan kenikmatan dunia bagi penggilanya adalah dua perkara yang tidak ditemui batasannya. Karenanya orang yang mencintai dunia tidak akan merasa cukup dengan apa yang diperolehnya sebagaimana orang yang menginginkan ilmu akhirat juga tidak akan puas dengan apa yang diperoleh karena ilmu adalah penuntun amalan-amalannya dalam mendekatkan diri kepada Robb-Nya. sebagaimana sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
مَنْهُوْمَانِ لَا يَشْبَعَانِ مَنْهُوْمٌ فِي عِلْمٍ لَا يَشْبَعُ وَمَنْهُوْمٌ فِي دُنْيَا لَا يَشْبَعُ
“Dua keinginan yang (seseorang) tidak pernah merasa puas. Keinginan terhadap ilmu tidak akan puas dan keinginan terhadap dunia tidak akan puas” (HR Ibnu ‘Adi (dari Anas Rodhiyallohu ‘Anhu) dan Al-Bazzar (dari Ibnu ‘Abbas  Rodhiyallohu ‘Anhuma) dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
Keduanya akan saling tolak-menolak di hati seorang hamba, tinggal hamba memilih jalannya dan menentukan kecenderungannya. Namun beruntunglah orang-orang yang menjadikan perhatiannya dan kecendrungannya kepada ilmu agamanya, karena itu alamat kebaikan yang diinginkan Alloh baginya.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من يُرِدِ اللُه بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Alloh inginkan kebaikan maka Alloh akan memahamkannya tentang agama ini” (HR Bukhory-Muslim dari Mu’awiyah Rodhiyallohu ‘Anhu)
Dan ilmu tentunya bisa didapatkan dengan mempelajarinya. Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إنما العلم بالتعلم
“Ilmu itu hanya didapatkan dengan mempelajarinya” (HR Al-Khotib dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu, dihasankan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
MASA DEPAN SURAM?
Mungkin masih tersisa di benak sebagian orang, kalau anak saya belajar agama, dia mau jadi apa ? mau makan apa ? bagaimana masa depannya ??
Ingatlah bahwa Alloh menciptakan kita di dunia ini adalah untuk mengesakan-Nya dalam peribadahan:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ¯ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ ¯ إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengesakan-Ku. Aku tidak menginginkan rezki dari mereka dan Aku tidak ingin diberimakan. Sesungguhnya Alloh adalah Ar-Rozzaq (Yang Maha Pemberi Rezki) yang memiliki kekuatan yang sangat kukuh” (QS Adz-Dzariyat Ayat 56)
Setelah menyebutkan tujuan penciptaan manusia, Alloh menyebutkan masalah rezki, yang menunjukkan bahwa peribadatan tidak akan mengurangi rezki seseorang karena dia mengibadahi Ar-Rozzaq (Dzat Yang Maha Pemberi Rezki). Rezki tiap-tiap orang telah ditentukan sebelum dia dilahirkan, dan seseorang tidak akan menjumpai ajalnya sebelum jatahnya di dunia didapatkannya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِين
Tidak satupun makhluk yang bergerak (bernyawa) di bumi kecuali rizkinya dijamin oleh Alloh. Dia mengetahui tempat tinggal dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis pada Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh)” (QS Hud Ayat 6)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيم
“Berapa banyak makhluk bergerak (bernyawa) yang tidak mampu mengusahakan rezkinya sendiri. Allohlah yang memberi rezki kepadanya dan kepada kalian, Dialah As-Sami’ (Dzat Yang Maha Mendengar) dan Al-Alim (Dzat Yang Maha mengetahui)” (QS Al-Ankabut Ayat 60)
Imam Ibnu Katsir Rahimahulloh menyebutkan dalam tafsirnya:
وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ
“Maksudnya: tidak mampu mengumpulkan, memperoleh dan menyimpan untuk esok.
اللهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ
Maksudnya: Dialah yang menakdirkan rizki bagi makhluk tersebut bersamaan dengan kelemahannya, Dia memudahkan rizki itu baginya, maka Alloh mengutus kepada makhluk berupa rizki yang bermanfaat baginya, sampai-sampai semut kecil muka bumi, burung di angkasa dan ikan di air”.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن أحدكم يجمع في بطن أمه أربعين يوما ثم يكون علقة مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك ثم يبعث الله ملكا فيؤمر بأربع كلمات ويقال له اكتب عمله ورزقه وأجله وشقي أم سعيد ثم ينفخ فيه الروح
“Sesungguhnya salah seorang dari kalia dikumpulkan dalam perut ibunya dalam empat puluh hari. Kemudian menjadi segumpal darah selama (empat puluh hari) itu juga. Kemudian menjadi segumpal daging selama (empat puluh hari) itu juga. Lalu diutus malaikan dan diperintahkan dengan empat kalimat (perkara). Dikatakan kepadanya (malaikat): “Tulislah amalannya, rezkinya, ajalnya, dan kesengsaraan atau kebahagiannya”. Kemudian ditiupkan ruh kepadanya” (HR Bukhory dari Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لو أن ابن آدم هرب من رزقه كما يهرب من الموت لأدركه رزقه كما يدركه الموت
“Seandainya anak Adam lari dari rezkinya sebagaimana larinya dia dari kematian, niscaya rezki rezki itu akan mendatanginya sebagaimana kematian akan mendatanginya” (HR Abu Nu’aim di Al-Hilyah dan Ibnu ‘Asakir dari Jabir Rodhiyallohu ‘Anhu, dihasankan Syaikh Al-Albany)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
إن روح القدس نفث في روعي : إن نفسا لا تموت حتى تستكمل رزقها فاتقوا الله وأجملوا في الطلب ولا يحملنكم استبطاء الرزق أن تطلبوه بمعاصي الله
“Sesungguhnya Rohul Qudus (Jibril), membisikkan ke hatiku: “Sesungguhnya jiwa tidak akan mati sampai dia menyempurnakan rezkinya”. Maka bertakwalah kalian kepada Alloh dan carilah nafkah dengan baik. Janganlah rasa lama datangnya rezki menyebabkan kalian mencarinya dengat kemaksiatan kepada Alloh” (HR Al-Hakim dari Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Al-Albany dengan penguat dari hari yang lain)
Karena itu jugalah, tidak ada pertentangan antara dalil-dalil yang menganjurkan seorang mukmin untuk fokus terhadap perkara agamanya, dengan dalil-dalil yang berisi anjuran untuk mencari rezki yang halal, karena seorang mukmin mencari penghidupan adalah untuk menunaikan apa-apa yang diwajibkan baginya dan menyokong peribadahannya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Seorang mukmin hanya menjalankan sebab-sebab yang halal untuk mencapai rezki yang Alloh turunkan karena Alloh menyuruh manusia untuk menempuh sebab-sebab itu dan Dialah yang akan memberikan rizki kepada hamba-Nya.
Banyak orang yang tidak menyadari bahwasanya beribadah kepada Alloh, menjalankan ketaatan kepadanya dan menuntut ilmu agama-Nya, adalah sebab Alloh turunkan rizki kepada hamba-Nya walaupun bentuk datangnya rezki tersebut di luar dari dugaan hamba.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ¯ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Alloh maka Alloh akan memberikannya jalan keluar dan Dia akan memberikannya rezki dari arah yang tidak dia sangka-sangka. Barangsiapa yang bertawakkal kepada Alloh maka Alloh akan mencukupkannya. Sesungguhnya Alloh melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Alloh telah menetapkan kadar bagi setiap sesuatu” (QS At-Tholaq Ayat 2-3)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من كانت الدنيا همه فرق الله عليه أمره وجعل فقره بين عينيه ولم يأته من الدنيا إلا ماكتب له . ومن كانت الآخرة نيته جمع الله له أمره . وجعل غناه في قلبه وأتته الدنيا وهي راغمة
“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-citanya maka Alloh akan mencerai berai urusannya dan menjadikan kemiskinan di depan matanya. Dan dia tidak akan didatangi kenikmatan dunia kecuali yang telah tertulis baginya. Barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai niat (tujuan)nya maka Alloh akan jadikan kekayaan di hatinya dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan rendah” (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Zaid bin Tsabit Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Muqbil dan Al-Albany)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda dalam sebuah hadits Al-Qudsi:
