Ditulis
oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy
بسم
الله الرحمن الرحيم
إن
الحمد لله نستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن
محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Sebelum
masuk ke permasalahan[1],
kita mulai dengan sebuah kaidah yang sering dipergunakan ulama, yang sebenarnya
kaidah tersebut berkaitan dengan kaidah Al-Yaqiin Laa Yazuulu Bisy Syakk
(yang telah lewat pembahasannya)[2].
Syaikh
As-Sa’dy Rahimahulloh[3]
menyebutkan salah satu bentuk penerapan kaidah (diatas): “Hukum asal (pada
pembebanan syari’at-pent) adalah penafian (ketiadaan) hukum-hukum atas para mukallaf
(orang yang baligh dan berakal) sampai datangnya sesuatu yang menjadi dalil
atas penyelisihan hukum asal”.
Penjelasan: Pada asalnya aktivitas yang
dilakukan manusia boleh-boleh saja, tidak ada tuntutan baginya untuk
mengerjakan atau meninggalkan sampai ada dalil yang mengatur perbuatan
tersebut.
Kaidah
ini dikenal ulama dengan nama Ishtishabul ‘Adamil Ashly atau Al-Baro’atul
Ashliyyah. Inilah kaidah yang bersinggungan dengan pembahasan kita, dan
kaidah ini disepakati oleh seluruh Ahlus Sunnah.[4]
LATAR
BELAKANG PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA:
Pembahasan
hukum wanita haid dan orang yang junub, dalam beberapa perkara sering digabungkan
oleh para ulama. Diantara penyebabnya karena permasalan tersebut berkaitan
dengan faktor yang sama yang ada pada kedua perkara tersebut, misalnya karena
pembahasan berhubungan dengan hadats besar, mandi wajib, atau ada dalil yang
sama menyebutkan perkara tersebut.
Dalam
permasalahan ini terdapat hadits ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha. Kisahnya
bahwa rumah-rumah sahabat yang berada di dekat Masjid Nabawy, seluruhnya
pintu–pintu langsung ke masjid. Maka –dalam hadits tersebut- Rosululloh Sholallohu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَجِّهُوا
هَذِهِ البُيُوتِ عَنْ المَسْجِدِ فإِنِّي لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ
وَلاَ جُنُب
“Ubahlah
arah rumah-rumah ini dari Masjid. Saya tidak menghalalkan masjid bagi (wanita)
haid, tidak pula bagi (orang yang) junub”
(HR Abu Daud). Namun hadits ini dho’if. Hadits ini didho’ifkan
para imam diantaranya: Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhory, Al-Baihaqy, Ibnu Hazm,
Al-Albany dan selain mereka[5]
Rahimahumulloh.
Juga
ada hadits lain dari Abu S’aid Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwa Rosululloh Sholallohu
‘Alaihi wa Sallam berkata kepada ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu:
يا
علي لا يحل لأحد يجنب في هذا المسجد غير وغيرك
“Wahai
‘Ali, tidak halal bagi seorangpun yang junub di masjid ini kecuali saya dan
kamu” (HR Tirmidzi) Namun hadits juga dho’if[6].
Perkara
lain yang menyebabkan terjadinya khilaf dalam masalah ini adalah
pemahaman ulama tentang firman Alloh Ta’ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى
حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى
تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا
“Wahai
orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati sholat sementara kalian
dalam keadaan mabuk, dan jangan pula[7]
dalam keadaan junub kecuali kalian dalam keadaan safar, sebelum kamu mandi. Adapun
jika kalian sakit, sedang dalam perjalanan, sehabis buang air, setelah buang
air atau setelah menjima’i perempuan, sementara kalian tidak mendapatkan air
maka bertayamumlah” (QS An-Nisa’ 43)
Terjadi
perbedaan pemahaman dalam tafsir ayat ini:
- Tentang makna لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ
Sekelompok
ulama berpendapat maksud sholat disini adalah makna sholat yang dipahami
dalam syari’at (yaitu ibadah sholat sebagaimana dimaklumi kaum muslimin).
Sehingga maknanya: Jangan kalian mengerjakan sholat.
Sementara
kelompok yang lain, ada yang memahami bahwa maksud sholat disini adalah sholat
dan tempatnya (masjid). Sehingga: Jangan kalian mengerjakan sholat dan
jangan mendekati mesjid. Dalil mereka:
وَلَوْلَا
دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ
وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللهِ كَثِيرًا
“Kalaulah
Alloh tidak menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah
dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, tempat-tempat ibadah Yahudi dan
masjid-masjid yang didalamnya banyak di sebut nama Alloh” (QS Al-Hajj 40)
﴿صَلَوَاتٌ﴾adalah
jamak (bentuk plural) dari sholat. Sementara jelas makna yang dinginkan
disini adalah tempat, yaitu tempat ibadah Yahudi[8].
