Jumat, 06 Juli 2012

Hukum Perayaan Malam Nishfu Sya’ban [Fatwa Syaikh Ibnu Baz –Rohimahulloh-]

Diterjemahkan Oleh: Abu Zakaria Irham Al-Jawiy

Semoga Alloh Menjaganya
Darul Hadits, Ahad 11 Sya’ban 1433
بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
إِنَّ الحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهِ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أما بعد:
Malam pertengahan bulan Sya’ban atau yang lebih dikenal dengan malam Nishfu Sya’ban, tidaklah ada bedanya dengan malam-malam lainnya. Namun tatkala banyak muncul kegiatan-kegiatan tertentu pada malam tersebut, bahkan diadakan perayaan serta ibadah khusus padanya, dituntut seorang muslim untuk mengetahui hukum Alloh dan Rosul-Nya tentang semua perkara tersebut, sehingga dia berjalan di atas ilmu dan kebenaran dalam bertindak, bukan sekedar ikut-ikutan tanpa tahu apakah benar atau tidak.

Oleh Karena itu, berikut ini kami kutipkan fatwa resmi dari imam yang sudah tidak diragukan lagi keilmuannya; Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –Rohimahulloh- tentang hukum perayaan malam Nishfu Sya’ban, baik dengan mengkhususkan sholat malam padanya, atau puasa pada siangnya, atau amalan-amalan lainnya yang sering dijumpai dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, baik di negeri kita maupun yang lainnya. Semoga tulisan ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Nasalullohat Taufiq wal Hidayah.

Berkata Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –Rohimahulloh-
الحمد لله الذي أكمل لنا الدين، وأتم علينا النعمة،
والصلاة والسلام على نبيه ورسوله محمد نبي التوبة والرحمة .
أما بعد :
Alloh telah berfirman:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام ديناً

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (Al Maidah: 3)
Alloh juga telah berfirman:
أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syuro: 21)
Diriwayatkan di Shohihain (Shohih Bukhori dan Muslim) dari ‘Aisyah –Rodhiyallohu ‘anha- dari Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam- bahwasanya beliau bersabda:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa mengada-adakan perkara pada agama kita ini yang bukan darinya maka perkara tersebut tertolak”. (HR. Bukhory-Muslim)
Dan diriwayatkan di dalam Shohih Muslim dari Jabir –Rodhiyallohu ‘anhu- bahwa Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam- berkata dalam khutbah beliau pada hari jumat:
أما بعد : فإن خير الحديث كتاب الله ، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم ،
وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة .
 
“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabulloh, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -Shollallohu ‘alaihi wasallam-, dan sejelek-jelek perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” 
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang semakna dengan (dalil-dalil di atas) sangatlah banyak. Semua itu menunjukkan dengan tegas bahwa Alloh telah menyempurnakan bagi umat ini agama mereka dan menyempurnkan nikmat-Nya. Tidaklah Nabi-Nya meninggal kecuali beliau telah menyampaikan agama ini dengan terang. Beliau telah jelaskan pada umat segala perkara yang disyareatkan Alloh kepada mereka, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Beliau juga telah menjelaskan bahwa segala perkara yang dibuat-buat manusia setelahnya dan mereka atas namakan Islam, baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya tertolak, walaupun orang yang mengada-adakan perkara tersebut niatnya baik. Para Shohabat telah mengetahui hal yang demikian ini, juga para ulama Islam setelah mereka. Sehingga mereka mengingkari kebid’ahan dan memperingatkan manusia darinya, sebagaimana disebutkan oleh setiap orang yang menulis tentang “Pengagungan Sunnah dan Pengingkaran Terhadap Bid’ah”, seperti Ibnu Waddhoh, Ath-Thurtusy, dan Ibnu Syamah, serta yang lainnya.
Diantara perkara bid’ah yang diada-adakan sebagian manusia adalah bid’ah perayaan malam ‘Nishfu Sya’ban’ dan pengkhususan harinya dengan puasa. Perkara ini tidaklah dibangun di atas dalil sedikitpun. Telah datang tentang keutaman ‘Nishfu Sya’ban’ hadits-hadits yang lemah yang tidak boleh dijadikan sandaran. Semua hadits yang datang tentang keutamaan sholat pada malam tersebut adalah palsu, sebagaimana disebutkan oleh banyak ulama yang –insya Alloh- akan datang penyebutan perkataan-perkataan mereka. Demikian pula telah datang atsar-atsar dari sebagian salaf baik yang dari negeri Syam maupun lainnya tentang malam tersebut.
Dan yang menjadi pendapat jumhur (mayoritas) ulama adalah: bahwa peringatan Nishfu Sya’ban adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang menyebutkan keutamaannya semuanya dhoif, bahkan sebagiannya maudhu’ (palsu). Diantara ulama yang memperingatkan tentang hal ini adalah Al-Hafidz Ibnu Rojab dalam kitab beliau Lathoiful Ma’arif dan yang lainnya. Hadits-hadits yang dhoif mungkin (ada peluang) untuk diamalkan pada perkara ibadah yang telah tetap asalnya berdasarkan dalil-dalil yang shohih. Adapun  peringatan malam Nishfu Sya’ban tidak ada dasar yang shohih sama sekali sehingga penggunaan hadits dhoif padanya bisa ditolelir. Kaidah yang agung ini telah disebutkan imam Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rohimahulloh-.
Para ulama telah bersepakat bahwa yang wajib adalah mengembalikan perkara yang diperselisihkan manusia kepada kitabulloh dan kepada sunnah Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam-. Apa yang telah menjadi hukum keduanya atau salah satunya itulah syareat yang wajib untuk diikuti. Apa saja yang menyelisihinya maka wajib untuk dibuang. Dan ibadah apa saja yang tidak ada penjelasannya dalam kitab dan sunnah maka itu adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan, apalagi untuk berdakwah kepadanya, sebagaimana firman Alloh:
يا أيها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلاً

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa: 59)
Alloh juga berfirman:
وما اختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Alloh.” (Asy-Syuro: 10)
Alloh juga berfirman:
قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفر لكم ذنوبكم
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali-Imron: 31)
فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم
ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجاً مما قضيت ويسلموا تسليماً

“Maka demi Robb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa: 65)
Ayat-ayat yang seperti ini banyak, yang semua itu menetapkan tentang wajibnya mengembalikan permasalahan khilaf kepada kitab dan sunnah, serta wajibnya ridho dengan hukum kitab dan sunnah. (Juga menunjukkkan) bahwa yang demikian itu adalah konsekuensi keimanan dan itulah yang lebih baik bagi seorang hamba dalam waktu dekat maupun yang akan datang. Sebagaimana firman-Nya:
وأحسن تأويلاً

“dan lebih baik akibatnya”
Al-Hafidz Ibnu Rojab dalam kitabnya Lathoiful Ma’arif tentang permasalahn ini berkata: “Malam Nishfu Sya’ban, dulu sebagian tabi’in dari negeri Syam seperti: Kholid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir, dan yang lainnya mengagungkan malam tersebut dan bersungguh-sungguh dalam beribadah pada waktu itu. Dari merekalah manusia mengambil keutamaan dan pengagungan terhadap malam Nishfu Sya’ban. Ada yang mengatakan bahwa mereka itu mendapatkan berita-berita dari Isroiliyyat (berita-berita dari bani isroil)…Kebanyakan ulama negeri Hijaz telah mengingkari mereka, diantaranya: ‘Atho’, Ibnu abi Mulaikah, dan Abdurrohman bin Zaid bin Aslam menukilkan pengingkaran dari para ahli fiqih di Madinah. Yang demikian ini adalah pendapat para pengikut imam Malik dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa semua kegiatan tersebut adalah bid’ah…Adapun imam Ahmad tidak diketahui perkataan beliau tentang malam Nishfu Sya’ban…”
Sampai pada perkataan beliau: “(Hadits) tentang sholat malam khusus pada malam Nishfu Sya’ban tidak  ada satupun yang tetap dari Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau.”
Pada perkataan beliau ini dengan tegas dinyatakan bahwa tidak tetap sedikitpun dari Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau tentang malam Nishfu Sya’ban. Dan setiap perkara yang berdasar dalil-dalil syar’i tidak tetap bahwa perkara tersebut disyareatkan, tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengada-adakannya dalam agama Alloh, baik dia melakukannya sendirian atau secara berjamaah. Baik dia menyembunyikannya ataupun menampakkannya, berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam-:
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [HR Bukhori- Muslim dan lafadznya adalah lafadz Muslim]
Juga dali-dalil lain yang menunjukkan pengingkaran terhadap kebid’ahan dan peringatan darinya.
Imam Abu Bakar Ath-Thurthusyi dalam kitabnya Al-Hawadits wal Bida’ mengatakan: “Ibnu Wadhdhoh telah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa dia berkata: Kami tidak mendapati seorangpun dari Masyayikh kami dan para ahli fiqih kami yang mengindahkan Nishfu Sya’ban, tidak juga mengindahkan hadits dari Makhul. Mereka tidaklah menganggap bahwa Nishfu Sya’ban itu mempunyai keutamaan diatas yang lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah: Sesungguhnya Ziyad An Numairy berkata: “Sesungguhnya pahala pada malam Nishfu Sya’ban itu seperti pahala lailatul qodar, maka Ibnu Abi Mulaikah pun berkata: “Seandainya saja aku mendengarnya dan di tanganku ada tongkat pasti aku akan memukulnya. Ziyad itu adalah tukang cerita!” [selesai]
Imam Asy-Syaukani dalam kitab al-Fawaid Al-Majmu’ah berkata: “Hadits (yang berbunyi):
يا علي من صلى مائة ركعة ليلة النصف من شعبان ، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب،
و -قل هو الله أحد- عشر مرات ، إلا قضى الله له كل حاجة … الخ