يقول ربكم يا ابن آدم تفرغ لعبادتى أملأ قلبك غنى وأملأ يديك رزقا يا ابن آدم لا تباعد منى فأملأ قلبك فقرا وأملأ يديك شغل
“Robb kalian mengatakan: “Wahai anak Adam. Curahkanlah (tenaga, waktu, pikiran dll) untuk beribadah kepada-Ku maka akan kupenuhkan hatimu dengan kekayaan dan tanganmu dengan rezki. Wahai anak Adam janganlah engkau menjauh dari-Ku niscaya akan kupenuhi hatimu dengan kemiskinan dan tanganmu dengan kesibukan” (HR Al-Hakim dari Ma’qil bin Yasar Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Muqbil dan Al-Albany)
ada yang mengatakan bahwa banyak orang yang belajar agama susah hidupnya …
Saudaraku seislam. Apakah orang yang menghabiskan waktunya membanting tulang siang dan malam untuk menggapai dunia mereka hidup dalam kelapangan?? Bahkan kebanyakan diantara mereka sudah hidupnya dan gelisah pikirannya …
Saudaraku seislam. Kemiskinan bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kekayaan bukanlah sesuatu yang terpuji. Kehinaan adalah kelalaian hamba dari akhiratnya, ketundukannya kepada dunianya. Keterpujian adalah keseriusan seorang hamba akan perkara akhiratnya, entah itu Alloh sertakan dengan kemiskinan atau dengan kekayaan. Persaingan dalam perkara akhirat adalah sebab kebahagiaan sementara persaingan dalam perkara dunia adalah sebab kebinasaan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ¯ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ¯ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Bersegeralah kepada ampunan dari Robb kalian, dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang telah dipersiapkan bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang berinfak di saat lapang meupun sempit, menahan kemarahan serta memaafkan kesalahan orang lain. Alloh mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. Demikian juga orang-orang yang apabila mereka melakukan perbuatan keji atau menzholimi diri sendiri, mereka segera mengingat Alloh, siapa lagi yang mengampuni dosa kecuali Alloh. Mereka tidak mau meneruskan perbuatan dosanya ketika mereka mengetahui” (QS Ali ‘Imron Ayat 133-135)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آَمَنُوا بِاللهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيم
“Berlombalah kepada ampunan dari Robb kalian, dan surga yang luasnya seperti luas langit dan bumi yang telah dipersiapkan bagi orang-orang yang beiman kepada Alloh dan Rosul-Nya. Itulah keutamaan Alloh yang Dia berikan bagi orang-orang yang Dia kehendaki. Alloh adalah pemilik kemuliaan yang agung” (QS A-Hadid ayat 21)
Suatu hari Abu ‘Ubaidah Rodhiyallahu ‘Anhu kembali dari Bahrain membahwa harta jizyah (upeti yang mesti diserahkan penduduk kafir ke pemerintah muslim) yang melimpah untuk diserahkan kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Dia akhir kisah, beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لا الفقر أخشى عليكم ولكن أخشى عليكم أن تبسط عليكم الدنيا كما بسطت على من كان قبلكم فتنافسوها كما تنافسوها وتهلككم كما أهلكتهم
“Bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan pada kalian. Namun yang aku khawatirkan adalah dibentangkannya dunia bagi kalian sebagaimana dibentangkan bagi orang-orang sebelum kalian, maka kalian bersaing untuk dunia sebagaimana mereka bersaing. Sehingga dunia membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka” (HR Bukhori Muslim dari ‘Amr bin ‘Auf Rodhiyallohu ‘Anhu)
Rosululloh hamba yang paling mulia di sisi-Nya ditakdirkan hidup dalam kekurangan. Demikian juga dengan mayoritas para shohabatnya yang mulia. Walaupun diantara mereka ada yang dikaruniakan kelapangan yang jelas tidak ada diantara mereka yang disibukkan dari peribadatan mereka kepada Alloh bahkan mereka saling berlomba untuk mencapai keridhoan Alloh dan memanfaatkan kelapangan yang dikaruniakan sebagai sarana untuk menunjang akhirat mereka.
Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu mengisahkan, bahwa orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin datang mengadu kepada Rosululloh. Mereka mengatakan: “Orang-orang yang kaya telah membawa (memborong) posisi-posisi yang tinggi dan kenikmatan yang abadi”. Rosululloh bertanya: “Bagaimana bisa begitu?”. Mereka menjawab: “Mereka mengerjakan sholat  sebagaimana kami mengerjakan sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami juga berpuasa, mereka memiliki kelebihan harta yang dengannya mereka bisa menunaikan haji, umroh, dinafkahkan untuk jihad dan sedekah” (HR Bukhory-Muslim)
Lihatlah bagaimana cara berpikir orang-orang yang paling mulia dari umat ini. Mereka tidak mengeluhkan kemiskinan yang menimpa mereka akan tetapi mereka mengeluhkan keterbatasan amalan mereka dibanding saudara-saudara mereka yang berkecukupan. Lihat juga bagaimana orang-orang yang berkecukupan di kalangan mereka, mereka berlomba-lomba untuk mencurahkannya dalam peribadatannya kepada Alloh, dunia tidak melalaikan mereka dari akhirat.
‘Umar bin Al-Khottob Rodhiyallohu ‘Anhu mengisahkan: “Suatu hari, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kami untuk bersedekah. Hal itu pas ketika aku memiliki harta. Maka aku berkata (di dalam hati): “Aku mengungguli Abu Bakr jika aku bisa mengunggulinya hari ini”, maka akupun datang dengan membawa setengah hartaku. Rosululloh lantas berkata: “Apa yang kamu sisakan bagi keluargamu ?”. Aku menjawab: “Semisalnya”. Kemudian Abu Bakr datang dengan semua yang ada padanya. Rosululloh lantas berkata: “Apa yang kamu sisakan bagi keluargamu ?”. Dia menjawab: “Aku meninggalkan bagi mereka Alloh dan Rosul-Nya”. Aku berkata (di dalam hati): “Aku tidak akan bisa mengunggulimu dalam perkara apapun”. (HR Abu Daud dihasankan Syaikh Muqbil).
Maka wahai saudaraku seiman kalau kita tidak mampu menyamai mereka, setidaknya kita berusaha untuk mendekati, meneladani mereka semampu kita. Jangan dunia dijadikan alasan berlambat-lambat untuk mempersiapkan akhirat bahkan sesungguhnya dunialah yang akan dipertanggung-jawabkan. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لا تزول قدما ابن آدم يوم القيامة من عند ربه حتى يسأل عن خمس : عن عمره فيما أفناه و عن شبابه فيما أبلاه و ماله من أين اكتسبه و فيما أنفقه و ماذا عمل فيما علم
“Tidak akan bergerak kedua kaki seorang anak Adam dari sisi Robbnya pada hari kiamat, sampai dia diatanya tentang lima perkara: (Dia akan ditanya) tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa dia hilangkan, tentang hartanya dari mana dia dapatkan dan kepada dia pergunakan, serta ditanya apa amalan yang dikerjakan pada perkara-perkara yang dia memiliki ilmu tentangnya” (HR At-Tirmidzi, Abu Ya’la, Ath-Thorony dan lainnya dari Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu dishohihkan Syaikh Al-Albany)
BAROMETER KEBENARAN
Kebenaran mesti ada standarnya, mesti ada patokannya, kalau tidak semua orang bakal berbicara, menilai dan bertindak sekehendaknya. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لاَدَّعَى نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ وَأَمْوَالَهُمْ
“Seandainya manusia diberi dengan pengakuan-pengakuan mereka, tentulah setiap orang akan mengklaim darah suatu kaum dan harta-harta mereka.” (HR. Bukhory-Muslim dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu)
Alloh telah menunjukkan mana jalan yang lurus lagi benar yang tidak boleh diselisihi:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
“Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Robb kalian” (QS Al-A’raf 3)
Alloh Ta’ala berfirman:
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“Alloh telah menurunkan kepadamu wahai Muhammad, Al-Kitab (al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah), serta telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Karunia yang Alloh limpahkan kepadamu itu sangat besar”. (QS An-Nisa’ 113)
Dia Subhanahu wa Ta’ala juga mengatakan:
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيم
“Sesungguhnya engkau wahai Muhammad adalah petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS Asy-Syuro 52)
Alloh mengatakan:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa yang menentang rosul (Muhammad) setelah datang petunjuk kepadanya, serta mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka kami biarkan kemana dia berpaling kemudian kami masukkan dia ke dalam neraka jahannam, dan itu adalah sejelek-jelek tempat kembali”. (QS An-Nisa’ 115)
Jelaslah sudah bahwa patokan kebenaran adalah: “Ilmu di atas Al-Quran, As-Sunnah di atas pemahaman As-Salafush Sholih.”