- Tentang makna عَابِرِي سَبِيلٍ
Sekelompok
ulama berpendapat maksudnya adalah musafir yang junub. Terdapat atsar
shohih[9]
dari ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu bahwa ayat ini turun pada musafir yang
junub. Juga shohih[10]
dari Ibnu ‘Abbas. Demikian pula atsar shohih[11]
dari Sa’id bin Jubair (tabi’iy) bahwa beliau menafsirkannya dengan
musafir.
Sementara
kelompok yang lain, memahami bahwa maksudnya adalah orang yang junub yang
sekedar lewat dalam mesjid tanpa bermasuk duduk. Diantara dalil yang mereka
bawakan:
- Riwayat Yazid bin Abi ‘Ubaid Rahimahulloh, dimana beliau menyebutkan bahwa ayat ini turun pada sekelompok shohabat Anshor yang junub. Mereka tidak bisa mengambil air kecuali harus melewati masjid karena pintu-pintu rumah mereka langsung ke masjid. Namun kisah Asbabun Nuzul (sebab turun ayat) ini sanadnya dho’if[12].
- Atsar Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu bahwa beliau memberi keringanan bagi orang yang junub untuk sekedar lewat dalam masjid, kemudian beliau berdalil dengan ayat. Atsar ini sanadnya dho’if[13].
- Tafsir Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu tentang ayat tersebut: “Sekedar melintas tidak duduk”. Atsar ini sanadnya dho’if[14].
- Tafsir Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu tentang ayat tersebut: “Sekedar melintas tidak duduk”. Atsar ini sanadnya dho’if[15].
KESIMPULAN
PERSELISIHAN MAKNA AYAT:
Dari
dalil-dalil dan kaidah yang telah disebutkan, nampak bagi kita bahwa yang rajih
adalah pendapat yang mengatakan bahwa pada firman Alloh
لَا
تَقْرَبُوا الصَّلَاة
yang
dimaksud adalah sholat sebagaimana yang kita kenal (yaitu ibadah yang diawali
dengan Takbiratul Ihrom dan diakhiri dengan salam). Karena pada hukum
asalnya kita memahami makna sholat sesuai dengan istilah yang diinginkan syari’at,
dan kita tidak berpaling dari makna itu sampai ada dalil yang jelas dan tegas
yang mengharuskan kita untuk berpindah ke makna yang lain.
Adapun
masalah makna musafir, maka dalil-dalilnya jelas. Wallohu A’lam
MASALAH
DAN JAWABANNYA:
- Jika ada mengatakan: “Dipahami dari ayat (dengan pendapat yang dirajihkan ini): “Janganlah kalian sholat sementara kalian dalam keadaan junub sampai kalian mandi, kecuali jika kalian dalam keadaan safar tidak punya air maka tayamumlah untuk sholat”. Mengisyaratkan bahwa tidak boleh bagi orang yang mukim untuk tayammum, kalau tidak maka pengecualian musafir disini tidak ada manfaatnya. Dan pembedaan hukum tayammum bagi musafir dan orang yang menetap jelas keliru, karena ‘illah (hikmah bolehnya) tayammum adalah ketiadaan air atau ketidak mampuan penggunaan air.” Maka dijawab: “Pengkhususan penyebutan musafir dalam pengecualian karena pada safar terdapat dugaan kuat untuk tidak memiliki air[16], yakni penyebutan musafir adalah karena seringnya begitu, bukan untuk meniadakan hukum tayamum bagi orang yang menetap”.[17]
- Bagi yang berpendapat bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah larangan untuk masuk masjid kecuali bagi yang sekedar lewat di dalam masjid atau musafir.
Maka
jika dicermati dalil-dalil lain dalam masalah ini, sesungguhnya larangan
tersebut tidaklah sampai kepada tingkat pengharaman. Diantara dalil-dalil yang
bisa kami datangkan:
- Duduknya orang musyrik di dalam masjid. Dimaklumi bahwa orang kafir thoharoh dari hadats besar tidak diterima. Seperti kisah Jubair bin Muth’im Ridhiyallahu ‘Anhu ketika masih musyrik (dia merupakan tawanan perang Badar). Beliau mendengar Rosululloh membaca surat Thur di dalam masjid sehingga masuklah keimanan di hatinya. (HR Bukhory-Muslim)
- Kisah Tsumamah bin Utsal Rodhiyallohu ‘Anhu (sebelum masuk Islam), dia diikat di masjid selama dua hari. (HR Bukhory-Muslim dari Abu Hurairoh).