“Wahai Ali, barangsiapa yang sholat sebanyak seratus rokaat pada malam Nishfu Sya’ban, dia membaca pada setiap rokaat Fatihatulkitab dan surat al-ikhlash sebanyak sepuluh kali, kecuali pasti Alloh akan menunaikan setiap hajatnya….dst.
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (hadits palsu). Pada lafadznya yang jelas menetapkan pahala yang didapat oleh orang yang mengerjakannya , tidaklah ada keraguan bagi orang yang punya pengetahuan tentang kepalsuannya. Dan para perowinya pun tidak dikenal (majhul). (Hadits ini) telah diriwayatkan melalui jalan yang lain tapi semuanya maudhu’ dan para perowinya majhul. [selesai]
Beliau berkata pada kitab Al-Mukhtashor: “Hadits tentang sholat Nishfu Sya’ban itu batil. Diriwayatkan oleh Ibnu hibban dari hadits ‘Ali:
إذا كان ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلها وصوموا نهارها

“Jika tiba malam pertengahan bulan Sya’ban, maka kerjakanlah sholat pada malamnya dan puasalah pada siangnya.” Hadits ini dhoif.”
Al-Hafidz Al-‘Iroqy berkata: Hadits tentang sholat malam Nishfu Sya’ban adalah hadits palsu dan kedustaan atas nama Rosulullloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam-.
Imam Nawawy dalam kitabnya Al-Majmu’ berkata: “Sholat yang dikenal dengan nama Sholat Roghoib, yaitu: sholat dua belas rokaat antara magrib dan isya’ pada malam jumat pertama di bulan Rojab, dan sholat malam Nishfu Sya’ban sebanyak seratus rokaat, dua sholat ini adalah kebid’ahan yang mungkar. Janganlah seseorang tertipu dengan disebutkannya dua sholat tersebut dalam kitab Quutul Quluub dan kitab Ihya’ Ulumuddin. Jangan pula tertipu dengan hadits yang disebutkan dalam dua kitab itu. Sebab semua itu adalah batil, jangan pula terkecoh dengan sebagian imam yang masih belum jelas bagi mereka hukum kedua sholat tersebut sehingga menulis lembaran-lembaran tentang disunnahkannya kedua sholat itu.”
Syaikh Al-Imam Abu Muhammad ‘Abdurrohman bin Isma’il Al-Maqdasy telah menulis sebuah kitab yang bagus tentang batilnya dua sholat itu. Perkataan-perkataan ahli ilmu dalam perkara ini sangatlah banyak. Seandainya kami mengutip semua perkataan mereka yang kami dapatkan tentang permasalahan ini tentunya pembahasannya akan jadi penjang. Mungkin apa-apa yang telah kami sebutkan ini cukup dan meyakinkan bagi orang yang mencari kebenaran.
Dari ayat-ayat dan hadits-hadits serta perkataan para ulama yang telah lalu penyebutannya, jelaslah bagi para pencari kebenaran bahwa peringatan malam Nishfu Sya’ban baik dengan sholat atau yang lainnya, serta pengkhususan siangnya dengan puasa adalah bid’ah yang mungkar menurut ahli ilmu. Semua itu tidaklah ada asalnya di dalam syareat yang suci ini. Bahkan perkara itu muncul dalam Islam setelah masa para sahabat. Cukuplah bagi pencari kebenaran baik pada peemasalahan ini atau selainnya firman Alloh:
اليوم أكملت لكم دينكم

“Hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian.” Dan ayat-ayat lainnya yang semakna.
Juga sabda Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam-:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa mengada-adakan perkara pada agama kita ini yang bukan darinya maka perkara tersebut tertolak”. (HR. Bukhory-Muslim). Serta hadits-hadits lainnya yang semakna.
Diriwayatkan di Shohih Muslim dari Abu Huroiroh, bahwasanya Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لا تخصوا ليلة الجمعة بقيام من بين الليالي ، ولا تخصوا يومها بالصيام من بين الأيام ،
إلا أن يكون في صوم يصومه أحدكم

“Janganlah kalian mengkhususkan malam jum’at dari malam-malam lainnya dengan sholat. Dan jangan kalian mengkhususkan siang harinya dari hari-hari yang lain dengan puasa, kecuali jika hari tersebut jatuh pada hari yang salah satu diantara kalian biasa puasa padanya.”
Seandainya saja pengkhususan suatu ibadah pada malam tertentu dibolehkan, maka malam jumat lebih utama daripada yang lain. Sebab siangnya adalah sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya, berdasarkan hadits-hadits yang shohih dari Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam-. Maka ketika Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam- memperingatkan dari pengkhususan malamnya dengan sholat, menunjukkan bahwa malam-malam selainnya lebih berhak untuk tidak diperbolehkan pengkhususan dengan ibadah tertentu, kecuali dengan dalil shohih yang menunjukkan adanya kekhususan.
Tatkala lailatul qodar dan malam-malam di bulan Romadhon disyareatkan sholat malam dan bersungguh-sungguh di dalam melaksanakannya, Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam- pun mengingatkan dan mendorong umatnya untuk melakukannya. Dan beliau sendiri pun melaksanakannya sebagaimana disebutkan di Shohihain dari Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau berkata:
من قام رمضان إيماناً واحتساباً غفر الله له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa berdiri (sholat malam) pada bulan Romadhon dengan keimanan dan harapan (kapada Alloh) maka Alloh akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu”
ومن قام ليلة القدر إيماناً واحتساباً غفر الله له ما تقدم من ذنبه

“Dan barangsiapa berdiri (sholat malam) pada malam Lailatul Qodar dengan keimanan dan harapan (kapada Alloh) maka Alloh akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu”
Seandainya saja malam Nishfu Sya’ban atau malam jumat pertama di bulan Rojab atau malam Isro’ Mi’roj disyareatkan pengkhususannya dengan peringatan tertentu atau dengan ibadah tertentu, pasti Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam- akan menunjukkannya kepada umat ini atau beliau sendiri yang akan melakukannya. Dan seandainya beliau melakukannya, tentu para sahabat akan menyampaikannya kepada umat dan tidak akan menyembunyikannya. (Sebab) mereka adalah sebaik-baik manusia dan  yang paling semangat dalam memberi nasehat setelah para Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam-.
Engkau telah mengetahui dari perkataan-perkataan para ulama tadi, bahwasanya tidak ada sedikitpun yang tetap dari Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya tentang keutamaan malam jumat pertama di bulan Rojab, dan keutamaan malam Nishfu Sya’ban sehingga diketahui bahwa merayakannya adalah bid’ah yang diada-adakan dalam Islam. Demikian pula pengkhususan suatu ibadah padanya adalah bid’ah yang mungkar. Juga pada malam dua puluh tujuh Rojab yang sebagian manusia meyakininya sebagai malam Isro’ Mi’roj. Tidak boleh seseorang mengkhususkannya dengan ibadah apapun sebagaimana tidak diperbolehkan seseorang untuk merayakannya, berdasarkan dalil-dalil yang telah lewat. Inilah hukumnya andaikan saja malam Isro’ Mi’roj itu diketahui kapan pastinya, lalu bagaimana jika ternyata yang benar dari pendapat-pendapat para ulama bahwa malam tersebut tidak diketahui (kepastian tanggalnya)?! Dan perkataan orang yang menyatakan bahwa Isro’ Mi’roj itu terjadi pada malam dua puluh tujuh Rojab adalah perkataan batil yang tidak ada landasannya sedikitpun dari hadits-hadits yang shohih.
Hanya kepada Alloh-lah kita memohon agar memberikan taufiqNya kepada kita dan kepada seluruh kaum muslimin untuk berpegang teguh dengan sunnah dan kokoh di atasnya serta menjauhi perkara-perkara yang menyelisihinya. Sesungguhnya Dia itu Maha Pemberi lagi Penyayang.
وصلى الله على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين .

[Dikutip dan disederhanakan dari:
Majmu’ fatawa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz: 2/ 882]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.

Sumber di sini