Karena itulah Alloh menjanjikan kebahagiaan bagi orang yang berjalan dengan patokan itu:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang terdahulu yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshor, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh meridhoi mereka dan mereka pun ridho kepada Alloh. Dan Dia telah menyiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah kemenangan yang agung” (QS At-Taubah Ayat 100)
Kebenaran itu didapatkan dengan dipelajari kepada sumbernya, orang-orang yang mengkaitkan dirinya dengan patokan tersebut, bukan orang-orang yang hanyut dengan perasaannya dan merasa kagum dengan akal-akalannya.
ANAK SHOLEH TABUNGAN AKHIRAT
Pada asalnya seorang anak adalah sebuah nikmat, anugrah dan karunia dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Dia berfirman:
وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً
“Alloh menjadikan bagi kalian pasangan dari jenis kalian sendiri, serta menjadikan bagimu anak dan cucu dari pasanganmu itu”. (QS An-Nahl 72)
Alloh berfirman:
﴿يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُور﴾ [الشورى : 49]
“Dia memberikan anak perempuan kepada yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-lak kepada yang dia kehendaki”.(QS Asy-Syuro 49)
Di sisi lain, keberadaan seorang anak adalah cobaan yang Alloh ciptakan bagi kedua orang tuaya. Alloh berfirman:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيم
“Harta-harta dan anak-anak kalian hanyalah ujian bagi kalian. Dan Alloh hanya di sisi-Nyalah balasan yang agung” (QS At-Taghobun Ayat 15)
Pada ayat yang mulia ini Alloh memerintahkan manusia untuk mengetahui bahwa harta-harta dan anak-anak mereka adalah cobaan yang dengannya mereka akan diuji. Akankan harta dan anak menjadi sebab jatuhnya mereka ke dalam perkara yang tidak Alloh ridhoi? Sebagaimana Alloh juga menyebutkan pasangan-pasangan hidup merupakan fitnah di tempat-tempat yang lain di dalam Al-Qur’an.[13]
Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa sebagian anak bakal menjadi musuh bagi orang tuanya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
‘Wahai orang-orang yang beriman. Sesungguhnya diantara pasangan hidup dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka. Apabila kalian memaafkan, menyantuni dan mengampuni mereka maka sungguh Alloh adalah Al-Ghofuur (Dzat Yang Maha Pengampun) dan Ar-Rohiim (Dzat Yang Maha Pemberi Rahmat)” (QS AT-Taghobun Ayat 14)
Imam Al-Qurthuby Rahimahulloh dalam tafsirnya menyebutkan bahwa tidak ada perselisihan di kalangan ulama terdahulu bahwa ayat ini turun kepada sekolompok orang yang baru masuk Islam namun mereka terlambat hijroh ke Madinah akibat halangan dari anak-anak mereka.