- Banyaknya shohabat yang tinggal dan tidur di masjid, sementara tidur adalah kondisi dugaan terjadinya junub (karena mimpi basah). Bersamaan dengan banyaknya jumlah mereka tidak dinukilkan jika mereka mimpi basah langsung keluar. Diantaranya Ashabush Shuffah (sekitar tujuh puluh orang) yang masyhur disebabkan mereka muhajirin tidak memiliki rumah (HR Bukhory dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)[18].
- Tidurnya Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu di masjid (HR Bukhory), karena dia bujang, tidak punya tempat berlindung sampai dia menikah.
- Tidurnya ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu di masjid (HR Bukhory-Muslim), karena ada masalah di rumah dengan Fathimah.
- Tinggalnya seorang shohabiyyah yang miskin (dulunya seorang hamba) di masjid (HR Bukhory). Terlebih lagi seorang wanita mengalami siklus haid, tidak didapatkan dalil bahwa Rosululloh melarangnya tinggal di masjid[19] atau menyuruhya keluar dari masjid dalam masa haidnya itu.
- Duduknya para shohabat di masjid dalam keadaan junub tanpa pengingkaran. Diantaranya atsar shohih[20] dari ‘Atho’ bin Yasar (ulama Tabi’i) Rahimahulloh mengatakan: Saya melihat para laki-laki dari shahabat Rosululloh duduk di mesjid dalam keadaan junub, apabila mereka berwudhu’ sebagaimana wudhu’untuk sholat[21]“
- Demikian juga atsar dari Zaid bin Aslam
Sehingga
menurut pendapat ini (yang menetapkan larangan) maka larangan tersebut jatuhnya
kederajat makruh, dan makruh hukumnya mubah (boleh) jika adah hajah (keperluan)
Wallohu A’lam.
KESIMPULAN
YANG TERPILIH:
Tidak
mengapa bagi wanita yang haid atau orang yang junub untuk duduk di mesjid,
terlebih jika dia memiliki keperluan untuk itu. Dikarenakan belum didapatkannya
dalil yang jelas dan tegas akan keharamannya, sehingga mesti tetap berada pada
hukum asal (mubah), sebagaimana kaidah terdahulu: Al-Baro’atul Ashliyyah[22].
Diantara
ulama terdahulu yang berpendapat dengan pendapat ini: Al-Muzany, Daud Azh-Zhohiry, Ibnul Mundzir, Abu Hamid
Asy-Syafi’i menyebutkan bahwa ini adalah pendapat Zaid bin Aslam Rahimahumullloh.
Diantara
ulama sekarang yang berpendapat dengan pendapat ini: Syaikh Al-Albany, Syaikh Muqbil Rahimahumalloh serta
beberapa Masyayikh kami (diantaranya: Syaikh Yahya, Muhammad bin Hizam dan
‘Abdulloh Iryani Hafizhohumulloh) juga merojihkan pendapat ini.
Inilah
yang saya pahami dalam masalah ini. Wallohu A’lam bishshowwab
(29 Jumadil Ula 1433)
[1]
Untuk melihat dalil-dalil yang lengkap masing-masing mazhab, lihat Al-Faidh
karya Syaikh ‘Abdulloh Al-Iryany Hafizhohulloh.Adapun yang disebutkan di
si ni adalah dalil-dalil yang langsung mengarah ke inti permasalahan.
[2]
Pada artikel: “RAGU-RAGU DALAM IBADAH DAN SOLUSINYA”
[3]
Manzhumah Qowa’idil Fiqhiyyah
[4]
Dinukilkan Imam Al ‘Ala’iy di Al-Majmu’ul Madzhab (1/305-306)
[5]
Termasuk Syaikhuna Yahya Al-Hajuri dan Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Hafizhohumalloh.