Kisah turunnya ayat ini diawali ketika sekompok orang-orang Makkah yang baru masuk Islam ingin mengunjungi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Akan tetapi istri-istri dan anak-anak mereka tidak mau membiarkan mereka mendatangi beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ketika mereka sampai kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, melihat orang-orang dan memahami agama mereka, mereka pun berkeinginan untuk (kembali) menghukum istri-istri dan anak-anak mereka. Maka turunlah ayat tersebut (HR Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu, dihasankan Syaikh Al-Albany)
Adapun anak yang sholeh maka dia adalah penyejuk mata kedua orang tuanya di dunia dan di akhirat. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ أَنَّى لِي هَذِهِ فَيَقُولُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sungguh Alloh ‘Azza wa Jalla akan mengangkat derajat seorang yang sholeh di surga. Maka dia berkata: “Wahai Robb, bagaimana bisa aku memperoleh (kedudukan) ini?”. Maka Alloh berkata: “Karena permintaan ampun anakmu untukmu” (HR Ahmad dari Abu Hurairoh, sanadnya Hasan)
Seorang hamba apabila meninggal maka dia akan terputus dari amalannya, kecuali jika amal tersebut tetap ada dan berlanjut setelah meninggalnya. Sementara keberadaan anak di dunia ini adalah disebabkan adanya usaha dari kedua orang tuanya. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
أطيب ما أكلتم من كسبكم وإن أولادكم من كسبكم
“Sebaik-baik apa yang kalian makan adalah dari usaha kalian. Sesungguhnya ana-anak kalian adalah termasuk usaha kalian”. (HR Ibnu Majah dari ‘Aisyah, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Karena itulah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه
“Apabila seorang manusia meninggal maka amalannya akan terputus kecuali dari tiga perkara: sedekahnya yang terus berjalan (yang masih dimanfaatkan setelah meninggalnya), ilmu yang dimanfaatkan dan anak sholih yang mendo’akannya”. (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Maka dari itu bersemangatlah wahai para orang tua untuk mendidik anaknya menjadi anak yang sholih dan menyokong mereka untuk itu. Sungguh ini adalah usaha yang paling berprospek dan paling menguntungkan bagi kalian.
سبحنك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

[1] Orang-orang yang menjalankan Al-Qur’an dan sunnah secara murni pada tiga kurun pertama yaitu para shohabat, kemudian generasi setelah mereka (Tabi’in), kemudian generasi setelah mereka (Atba’ut Tabiin). Ketiga generasi ini dipuji oleh Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam. Akan datang dalil-dalilnya insya Alloh.
[2] Yang benar-benar memiliki ilmu dan mengamalkannya, sehingga bisa mengayomi umat sesuai kondisi mereka.
[3] Zaadul Ma’ad 5/502
[4] Alloh Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ آَوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيم
“Orang-orang yang beriman, berhijroh dan berjihad di jalan Alloh, serta orang-orang yang memberi tempat kediaman dan perlindungan (kepada Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka mendapatkan ampunan dan rezki yang mulia”. (QS Al-Anfal ayat 74)
[5] Lihat Hukmul Intima’ hal 40-41/ Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahulloh
[6] Yaitu murid-muridnya para shohabat (Tabi’in)
[7] Yaitu murid-muridnya para tabi’in (Atba’ut Tabi’in). Ketiga generasi inilah yang dikenal dengan Salafus Sholih
[8] Tentunya tidak dipahami bahwa beliau bermaksud mengkhususkan kata manusia hanya bagi pengikut kebenaran, namun ungkapan ini hanya untuk menunjukkan bahwa manusia yang hakiki adalah pengikut kebenaran karena sebab itulah mereka diciptakan. Wallahu A’lam
[9] Dalil yang mendukung pendapat ini adalah sabda Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam:
طوبى شجرة في الجنة
“Thuba adalah sebuah pohon di surga” (HR Ahmad dari Abu Sa’id Al-Khudry, Syaikh Al-Albany di Ash-Shohihah menyebutkan bahwa  sanadnya Shohih ligairih)
[10] yakni: Karena kamu berkeyakinan menjadi pengikut orang yang seperti ini sifatnya.
[11] yakni: meluncur begitu saja tanpa membawa apa-apa karena cepatnya.
[12] Lewan lisan Nabi-Nya Sholallohu ‘alaihi wa Sallam
[13] Lihat Tafsir Adhwa’ul Bayan fi Iidhohil Qur’an bil Qur’an/ Imam Asy-Syinqithi Rahimahulloh

Sumber lihat di sini