Karena yang meriwayatkan lafazh ini –dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha-
adalah Jasroh binti Dajajah dia majhulatul hal (termasuk jenis dho’if
yang ringan). Dan dia telah menyelisihi ‘Urwah bin Az-Zubair, dan ‘Abbad bin
‘Abdulloh Rahimahumalloh. Keduanya tsiqoh meriwayatkan kisah
tersebut dari ‘Aisyah tanpa menyebutkan lafazh yang disebutkan Jarsoh. Keduanya
meriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam
mengatakan: “Tutuplah pintu-pintu ini kecuali pintu Abu Bakr” (lihat Dho’if Abi
Daud-Al-Umm 1/187 karya Syaikh Al-Albany, Fathul ‘Allaam 1/326 karya Syaikhuna
Muhammad bin ‘Ali bin Hizam)
[6]
Pada rantai periwayatannya (sanad) terdapat Salim bin Abi Hafshoh dan
‘Athiyyah Al-’Aufy. Keduanya dho’if jiddan (termasuk tingkatan dho’if
yang paling parah). Keduanya juga syi’ah, sehingga mereka tertuduh dalam
kekeliruan hadits ini (sebagaimana disebutkan Imam An-Nawawy di Majmu’ Syarhul
Muhadzdzab 2/165). Hadits ini juga diriwayatkan Al-Bazzar dari jalur Khorijah
bin sa’ad, sementara Khorijah majhul (termasuk tingkatan dho’if).
[7]
Di sebagian terjemahan Al-Qur’an: ” … jangan pula (kamu hampiri masjid
ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja sebelum
kamu mandi …”
[8]
Lihat Ni’matul Mannan karya Syaikhuna Abu ‘Amr Al-Hajury Hafizhohulloh
[9]
HR Baihaqy dan Ibnu Jarir (dengan dua jalan)
[10]
Diriwayatkan Ibnu Mundzir di Al-Awsath (2/108) dan Ibnu Jarir di Tafsirnya
(7/50)
[11]
Tafsir Ath-Thobary. Atsar ini dishohihkan Syaikhuna ‘Abdulloh Iryani Hafizhohulloh
[12]
Diriwayatkan dalam tafsir Ath-Thobary. Yazid Rahimahulloh seorang
tabi’iy, tidak hadir ketika ayat ini turun, dan dia tidak menukilkannya dari
shohabat yang menghadiri. Periwayatan seperti ini dikenal dengan mursal.
[13]
Diriwayatkan ‘Abdur Rozzaq dalam Mushonnafnya (1/412). Atsar ini munqothi’,
pada sanadnya terdapat Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdillah bin Mas’ud dari
bapaknya (yaitu Ibnu Mas’ud). Imam At-Tirmizi, Ibnu Hibban dan Abu Hatim
menyebutkan bahwa Abu ‘Ubaidah tidak pernah mendengar dari bapaknya. (lihat
Tahdzibut-Tahdzib)
[14]
Diriwayatkan Al-Baihaqy di As-Sunanul Qubro (2/443). Pada sanadnya
terdapat Al-Hasan bin Abi Ja’far Al-Azdy dan Ibnu Qois Salim Al-Ulawy, keduanya
dho’if (lihat Tahdzibut-Tahdzib)
[15]
Diriwayatkan Al-Baihaqy di As-Sunanul Qubro (2/443). Pada sanadnya
terdapat Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan, dho’if (lihat
Tahdzibut-Tahdzib)
[16]
Sebagaimana dibolehkannya bagi musafir untuk membatalkan puasa, mengqoshor
sholat, meninggalkan sholat jama’ah dan jum’at, dengan sebab bahwa pada safar terdapat
dugaan kuat adanya kesulitan dan kesusahan yang berarti.
[17]
Inilah jawaban penjelasan yang diberikan Syaikhuna Muhammad bin Hizam Hafizhohulloh.
[18]
Diantaranya kisah Tholhah Rodhiyallohu ‘Anhu bersama seorang shohabat
yang lain ketika hijroh ke Madinah mereka tinggal di Shuffah (HR Ahmad.
Hadits ini di Jami’ush Shohih, karya Syaikh Muqbil Rahimahulloh)
[19]
Lihat Al-Muhalla (1/401) karya Ibnu Hazm.
[20]
Diriwayatkan di Sunan Sa’id bin Manshur sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir pada
tafsir ayat (terdahulu).
[21]
Ini dalil bagi pendapat bagi yang menetapkan sunnatnya wudhu’ bagi orang junub
untuk duduk di mesjid. Adapun mensyaratkan, maka tidak bisa diambil hukum dari
atsar tersebut karena sebatas perbuatan tidak bisa memberi hukum wajib.
Sementara
bagi wanita haid (ketika ana tanyakan ke Syaikh Muhammad Hizam) beliau
menjawab: “Tidak disunnahkan wudhu’ karena tidak ada dalil dan salafnya”. Wallohu
A’lam
[22]
Imam Nawawy Rahimahulloh dalam Al-Majmu’ (2/154) mengatakan: “Sisi
paling bagus yang dikedepankan mazhab ini (yaitu yang berpendapat bolehnya
duduk di masjid secara mutlak-pent) adalah bahwa hukum asalnya tidak ada keharaman,
dan tidak ada bagi yang mengharamkan dalil yang shohih lagi tegas”.